Healing berbeda-beda untuk semua orang. Bagi Jenna, healing terbaik untuknya adalah berbelanja. Dengan membeli pakaian baru, aksesoris baru, tas baru, dan seterusnya, kebahagiaan dan adrenalin menguasai tubuhnya. Lebih baik lagi, dia bisa melakukan itu setiap saat. Orang tuanya tidak akan dapat berkata 'tidak' padanya. Karena itu, banyak yang mengatakan bahwa Jenna adalah stereotipikal anak tunggal kaya raya. Manja, sombong dan bebal.
Yah, sebenarnya mereka tidak salah.
Jenna dan sopirnya sampai di rumah pada pukul 10 malam. Orang tuanya pasti akan menegurnya, namun dia tahu mereka tidak akan pernah bisa marah terlalu lama dengannya maka dia tidak banyak khawatir. Hanya saja, sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya sekarang membuatnya gundah.
Jenna turun dari mobil sementara sopirnya sibuk menurunkan barang-barang belanjaannya. Dia bersedekap dengan raut wajah heran, menatap figur di hadapannya dengan skeptis.
"Gue kira lo udah pulang ke Bandung," ujarnya.
Nathan hanya mengenakan kaos lengan panjang santai dan jeans. Rambut hitamnya sedikit berantakan, berbeda sekali dengan penampilan dia saat berada di acara-acara penjamuan tempat mereka biasa bertemu, dengan kemeja dan jas hitam rapi. Kendati demikian, ini bukan kali pertamanya Jenna melihatnya berpenampilan santai seperti sekarang.
Lelaki itu mendengus. "Gue ke sini lagi kemarin. Lo kangen gue, kan?"
Jenna mengerutkan dahinya. "Dih. Ngarep lo! Ngapain sih malem-malem ke sini?!"
"Ngapain juga lo malem-malem baru pulang?"
"Bukan urusan lo! Buruan, ah, jawab! Gue mau cepet-cepet hapus makeup dan tidur."
Nathan menarik napas dalam dan mengangguk. "Gue cuma mau nanya sebenarnya."
"Nanya apaan?!" Kesabaran Jenna sudah menyentuh batas. Dia benar-benar tidak bisa meladeni lelaki itu sekarang.
"Lo yang ngelapor ke nyokap gue tentang keterlibatan gue sama kasus Satya, kan?" sembur Nathan tanpa putus.
Napas Jenna tertahan di dalam paru-parunya. Matanya membulat sempurna.
"Lo..." Suaranya tercekat. Dia bersusah payah menelan salivanya. Kepalanya tertunduk seraya Jenna mencoba meredam rasa bersalah di dadanya. "Kita... Kita nggak seharusnya ngelakuin itu, Nat. Gue nggak tau kalo dampaknya bakal jadi kayak gini. Gue cuma--"
Dia hanya ingin Nara dan gadis mana pun menjauh dari Satya. Dia hanya ingin citra lelaki itu melenceng sedikit. Dia tidak tahu Satya akan memukul kakak kelas mereka itu. Dia tidak tahu bahwa lelaki itu malah akan diskors.
"Gue nggak seharusnya kerja sama bareng lo," geram Nathan berang. "Gara-gara lo, bokap gue marah besar sama gue! Gue sekarang dihukum dan semua elektronik dan kartu gue disita sama dia! Dia bahkan sampe ngancem posisi gue. Gue nggak bisa kehilangan itu!"
Jenna mengerutkan dahi tak terima. "Dan salah siapa itu?! Kita emang nggak seharusnya ngelakuin itu dari awal, Nat! Gue bodoh udah mau kerja sama dengan lo! Gue seharusnya sadar kalo lo udah jelas banget emang pingin image Satya hancur sepenuhnya!"
"So what?" desis Nathan, mengambil satu langkah mendekati Jenna. "Lo nggak jauh beda sama gue. Lo juga bersalah di sini, Jen. Tapi lo tau bedanya apa? Gue kena hukuman sementara lo nggak!"
Jenna mundur selangkah. "Emang Satya salah apa sih sama lo?! Bukannya dulu kalian deket?? Apa yang berubah?!"
Punggung Jenna menyentuh mobil dan Nathan masih melangkah maju. Wajah mereka kini sudah begitu dekat dengan satu sama lain sehingga Jenna dapat dengan jelas melihat kilauan kebencian di balik kedua bola mata lelaki itu. Pemandangan tersebut membuat bulu kuduknya berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
To the Moon and Back | Sunghoon (END)
FanfictionSatya adalah putra sulung dan murid yang sempurna. Tidak mengherankan bahwa banyak yang ingin menjadi seberuntung dirinya. Akan tetapi, Narami menyadari ada sesuatu yang Satya sembunyikan saat dia menyaksikan lelaki itu hendak melakukan tindakan men...