3 tahun yang lalu...
Otot pada kedua kaki Nara mulai terasa nyeri. Ditambah lagi, matahari yang bersinar terik tepat di atas kepala membakar kulitnya dan menjadikan tubuhnya bersimbahkan keringat. Dua puluh menit telah berlalu, sementara dia diharuskan berdiri di tengah lapangan sekolah selama setengah jam. Seiring berlangsungnya waktu, dia mulai tidak yakin dapat bertahan 10 menit lagi.
Karena kebetulan hanya dia yang terlambat sekolah hari itu, dia terpaksa harus menjalani hukuman sendiri, dengan beberapa murid mengintip dari jendela kelas mereka dan menertawakannya. Pada beberapa menit pertama, Nara sewajarnya merasa malu. Tetapi semakin lama, dia hanya ingin hukuman tersebut secepatnya berakhir agar dia bisa mengistirahatkan kakinya.
Panas banget, gerutu Nara dalam hati. Kapan kelarnya, sih?
Tak lama kemudian, dia menyadari bahwa pengawasnya telah pergi ke kamar mandi. Nara menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa memang tidak ada yang mengawasinya. Sebuah pemikiran liar terbesit di benak gadis kelas 2 SMP itu--bagaimana kalau dia membolos saja sekalian?
Tasnya berada di luar kelas. Dia tidak perlu masuk dan khawatir ditegur oleh guru. Lantas dengan dorongan terakhir dari hatinya, dia berlari mengambil tasnya dan bergegas keluar gerbang saat satpam sedang tidak melihat.
Nara tidak pernah membolos sekolah sebelumnya. Yang sering terjadi adalah terlambat masuk. Jika perhitungannya tepat, seharusnya ini tidak akan menjadi masalah.
Kebetulan, SMP Nara cukup dekat dengan rumahnya, maka dia tidak perlu berjalan jauh. Sungguh merupakan hari yang panas, karena Nara sudah bagaikan mandi keringat. Setibanya di rumah, dia akan membersihkan diri dan beristirahat. Jika orang tuanya bertanya, dia akan mengatakan bahwa dia ingin jatah bolosnya dia gunakan hari itu.
Di tengah perjalanan, Nara menyempatkan diri membeli minuman buah segar untuk dirinya, kakaknya dan kedua orang tuanya. Dengan cuaca sepanas hari itu, alangkah enaknya memanjakan tenggorokan dengan sesuatu yang menyegarkan.
"Semoga Mama dan Papa nggak marah kalo kubeliin ini, hehehe," ucap Nara usai membeli empat minuman tersebut.
Mengingat ulang peristiwa hari itu, Nara yang sekarang pasti akan lebih memilih orang tuanya memarahinya habis-habisan dan menghukumnya. Bahkan jika boleh jujur, apa pun akan jauh lebih baik daripada apa yang kemudian disaksikannya.
Kondisi rumahnya sedikit ganjil. Ambulans terparkir di depan rumah mereka. Ibunya menangis terisak, berdiri tak jauh dari pintu belakang ambulans yang tidak dapat Nara lihat. Ayahnya berusaha menenangkan ibunya, namun pria itu pun juga tampak kacau. Wajahnya pucat, dan matanya berkaca-kaca. Di sekeliling mereka, para tetangga keluar dari rumah mereka, namun tidak berani mendekat dan hanya bisa berdiri di depan pintu masing-masing. Raut wajah mereka menunjukkan rasa iba dan lara.
Nara tidak dapat mencerna fenomena yang menampil di depannya sehingga dia hanya bisa diam mematung. Kakinya nyeri. Tangannya berkeringat dan dia nyaris saja menjatuhkan bungkusan plastik minuman yang dibawanya.
Apa? Ini kenapa?
Herman, ayahnya, akhirnya melihat sosok putrinya dan terkejut. Namun alih-alih menegurnya karena tidak berada di sekolah, pria itu berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Nara hanya bisa berdiri dengan kaku.
"Nara, maafin Papa--"
"Ini kenapa?" tanya Nara lugu.
Gigi di otaknya seolah dimatikan dan dia tidak dapat mengambil kesimpulan apa pun. Kendati demikian, di kedalaman hatinya, Nara tahu. Dia merasakannya. Seperti tali yang pada akhirnya putus setelah ditarik begitu lama dari dua arah yang berlawanan. Nara tidak siap untuk bahkan hanya sekedar memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
To the Moon and Back | Sunghoon (END)
FanfictionSatya adalah putra sulung dan murid yang sempurna. Tidak mengherankan bahwa banyak yang ingin menjadi seberuntung dirinya. Akan tetapi, Narami menyadari ada sesuatu yang Satya sembunyikan saat dia menyaksikan lelaki itu hendak melakukan tindakan men...