Elena's POV
Aku hanya bisa pasrah ketika kegelapan itu meliputi diriku. Aku hanya bisa pasrah ketika Adriel panik dan kecewa kepadaku. Aku hanya bisa pasrah ketika Fanny masuk rumah sakit karena-sesuai yang Adriel katakan- aku mencelakainya, walau aku sendiri tidak yakin bahwa akulah yang mencelakainya. Aku hanya bisa pasrah ketika aku hanya bisa bernafas berat tanpa sepatah katapun terucap dari mulutku.
Aku hanya bisa pasrah ketika celaka itu datang lagi membunuhku.
Aku membuka mataku perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang terang. Aku bergerak berusaha bangun, masih dengan ketakutan yang sama. Namun, aku di tahan oleh infus yang tertanam di tanganku.
" Dimitri?"
Dimitri mengelus tanganku, membuat bentuk pola melingkar disana.
" Don't do this to me, Lena.", ucap Dimitri dengan nada khawatir dan demanding.
" Dim, aku kenapa? Hmm?", tanyaku kepadanya.
Dia menatapku dengan tatapan yang selama ini kurasakan terhadapnya - tatapan peduli dan sayang.
" Kamu pingsan tadi malam. Aku ga tau kenapa Adriel kayak ga tahan kemarin. Pokoknya dia pergi begitu kamu aku angkat ke ruangan ini."
Hatiku mencelos mendengar perkataan Dimitri.
Riel, sebegitu bencinya kah kau kepadaku?
Mataku sudah berkaca-kaca and the last thing I remember is Dimitri pattering my back and bringing me into his open arms.
Setelah sekian lama aku menangis dalam pelukannya, mataku sudah sembap, dan kemeja nya juga sudah basah. Aku tersenyum lucu kecil melihat ulahku, kemudian aku menghadap wajahnya lagi.
But no, those tears haven't ended yet.
" Dim, lo tau kan gue hancur?", tanyaku kepadanya.
" Lena, lo ga pernah serapuh ini.", balasnya lagi.
" Lo tau kan, dari dulu, I am the weakest one. Even if I act like nothing can break through me, eventually you all know there's this part inside of me - the key for every weakness in me."
" Lo kuat, Ellen. Siapa yang buat lo begini? Kasih tau sama gue. Atau kak Adriel yang buat lo hancur gini?"
Aku langsung menenangkannya dengan mengambil tangannya, mendekapnya hangat.
" Shh, Dimitri. I need to tell you something....."
....
....
....
" NO! That will never happen! Not for the rest of my life. Not you!!", tolak Dimitri dengan penuh penekanan." I know you will do this. Please, Dimtri. I really need you. Help me."
Sorenya..
Aku sedang meratapi makanan yang tersaji di depanku, dengan Dimitri yang berusaha membuatku membuka mulut, namun usahanya sia-sia. Tiba-tiba, pintu rumah sakit terbuka.
" Elena..."
Dia berlari menghampiriku. Wajahku yang muram menjadi terang kembali.
Ahh... At least, I get to spend some time with you, my sunshine.Wajahnya menyiratkan aura ketakutan yang luar biasa, bahkan ketika kami berpelukan, keringat dingin bercucuran di dahinya.
Dia memelukku sangat erat dan aku membalasnya dengan lebih erat lagi, enggan melepasnya. Dia mengusap-usap wajahku.
" Don't do this to me, Lena. Please, you've just made me the scariest person alive today. You've just made me loose my breath. Seeing you here alive is priceless. Can't you see how worried am I?", katanya dengan frustasi.
Penampilannya memang kacau sekarang, dengan kantung mata yang menghiasi wajahnya. Aku mengelus pipinya pelan.
" I miss you, please don't be mad.", bisikku kepadanya."
Dia membuang nafas dengan lega. Aku tertawa geli melihat ekspresi wajahnya sekarang.
" Ehm. ehm..."
Dimitri kembali berdiri di samping Damien. Aku yang baru sadar situasi di antara mereka langsung memotong sebelum Dimitri sempat ngomong.
" Damien, Dimitri. Don't fight here and please, preety please, keep in your mind that this is a hospital.", tegurku kepada mereka berdua yang sekarang sedang saling menatap. Entah apa yang mereka perdebatkan melalui tatapan itu.
" Sini, makanannya. Gue yang suapin Elena.", kata Damien dengan ketus.
Aku meremas tangannya dan menggeleng kepadanya, berharap dia bisa mengontrol diri.
Dimitri enggan memberikan makanannya, namun akhirnya memberikan piringnya juga.
" Yang bener lo kasih makannya! Kalau dia tersedak, mau tanggung jawab?"
" Eh, kalaupun Elena tersedak, gue juga tau harus ngapain."
" Ahh... Basi lo. Pokoknya kalau ada apa-apa, langsung panggil gue."
Dimitri pun keluar dari ruangan.
" Nah, sekarang, Lena sayang, yang bandel banget, kamu makan. Sekarang! Ga ada penolakan."
" Dam, suapin ya. Aku ga selera makan liatnya."
Dia menyuapiku dengan sabar. Dan hari itu, aku menceritakan kecelakaan itu. Dia kelihatan marah mendengar ceritaku.
" Ellen, musuh kamu siapa, hah? Biar aku hancurin sekarang."
" I hope we wil."
Tanpa sadar, aku mendekatkan wajahku kepadanya, dan sekilas mencium pipinya. Gaya aku sekarang memang mirip ABG lagi cinta monyet, tapi biarlah. Sekali ini saja, sebelum semuanya berakhir.
Dimitri tertegun sesaat.
" What's that for?", tanyanya sambil menahan wajahku sebelum kembali ke posisi normal.
" Thankyou for always being there for me.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Runaway Babe
Romansa" I think I fall in love a bit with anyone who shows me their soul. This world is so guarded and fearful. I appreciate rawness so much." Then, he asked, " Now, show me yours." The question I fear now standing right in front of me. The dreadful thing...