Damien's POV
Jujur, aku masih kesal dengan tindakan si Dimitri. Sekarang, aku dan Elena sedang berada di dalam mobilku diantar kembali ke kantor. Emosiku sedang berguncang, dan Elena masih berusaha melepaskan tangannya yang berada dalam genggamanku.
" Pak Damien! Tolong, lepaskan saya!", ancam nya. Suaranya masih pelan.
Aku menatapnya intens, tapi Elena malah membalas menatapku dengan sama intensnya. Biasanya, orang langsung bergidik ngeri melihat tatapan membunuhku ini, tapi tidak dengan Elena.
" Kamu sadar kan, apapun yang kamu bilang ga akan mempengaruhi statement saya?"
" Saya sadar kok Pak. Tapi Bapak ga seharusnya memperlakukan saya seperti ini. Ga di izinkan memberi hukuman fisik untuk pegawai bawahan Bapak.
" Saya udah bilang saya akan kasih kamu hukuman. Ya, terima aja lah kalau emang ini hukuman buat kamu. Yang jelas, ini masih di kategorikan sebagai hukuman. Saya ga mau tau, fisik kek atau apa lah segala macam. Saya ga mau tau!"
" Fine! Sekarang Bapak jawab saya! Ngapain Bapak pake narik-narik saya tadi?"
" Belum jelas ya? Jam makan siang udah lewat, Elena, dan kamu masih aja di sana sama Dimitri. Kamu jelas melanggar peraturan kalau gitu."
" Oke, saya melanggar peraturan. Tapi Bapak bisa kan memperingatkan saya aja, ga perlu sampe narik-narik saya segala balik ke kantor?"
Ya, mau bagaimanapun aku harus menarikmu, Elena! Tak akan pernah ku biarkan dia mengantar mu ke kantor. You wish!!
Untunglah, sebelum aku menjawab pertanyaan Elena, kami sudah sampai di depan kantor ku. Tetap ku tarik Elena menuju ruangan ku. At last, ku lepas tangannya saat kami sudah sampai. Dia mendengus kesakitan.
Victoria masuk ke dalam ruanganku.
" Sir, Anda akan menghadiri meeting dengan Sir Gonzalez nanti jam 4."" Iya Victoria. Terimakasih. Bisakah kamu membiarakanku berdua dengan Elena sekarang?", tanyaku sambil memberikan tatapan membunuhku kepadanya.
Kulihat mukanya memucat mendengar perintah ku. Dia langsung menutup pintu dan meninggalkan kami berdua.
" Now, jawab pertanyaan saya, Pak Damien!"
Aku sudah tidak tahan lagi. Biarlah dia tau segalanya!
" Saya gila karena kamu, Elena! Saat saya liat kamu tertawa sama dia, makan bareng sama dia, bahkan kamu cium pipi dia. Saya ga bisa konsen lagi. Saya merasa emosi saya berkoar-koar karena kamu. Dan bagian terpahit dari itu semua adalah, saya bahkan ga bisa melakukan hal itu sama kamu. Kamu ga pernah tertawa sampai segitunya di depan saya, saya juga ga pernah mendapatkan ciuman di pipi dari kamu.", jelas ku sambil membentak tanda frustrasi.
Kulihat dia tertegun mendengar penjelasanku tadi yang panjang lebar. Matanya membesar menyadari arah pembicaraan kami. Dia mundur satu langkah.
" Ehm.. Bapak cemburu?", tanya nya dengan POLOS NYA!Astaga!! Terbuat dari apakah hati perempuan di depanku ini? Dari batu kah??
Aku semakin tak tahan dengan Elena. Aku langsung menerjang nya hingga dia membentur dinding.
Aku menyerangnya dengan ciuman yang membabi buta, berusaha menyalurkan semua perasaanku - marah, kesal, sayang, khawatir, CEMBURU - padanya. Aku bisa merasakan Elena meronta-ronta, dan memukul-mukul dadaku. Tapi, pukulannya itu sungguh tidak terasa, bahkan membuatku semakin menekannya ke dinding. Aku melumat bibir merah nya itu, menggigitnya, hingga lidah ku mendapatkan akses masuk ke dalam mulut nya. Kusadari dia akhirnya luluh, karena dia berhenti memukulku. Setelah beberapa detik aku menciumi nya, aku berhenti sebentar - kami membutuhkan oksigen. Dia kelihatan sangat sexy dengan rambut berantakan dan mukanya sekarang yang memerah.Tapi bukan berarti aku akan mengakhiri ciuman ini. Sesaat kemudian, aku langsung menerjang nya lagi. Aku meraih tengkuknya untuk memudahkan ku menciumnya. Awalnya, Elena hanya diam. Namun, akhirnya dia mengalungkan tangannya di leherku, membalas ciumanku dengan lembut, yang membuatku pun mengerang dan semakin lapar.
Kami menghentikan adegan ini. Aku memandang nya dengan intens, menatap lurus ke kedua matanya yang indah, bibir merah nya yang memabukkan.
" You smell like Shea. Dari awal, kau bau Shea.", kataku sambil menempelkan dahiku pada dahinya.
Kulihat pipinya masih merah, rambutnya berantakan, dan nafasnya memburu. Dia pun balas menatapku, namun aku tidak bisa menggambarkan jenis tatapannya ini.
" Jangan pernah jalan bersama dengan pria lain, selain aku. Kamu ga boleh pergi gitu aja.", kataku padanya.
Dia tidak menjawabku, namun dia menggenggam tanganku dengan kuat, serasa meyakinkanku.
" Kamu jangan gila gara-gara aku, Damien. Aku ga suka ngeliat kamu marah.", katanya dengan suara parau.
" Elena, ini semua karena kamu. Kamu yang buat perasaan aku jadi campur aduk begini."
Dia mengacak rambutku dengan gemas sambil tersenyum geli. Jujur, aku ingin terus begini bersamanya.
" Ga usah lebay, Damien."
" Tapi aku serius, Elena! Ini semua gara-gara kamu."
" Ah, tau deh!"
Sebelum dia berhasil keluar dari ruanganku, aku menahannya.
" Kenapa lagi Damien? Masih marah?", tanya nya lesu.
" Engga. Kelewat seneng aku sekarang. Kamu rapikan rambut kamu dulu. Berantakan. Sekalian, bibir nya juga. Aku ga mau ada yang ngeliat pemandangan kayak begini. Pemandangan begini cuma aku yang boleh liat. Orang lain ga boleh."
Kulihat, muka nya memanas mendengar perkataan ku tadi. Dia langsung ngacir ke kamar mandi.
Aku bisa mendengar bentakannya dari kamar mandi.
" Arrghh! Damien!!"
----------
----------
Elena's POVSialan! Ngapain juga dia main cium-cium gitu? Kasar pula, itu! Rambutku yang tadinya tertata rapi sekarang sudah sangat berantakan. Bibir ku yang tadi ku olesi lipstik merah sekarang makin memerah, akibat ciumannya tadi.
Pipi ku mulai menunjukkan rona merah nya lagi mengingat kejadian tadi.
Aku masih kaget mendengar penjelasannya tadi. Fakta bahwa dia cemburu membuatku semakin bingung. Bagaimana mungkin manusia es seperti dia bisa cemburu pada Dimitri?
Aku merapikan rambutku. Untunglah, ada sisir disini. Dan untuk bibir ku, aku memutuskan untuk menghapusnya saja. Biarlah nanti ku pakai lagi.
Aku keluar dan mendapati dia tengah tersenyum jahil di singgasananya. Jantungku berdegup kencang sekarang melihat situasi ini.
Aku memicingkan mataku padanya.
" Pak Damien, saya permisi."
" Ehh, kamu mau kemana?", tanya nya penasaran.
" Mau balik ke ruangan, Pak."
Kelihatannya, dia sedang menimbang-nimbang.
" Oke, kamu boleh balik. Tapi, ingat ga boleh mesra-mesraan sama lelaki lain, kecuali aku."
" Iya, iya Pak. Kalaupun saya melakukan itu, Bapak juga ga bakal tau kok.", jawabku meledek.
Kulihat muka nya langsung memucat mendengar perkataanku. Dia berdiri dari singgasananya dan menggenggam tanganku.
" Kamu ga akan pernah lepas dari pandangan saya, Elena. Saya punya CCTV di ruangan kamu. Saya bisa melihat apa aja yang kamu lakukan. Terserah sih. Kalau kamu memang ketahuan mesra-mesraan sama lelaki lain, yaa, siap-siap aja dapat hukuman yang jauh lebih extreme daripada yang tadi", jawabnya sambil memberikan tatapan menggoda.
Jleeebb!!! Astaga!! Ga ga ga!! Ga bisa begini.
" Iya, iya, Pak Damien. Janji deh.", mohonku kepadanya.
" Bagus kalau gitu."
Sebelum aku keluar dari ruangan, dia menahanku dan mencium pipiku sekilas.
Oohh!! Butterflies in my stomach!!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Runaway Babe
Lãng mạn" I think I fall in love a bit with anyone who shows me their soul. This world is so guarded and fearful. I appreciate rawness so much." Then, he asked, " Now, show me yours." The question I fear now standing right in front of me. The dreadful thing...