III - Dia

3.2K 148 1
                                    

Damien's POV

"My darling, Lily! I'm home".
Aku baru saja pulang dari kantor. Benar- Benar hari yang sangat melelahkan. Belum lagi malam ini, aku menjanjikan Lily - adik perempuan ku yang paling ku sayang - makan malam di luar. Hfft.

"Bang En!! Hurry! Masih ingat janjinya, kan?? ", tanya nya dengan mata berbinar - binar.

Lily dan aku bersaudara. Lebih tepatnya, Lily adalah saudara kandung ku satu - satunya, dan tentu saja alasan ku kembali ke Indonesia salah satunya adalah karena dia. Aku tak tega membiarkan dia sendirian disini, belum lagi dia masih SMA - masih butuh perhatian. Yaa, sebut saja aku abang yang protektif, namun aku tau ini demi kebaikan dirinya juga. Mama dan Papa sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar, dan akan kembali sekitar 3 bulan lagi. Mereka tidak memberikan alasan kepergian mereka kali ini, tapi firasatku berkata mereka sedang berada dalam situasi "meragukan" - ku harap mereka baik- baik saja.

Lily adalah seorang yang periang, tidak seperti aku - dingin, pendiam, bertolak belakang dengan sifatnya-. Dari kami berdua, Lily lah yang mewarisi fisik mama, dengan tubuh yang ideal, hidung yang mancung , juga kulit putih yang indah. Sedangkan aku mewarisi fisik papa, dengan hidung mancung , alis mata yang tebal ( tapi tidak tebal sekali) , dengan mata berwarna hazel. Perlu diketahui , aku juga tinggi seperti papa. Tinggi ku melebihi tinggi pemuda Indonesia pada umumnya, jelas saja itu terjadi, karena keluargaku mempunyai darah Inggris.

Dulu, aku sering sekali menjahili Lily, sampai dia pernah marah sekali terhadapku. Namun, aku suka ekspresi marahnya - dia tampak menggemaskan- and That's exactly what Makes me love her , as my one and only sister. Tak terasa, sekarang Lily telah tumbuh menjadi seorang gadis yang pintar, cantik juga baik. Tak heran jika banyak pria yang berusaha mendekatinya. Namun, aku tau selera adik ku yang satu ini, dia memiliki benteng pertahanan yang kuat, dan tentu saja aku yang mengajarinya untuk men- filter laki- laki yang mengejarnya. Lily sekarang duduk di bangku 3 SMA. Dia juga adalah orang pertama yang menyeleksi orang- orang yang dekat denganku, karena memang terkadang, ada beberapa orang yang memberikan "bad influence" terhadap diriku.

"Lily , perginya boleh ga kapan- kapan aja?", aku memohon.

"Em.. Emm.. Ga bisa bang en! You have promised me and now, I'm asking for your responsibility.", jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.

Lily memang merupakan seseorang yang disiplin dan juga bertanggung jawab. Dia selalu menepati janjinya, dan Akulah yang mengajarinya untuk berbuat demikian. Dan aku juga yang mengajarinya bahwa seorang lelaki sejati tidak boleh menarik ucapannya.
Sejak kecil, kami dibiasakan untuk mandiri. Sebisa mungkin , jangan meminta tolong kepada pembantu di rumah.

"Hmm... Baiklah, Lil. Aku akan menepati janjiku. Bisakah kau tunggu aku mandi dulu? ", tanya ku.

"Oke bang En. Aku tunggu.", jawabnya.

Senyum lebar terpapar di wajahnya. Aku tertawa dalam hati sambil berjalan menuju kamar.

15 menit kemudian, aku telah selesai mandi. Aku mengenakan celana jeans hitam dan sweter berwarna putih dan navy Blue.
Aku dan Lily memasuki mobil camaro ku dan pergi menuju restoran.

Elena's POV

"Elena, jalan yuk!", ajak Nadine.

Nadine adalah sahabatku sejak SMP. Awalnya, aku tidak terlalu dekat dengannya, namun waktu mengarahkan ku untuk menjalin persahabatan dengannya. Dia adalah orang yang sangat rajin, dan juga lebay, namun itulah dia.

Nadine Gwenn Zefanya adalah seorang arsitek. Dia telah bertunangan dengan seorang "Prince Romeo Natanardana". Ya, aku tau namanya panjang sekali, ditambah "Prince" yang membuat namanya berlebihan, namun Nata adalah seorang pria yang baik, juga mempunyai selera humor yang mengagumkan. Nadine dan Nata sudah berpacaran sejak SMA. Hmm.. Sungguh indah sekali kisah cinta mereka. Walau begitu, aku tidak bersikeras menjalin hubungan cinta sekarang ini. Ah, biarlah.

"Gwen, harus banget malam ini ya?", tanya ku.

"Ayolah , Ellen! Sudah berapa lama lu di Jakarta?"

"1 bulan"

"Right, dan sudah berapa kali lu keluar selain ke kantor yang tadi pagi itu?"

"Memang belum pernah Gwen, tapi gua cukup senang di rumah. Lagipula, gua rindu sama rumah ini.", jawabku.

"Ayolah, Ellen. Mau seberapa jauh ataupun indah semua tempat yang pernah lu kunjungi, lu pasti akan selalu merindukan kota Jakarta ini.", godanya.

Aku tak pernah bisa menahan godaan yang berhubungan dengan "Bright Lights and The Big City". Aku cinta travelling, dan mau sekeras apapun aku mencoba untuk tidak terlalu menyukai udara kota, aku tak bisa lepa darinya. Walau aku suka kota, aku juga suka suasana yang lebih "in to nature". Yep, aku rindu "all the Bright Lights" here in Jakarta.

"Hmm.. Benar juga lu, Gwen. Tunggu, gua ganti baju dulu ya."

Aku memakai kemeja putih tipis dengan kerah dan kancing hitam, dilengkapi dengan celana hitam ketat. Aku memakai flat stilletoes ku yang berwarna putih. Casual, seperti biasa.

"Lu ga pernah berubah ya, Ellen. Dari dulu, sama aja", kata Gwen.

"Sudahlah Gwen. Kita mau kemana?", tanyaku.

"Malam ini lu beruntung, ga gue ajak ke mall, Ellen.", katanya sambil tertawa.

"Haa... Gua tau nih.. Pasti Nata ga izinin lu pergi jauh dari rumah kan? Batasannya cuma rumah gua dan segala hal di sekitar rumah gua. Haa!! , jawabku with my devilish smile.

"Ih Ellen, udah ah.. Jalan langsung aja yuk"

"Iya, iya, nenek sihir", jawabku .

Sesampainya di restaurant, aku duduk di meja nomor 8 dengan Gwen. Ku edarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Beberapa saat kemudian, pandanganku jatuh kepada tatapan sepasang masa hazel itu. Aku terpaku.

My Runaway BabeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang