Sejak persinggungan pertama mereka di jembatan sore hari itu, Satya tahu Nara adalah sosok yang kuat. Sangat kuat. Dan seiring berjalannya waktu, gadis itu tidak lelah membuktikan hal tersebut. Pada setiap peristiwa, Nara akan selalu berhasil melihat situasi dengan kepala dingin, tidak terbawa arus dan berpegang teguh pada apa yang dia percaya. Tak tergoyahkan, bagaikan pohon dengan akar kuat yang berhasil bertahan di tengah badai menghadang.
Tetapi, sebetulnya ada sesuatu yang tersembunyi tepat di balik sosok kuat itu--seseorang yang lembut, yang takut, yang peduli; yang setengah mati mencoba perpegangan pada satu keyakinan untuk menjaga kewarasannya sendiri. Kemudian dalam jentikan jari, semua pertahan yang dibangunnya selama ini roboh tepat ketika nama sang kakak disebutkan.
Saudara Nara mengambil nyawanya sendiri dengan overdosis obat tidur saat gadis itu masih berusia 13 tahun. Tragedi tersebut merupakan awal dari luka-luka membengkak yang kian lama semakin membesar. Apa yang Nara serukan di jembatan hari itu, merupakan sesuatu yang berusaha dia sampaikan kepada kakaknya. Sayangnya, dia sudah terlambat untuk mengubah jalan takdir.
Jika Satya dapat bertemu dengan Mahesa, dia ingin memberitahu pemuda itu bahwa adiknya telah bertahan sejauh ini, terlepas dari semua luka dan duka yang merengkuh hatinya selama bertahun-tahun lamanya.
Hari itu, di depan makam Mahesa, Nara melepaskan semua jerit dan perihnya. Satya tidak pernah melihat dia menangis sampai tersedu-sedu, dan walaupun pemandangan itu menggores hatinya, Satya merasa bersyukur bahwa gadis itu mempercayainya untuk menunjukkan sisi tersebut padanya.
Apakah Nara juga merasakan rasa aman dan nyaman yang Satya rasakan saat bersamanya? Entah mengapa, jawaban selain 'iya' akan sangat melukainya.
"Azka minta gue ngasih ini ke lo," Nara berkata di koridor depan kelas Satya saat bertemu dengan lelaki itu. Dia lalu menyerahkan sebuah USB kepadanya.
Satya begitu terpana dengan kehadiran Nara untuk menangkap apa yang baru saja dikatakan, tetapi hanya dengan melihat USB yang diberikan kepadanya, dia dapat mengambil kesimpulan bahwa itu adalah kiriman Azka. Sudah sekitar seminggu penuh Satya tidak berpapasan dengannya. Semenjak mereka pisah kelas, dapat melihat gadis itu kembali sudah bagaikan sebuah kejutan meriah.
"Oh, iya," jawab Satya sembari mengambil USB dari tangan Nara. Dia tidak mau percakapan mereka berhenti di sana saja. Sebab karena itu dia pun bertanya, "Lo udah konsultasi hari ini?"
Nara mengangguk seraya menghela napas dalam. "Udah. Tapi bukannya makin termotivasi, kok gue malah makin minder dan nggak yakin, ya? Maksud gue, peminat jurusan Psikologi di kampus mana pun kan banyak banget."
Periode kelas 12 telah berlangsung selama beberapa bulan dan topik tentang kuliah serta masa depan mulai banyak diperbincangkan. Nyaris setiap minggu para guru akan mengawasi murid dan berdiskusi dengan mereka, memastikan bahwa setiap siswa dan siswi memiliki pegangan atau pandangan tentang apa yang kelak akan mereka jalani. Selain itu, orang tua mereka pun juga menerima konsultasi. Itu adalah salah satu hal terbaik yang bisa diberikan sekolah untuk murid-muridnya.
"Jadi lo lebih ngincer jurusan daripada kampus, ya?"
Nara mengangguk pasti. "Iya. Soalnya mau sebagus apa pun kampusnya, kalo gue nggak bisa enjoy kayaknya gue bakal sengsara juga pada akhirnya. Tapi, marilah tetap berharap diterima kampus negeri walau agak nggak mungkin."
Dahi Satya mengernyit. "Tumben lo nggak percaya diri."
"Masa sih?" Nara berhenti sejenak, merenung. "Mungkin karena pas kuliah tuh kesannya masa depan lo bakal ditentukan dengan pilihan lo. Nggak tau sih, tapi gue ngerasa gitu. Gue nggak mau salah pilih."
KAMU SEDANG MEMBACA
To the Moon and Back | Sunghoon (END)
FanfictionSatya adalah putra sulung dan murid yang sempurna. Tidak mengherankan bahwa banyak yang ingin menjadi seberuntung dirinya. Akan tetapi, Narami menyadari ada sesuatu yang Satya sembunyikan saat dia menyaksikan lelaki itu hendak melakukan tindakan men...