9. Satya Sakit

1.5K 89 2
                                    

Pusing dan meriang adalah dua hal yang Satya rasakan pagi hari itu. Entah mengapa, tubuhnya begitu lemas dan bersikeras untuk tetap rebahan di atas kasurnya sendiri. Beberapa menit telah berlalu, Satya tidak mengubah posisi tidurnya sama sekali walaupun dia sudah terbangun sejak tadi.

Perutnya teramat nyeri. Lelaki itu meringkuk di bawah selimut menjadi bola, dengan satu tangan memegangi perut. Lambungnya seperti dililit dan diperas. Keringat dingin mulai membasahi pelipis serta tengkuknya.

Jadwal makan Satya akhir-akhir ini sangat tidak teratur, terlebih lagi ketika dia pun nyaris tidak memiliki waktu kosong. Sepulang sekolah dia harus langsung les, dan sepulang les dia harus mengikuti kursus bisnis dengan teman ayahnya serta belajar di rumah setelahnya.

Karena itu semua, perut Satya yang jarang terisi sering kali kena mag.

Tok! Tok! Tok!

Bunyi ketukan pada pintu kamarnya terdengar. Di balik pintu, seorang wanita tua berkata, "Den Satya, nanti kesiangan. Ayo bangun. Den Sean udah nunggu di bawah."

Namun bangkit saja pun membutuhkan usaha yang lebih. Jika Satya mengubah posisinya yang meringkuk di atas kasur, perutnya akan semakin sakit.

"Oke, Bi. Sebentar lagi," ucapnya parau.

Menyadari perubahan pada suara anak tertua majikannya, Bibi Irmah, yakni ART keluarga Dirgata, langsung menarik kenop dan membuka pintu secara perlahan.

"Bibi masuk ya, Den," katanya.

"Hmm."

"Loh? Den Satya lagi sakit?" Bibi Irmah berjalan mendekati ranjang Satya, dan menyadari betapa pucatnya wajah anak itu. Wajahnya sudah seputih kertas. Wanita itu menekankan punggung tangannya di atas kening Satya. "Gusti, panas banget. Bentar-bentar, Bibi ambilin kompres ya."

"Nggak usah, Bi..." Mata Satya masih terpejam. Keningnya mengerut karena menahan rasa sakit. "Ini bentar lagi mau bangun."

"Duh, mending Den Satya istirahat dulu di rumah. Tadi suhu Den Satya tinggi banget loh."

"Bentar lagi juga turun."

"Bi Irmah!" sahut sebuah suara dari bawah yang diikuti oleh langkah kaki menaiki tangga. "Udah jam segini loh. Satyanya mana?"

Itu adalah suara Erika, Ibu Satya. Tak lama kemudian, wanita itu tiba di ambang pintu kamar putra sulungnya.

Melihat kondisi Satya yang sudah bagaikan mayat mati itu tidak mengubah ekspresinya sama sekali. Wajahnya tetap datar.

"Satya, kenapa kamu?"

Satya sudah membuka matanya, dan kini bersusah payah untuk duduk. Sekali dua kali dia mengernyit karena kondisi perutnya, juga kepalanya yang seolah akan meledak.

"Nggak pa-pa, Ma. Ini mau siap-siap."

"Jam segini baru bangun?"

"Nyonya, Den Satya kayaknya lagi sakit. Suhu tubuhnya tinggi banget," kata Bibi Irmah, berusaha memberikan penjelasan.

"Sakit? Emang dia ngapain?"

Satya dan Bibi Irmah bergeming secara bersamaan. Apa pun alasannya, Erika pasti tidak akan mau percaya.

"Iya, Ma," kata Satya, bergerak untuk turun dari kasur. "Satya berangkat hari ini."

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang