21. Pergulatan Hati

579 70 2
                                    

Satya pernah berasumsi, namun hanya dengan itu saja dia merasa jahat karena telah berani memikirkan hal seperti itu. Dia tidak pernah mengira bahwa suatu hari kecurigaannya itu akan terbukti benar.

Dia berakhir merasa semakin bersalah.

Dari gerak-gerik dan cara Nara bercerita tentang saudaranya memberi kesan bahwa semua itu tinggal kenangan saja.

Dulu aku sering ke sini bareng Kakak.

Dulu kakakku bilang ini.

Dulu.

Dulu.

Dulu.

Ketika Nara mengajaknya bertemu kakaknya, mereka tidak datang ke sebuah rumah, atau apartemen, melainkan ke sebuah makam.

Langit sudah mengeluarkan warna jingga keemasan saat mereka tiba di depan sebuah batu nisan dengan nama kakak Nara: Mahesa Laskara.

Satya mencuri pandang ke arah Nara, khawatir gadis itu akan terbawa arus kesedihan dan duka. Namun alih-alih merasa pilu, Nara hanya tersenyum tipis.

"Halo, Kak," sapanya pada batu tersebut. "Maaf akhir-akhir ini belum sempet berkunjung. Aku bawa seseorang nih. Namanya Satya, yang cukup sering kuceritain selain Shella."

Satya menengadah. Nara bercerita tentangnya pada kakaknya?

Entah mengapa, itu membuatnya cukup terharu.

Tidak dalam seribu tahun dia dapat membayangkan hidup tanpa Sean, saudaranya. Fakta bahwa Sean masih ada bersamanya terlepas kecelakaan itu merupakan suatu keajaiban yang luar biasa. Satya bisa saja kehilangan Sean hari itu. Namun tidak. Tuhan memberikan mereka kesempatan kedua.

Akan tetapi, Nara tidak mendapatkan kesempatan itu, karena kini hanya satu dari mereka yang berhasil tumbuh besar.

Penderitaannya mungkin tidak dapat terbayangkan. Satya mendapati dirinya mengerti mengapa Nara, lebih dari siapa pun, begitu mengerti hubungannya dengan Sean.

Nara berjongkok di depan makam Mahesa. Senyum gadis itu tidak pernah hilang.

"Aku ketemu temen Kakak hari ini," tuturnya. Satya ingat gadis itu mengatakan bahwa dia bertemu dengan seorang teman lama. Nara melanjutkan, "Kakak itu cantik banget, Kak! Sumpah Kak Hesa beruntung bisa deket sama dia. Terus, dia juga bilang Kak Hesa itu... sering muji aku."

Mata Nara menurun ke tanah. Satya dapat mendeteksi rasa sendu yang memancar dari tubuh gadis itu.

Dia menenggelamkan kepalanya ke dalam lengannya yang terlipat di atas lututnya.

"Selama ini aku selalu ngira Kakak muji aku di depanku doang biar aku ngerasa lebih baik aja," ucapnya pelan.

Satya diam tertegun tak jauh di belakang Nara. Melihat gadis itu begitu rapuh di depan rumah terakhir saudaranya itu membuat dadanya terasa sakit. Namun dia tahu apa yang dirasakan Nara pasti 10 kali lipat lebih parah dari apa yang dia alami.

Apa Nara masih sering dihantui dengan kenangan-kenangan tentang kakaknya?

Mungkin.

Bahkan sudah pasti.

Mengingat betapa sering gadis itu seakan pindah ke dimensi lain setiap kali dia dipertemukan dengan situasi yang mengingatkannya akan mendiang saudaranya.

Mahesa pasti merupakan orang yang sangat baik, karena adiknya pun sama.

Nara akhirnya bangkit berdiri dan membersihkan celananya dari serbuk tanah yang mungkin menempel. Sebelum dia pamit pergi, dia tersenyum ke arah batu nisan Mahesa.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang