Halo, readers semuanya! Just for your information, ini pertama kalinya aku buat cerita di wattpad. Memang, there are plenty of typos in all of the parts I have made, and I'll make sure that I'll do better in writing the stories.
Sebisa mungkin, aku bakal update setiap hari 1 part, mumpung waktu luang aku lagi banyak, dan sekarang aku lagi santai aja, no need to rush. And, I'll make sure the story is as interesting as I can imagine.
About the title, well, sebenarnya aku ga planning untuk title 'runaway' ini. Jujur, dari awal aku sama sekali gatau judul apa yang bagus buat cerita aku, tapi aku harap nanti bisa aku kaitin deh.
Hope you enjoy the story so far. Dan bila masih ada kesalahan, mohon maaf ya. Okay..
Enjoy part 4!!!
Aku menatap diam kedua bola mata itu, yang kusangka telah memperhatikan ku sejak awal aku masuk ke dalam Restoran ini. Dia terus memperhatikanku , dan aku merasa terintimidasi. Pandangannya tak lepas dariku.
Come on, Elena. Look at him.
' Sial! Kenapa cowo kayak dia punya tatapan yang sebegitunya? Gua salah apa coba sampai dia natap gua kayak mau nerkam gua?', batinku berkata.
Aku menggoyangkan bahu Gwen.
"Gwen.. Gwen!!", bisikku.
" Iya, Ellen. Kenapa? Masih kesel gua ajak ke sini?", ledeknya.
"Engga. Dengerin gua. Ada cowo yang dari tadi ngeliatin gue.", jelasku.
"Hah? Siapa Ellen? Kok ga kenalin sama gua sih?"
"Heh, dasar lu! Ingat tunangan lu nungguin di rumah sana! Udah ah. Gua jelasin nanti tentang dia."
"Iya, Iya. Siapa sih Len?", tanyanya.
" Itu liat ke belakang. Arah jam 7. Sebaris sama gua."
" Eh, Ellen. Lumayan tuh! Menurut gua dari mukanya, dia oke - oke aja tuh. Udah, gebet aja!"
" Gila lu, Gwen! Siapa dia, siapa gue coba? Dia salah satu orang yang interview gue tadi pagi."
" Hmm.. Gue tebak ya, dia pasti bos lu."
" Gue pikir juga gitu. Ahh.. Gue ga peduli, mau dia siapa juga, ga peduli. Bantuin gue dong. Gue harus samperin dia atau gimana?", tanyaku sambil memohon.
Yepp, dan dia masih terus menatapku.
"Aduh, len. Serius ya. Dari SMA gue kenal sama lu, baru kali ini lu behave gimana gitu banget sama seorang cowo. Kayaknya lu biasanya cool-cool aja di depan cowo, kok sekarang begini? Dan biasanya lu bakal biarin cowo respon duluan, baru lu jadiin sasaran."
"Ya ini kan bukan orang biasa, Gwen. Mau gimanapun, gua juga butuh kerjaan di tempat dia."
Dia masih terus menatapku. Astaga!
"Bener juga sih. Eh, emang lu berani nyamperin dia?", tantangnya.
Aku menampakkan senyum jahil ku.
" Gwen, lu jangan pernah underestimate gue deh. Denger ya, gue udah berkelana keluar selama sekian tahun, dan lu masih berpikir gue takut sama dia. You know what? Kagak! Big NO! Gue bakal samperin dia."
" Go then, Ellen. I am so happy for you.", jawabnya sambil tertawa.
Aku meninggalkan Gwen dan berjalan menghapir si "Dia".
" Malam, pak. ", sapaku.
Dia berdiri dan menjabat tanganku - tanpa tersenyum - dan berkata :
" Malam, Elena."
Dia berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku, namun aku tetap tidak melepaskannya. Dia menatapku dengan tatapan proffesionalnya sekarang. Tapi aku masih dapat melihat ada hasrat terpendam di balik mata hazel nya.
" Kenalkan, ini adikku, Lily Verlac.",katanya.
Akhirnya dia mencairkan suasana. Menyadari kehadiran adiknya, aku langsung melepaskan genggamanku darinya.
Lily mulai berbicara sambil tersenyum.
" Halo, kak Elena. Lily.", sapanya.
Wah, ternyata adiknya jauh lebih menyenangkan dan friendly dari abangnya.
"Halo, Lily. Kok kamu bisa tau nama ku?", tanyaku - penasaran.
" Iya dong, kak. Kan kakak sering masuk 'explore' di Instagram.", jawabnya.
Aku tertawa mendengar jawabannya. Pantas saja, sebuah senyum tak kunjung lepas dari wajahnya. Lily memiliki wajah yang sangat indah dan juga senyum yang menawan.
" Oh, Hahahahaha. Salam kenal, kalau gitu!", kataku sambil menjabat tangannya.
Menyadari sang abang tidak berkata apa- apa, aku mulai investigasi ku.
" Lily, aku pinjam abangmu sebentar ya.", pintaku.
" Oke , kak Lena.", jawabnya.
Aku berbisik kepada si 'Dia'.
" Kau, ikut aku sekarang!"
Aku tau kalimatku tadi mirip dengan perkataan seorang penculik, namun aku sungguh ingin meminta penjelasan dari dia. Aku menariknya keluar dari Restoran.
" Straight to the point. Maksud bapak apa ngeliatin saya begitu? Sampai lama banget ?", tanyaku.
" Oh, yang tadi. Saya minta maaf.", jawabnya dengan santai.
Satu kata itu membuat ku sadar bahwa tidak seharusnya aku terlalu "baper" tentang tatapannya tadi. Aku memang cukup dikenal dengan sifat cuek ku, tapi kalau masalahnya sudah terlanjur begitu besar, baru alarm dalam diriku menyala kencang. Aku cukup yakin, ini bukan masalah. Lagipula, aku tidak mengenalnya.
Jeda sebentar.
" Hmm.. Sorry for asking you like that, sir. That was rude. I won't do it again.", kataku.
Tiba - tiba, dia tertawa terbahak - bahak. Aku heran melihatnya.
" Ehm.... Pak, kenapa anda tertawa? ", tanyaku.
" Hahahaha.. Engga, kamu lucu aja.", jawabnya sambil mengatur nafasnya.
Hah? Dia anggap aku lucu? Ingat, Elena. Ga perlu baper.
" Oh, ya udah. Saya duluan masuk kalau begitu. Malam, pak ... "
Aku baru sadar sampai detik ini, aku tak tau namanya.
" Damien. Nama saya Damien."., jawabnya.
" Baik. Permisi, pak Damien."
Sebelum aku melangkahkan kakiku, pak Damien memanggilku lagi.
" Elena?", sapanya.
"Hmm?"
" Apakah kau tidak marah?", tanyanya.
" Buat apa, pak? Itu kan pendapat bapak terhadap saya. Jadi, it's none of my business, pak.", jelasku.
Sekarang, tatapan yang diberikannya bukanlah tatapan menerkam dan bukan tatapan profesional, melainkan ... hangat. Tapi akhirnya, aku mengabaikan tatapannya dan masuk kembali ke dalam Restoran.
" Udah selesai dramanya, Ellen?", tanya Gwen kepadaku.
" Bukan drama, itu mah. Eh, udah pesen makanan belum?"
" Udah. Lu yang biasa kan? Spaghetti bolognaise sama singkong thailand, terus minumnya Thai Tea kan?
Sahabatku yang satu ini memang selalu ingat segalanya tetang diriku.
" Ja. Thanks, ya Gwen"
"My pleasure." , balasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Runaway Babe
Romansa" I think I fall in love a bit with anyone who shows me their soul. This world is so guarded and fearful. I appreciate rawness so much." Then, he asked, " Now, show me yours." The question I fear now standing right in front of me. The dreadful thing...