35. Broken Promise

662 60 7
                                    

Satya pastikan bahwa dia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum memunculkan kepalanya melalui celah. Sean tampaknya sedang duduk di atas kasur, menulis sesuatu pada jurnal barunya.

"Riko ngasih pesan kemarin kalau besok hari terakhir pengumpulan tugas," kata Satya, berjalan masuk ke kamar sang adik. "Kamu udah selesai semua belum?"

Meskipun seluruh perhatian Sean berpusat pada bukunya, dia tetap menjawab, "Udah kok! Sebentar." Dia menarik laci di sebelah kasur dan mengambil satu file penuh yang merupakan hasil tugas-tugasnya selama dirawat di rumah.

Satya mendekati laci tersebut dan mengambilnya. Didasari rasa penasaran, dia melirik isi jurnal Sean. Nyatanya adiknya itu bukan sedang menulis. Dia sedang menggambar, tepatnya gambar pemandangan pegunungan. Klasik. Namun bagi Sean, itu memiliki arti yang lebih besar.

Walau figuratif, Satya dapat mendengar retakan pada hatinya.

Sean tiba-tiba saja menyadari kakaknya yang tidak kunjung bergerak. Dia pun mendongak, dan sewaktu melihat ekspresi wajah saudaranya, dia langsung menutup jurnalnya.

"Nggak terlalu bagus," akunya.

"Apa?" Satya menggeleng keras. "Itu gambar yang bagus. Kamu latihan baru-baru ini, ya?"

Sean mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Soalnya bosen di rumah terus. Sean mau keluar. Mau main sama Juan, Riko dan temen-temen yang lain. Selama Sean nggak masuk, Sean diomongin nggak, ya?"

"Kalau ada yang ngomongin, Juan dan Riko pasti akan ribut sama satu kelas," kekeh Satya, dan adiknya itu pun tersenyum menyetujui. Dia menepuk lembut pucuk rambut Sean. "Cepet sembuh, Sean."

Sebelum dia dapat pergi meninggalkan kamar sang adik, Sean memanggilnya. Lelaki itu pun berhenti di ambang pintu.

"Ada lagi?"

Sean menatapnya lama, seolah berusaha menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan. Dia bahkan sampai menggigit bibir bagian bawahnya.

Selang menunggu lama, dia akhirnya berujar, "Nggak jadi deh. Hehe."

Bisa-bisanya.

Satya merotasi bola matanya dan menghela napas dalam. "Istirahat yang banyak, Se."

"Hm. Oke."

Adiknya itu kembali membuka jurnalnya dan kini seluruh fokusnya tersedot ke dalam buku tersebut. Satya memperhatikannya sekali lagi, sebelum akhirnya keluar dari kamar Sean, tak lupa untuk menyisakan celah pada pintunya.

"Hari ini."

Satya menyaksikan secara langsung bagaimana mata Nara membulat dan memancarkan kegembiraan yang sungguh-sungguh. Bibirnya membentuk senyuman lebar. Dia pun bertepuk tangan kecil.

"Yes!" serunya. Tetapi karena mereka sedang berada di kantin yang ramai dengan siswa-siswi, dia berusaha mengecilkan volume suaranya. "Eh, tapi lo serius nggak mau gunain hari kosong ini buat istirahat? Sean ngasih tau proyek-proyek yang lo kerjain dan gue merinding sendiri. Padahal, bukannya lo seharusnya fokus sama ujian masuk perguruan tinggi, ya?"

Sean membocorkan itu semua? Tetapi, dia benar. Satya juga pada awalnya mengira bahwa jadwalnya jauh lebih ringan, namun apa yang dia jalani sekarang secara garis besar adalah simulasi kerja. Dia mencatat semua yang harus dia lakukan untuk mengurus satu perusahaan dengan menjadi asisten ayahnya. Kendati demikian, dia sebenarnya tetap mencoba membagi fokusnya untuk ujian perguruan tinggi--walaupun kenyataannya, dia tidak perlu bersusah payah lagi ketika masa depannya sudah dirancang dengan sangat hati-hati dari awal sampai akhir.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang