19. Cahaya di Kegelapan

722 77 2
                                    

Satya tidak menyangka Nara akan segigih itu untuk bertemu dengannya. Namun mungkin dapat dimengerti mengingat mereka akan libur selama dua minggu pasca ujian akhir semester dan akan bertemu lagi di semester dua.

Sudah empat hari berlalu semenjak akhir ujian. Entah mengapa, Satya merasa sangat lega dan bersyukur dapat bertemu dengan gadis itu kembali.

Satya dan Nara berjalan beriringan menyusuri aspal perumahan menuju taman buatan perumahan tersebut. Nara menautkan kedua lengannya ke belakang punggung. Kakinya menendang-nendang beberapa kerikil batu di atas aspal.

"Lo jadi pembahasan hangat di sekolah akhir-akhir ini," ujar Nara.

Tentu saja gadis itu sudah mendengarnya.

Satya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang, "Hmm. Gue tau."

Nara mendongak ke arahnya. Kedua alisnya bertaut sembari dia mengamati raut wajah Satya. "Kenapa lo harus ngerjain ujian terpisah dengan kita?"

Taman perumahan sudah mulai terlihat di depan mereka. Taman buatan yang sering kali didatangi anak-anak untuk bermain perosotan dan ayunan. Terutama pada hari Minggu, taman itu diisi dengan tawa dan senda gurau.

"Ujian kemarin itu sekalian buat persiapan olimpiade berikutnya," dusta Satya setelah jeda lama. "Jadi guru ngawasin gue untuk sekaligus ngeliat seberapa cepat gue bisa ngerjain soal."

"Murid-murid lain malah bilang nilai lo nggak organik dan lo nyogok guru."

Satya mendengus tertawa. Dia memperhatikan ekspresi serius Nara. "Lo percaya mereka nggak?"

Nara merotasikan bola matanya jengkel. "Nggaklah! Gila kali orang bisa percaya gosip begituan."

"Yah, orang selalu denger apa yang mereka mau denger," ujar Satya.

Kini mereka sudah berada di jalan setapak taman perumahan. Ada beberapa anak kecil yang berlalu melewati mereka untuk main kejar-kejaran. Nara dan Satya memutuskan untuk duduk di kursi taman dan menikmati cokelat pemberian Nara.

Mereka hanya mengeluarkan dua bungkus cokelat karena sisanya untuk Satya simpan. Sembari menikmati cokelat tersebut, Satya bertanya tentang pengalaman ujian Nara dan dia menceritakannya dengan antusias. Nara mulai sadar bahwa segala hal yang dia pelajari sebelum ujian sangat mempengaruhi proses berpikirnya karena dia didorong untuk bermain logika alih-alih menjawab hanya berdasarkan insting, bahkan ketika dia tidak ingat dengan pasti apa jawabannya.

"Kalaupun nilai gue nanti nggak tinggi-tinggi banget, at least gue bisa tau karakteristik masing-masing soal," kata Nara sembari mengangguk yakin.

Satya tersenyum di sampingnya. "Lo orang pertama yang antusias banget sama yang namanya ujian."

"Ya, soalnya apa sih hal terburuk yang bisa terjadi? Kalau hasilnya kurang memuaskan, kita tinggal perbaiki buat ke depannya, kan?"

Senyum Satya sedikit luntur. Bila saja kasusnya semudah itu, mungkin dia akan seantusias Nara untuk ujian. Namun dia tidak ingin mengambil resiko. Tidak pernah ada hal baik yang terjadi ketika nilainya tidak sesuai ekspektasi.

"Satya?" tanya Nara, menyadari lelaki itu terdiam lama.

Satya menengadah dan mengangguk. Senyumnya tidak sepenuhnya hilang. "Baguslah. Itu cara berpikir yang seharusnya banyak orang milikin."

Nara menatapnya penuh perhatian. "Satya, lo pernah ngerasa tertekan nggak sih untuk dapet nilai tinggi?"

Pertanyaan itu membuat Satya diam termangu. Dia tidak pernah ditanya hal itu sebelumnya.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang