Chapter 14

60 11 0
                                    


Tiba-tiba kangen sama Haechan 😌 ada yang sama ga? Hehe

Ga kerasa dikit lagi lebaran huft. semoga masih pada kuat puasanya sampai akhir ya. Semangaaat !


Warning!!!

Tolong jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan pribadi mereka ya guys. Karena cerita ini hanya FIKSI. Harap bijak dalam menyikapinya. Terimakasih.


Haechan menatap hamparan langit yang tenggelam diselimuti awan hitam. Tubuhnya seakan kebas, sebanyak apapun air merasuk kedalam untaian benang yang menyelimutinya. Ia mendesah, merasa kehilangan sesuatu yang amat dalam.

Matanya menerawang, mengingat semua waktu yang ia lalui bersama Ryujin. Gadis itu menghiasi hari-harinya dengan tawa, canda dan senyum yang membuatnya betah berlama-lama untuk memandangnya.

Tadi sore, semuanya masih terlihat baik-baik saja. Ia masih menghidu harum tubuh vanilanya. Ia masih mencium puncak kepalanya. Ia masih melihat wajah manisnya dengan tangan besar yang melingkupi tubuh kecilnya. Ia suka. Sangat suka dengan tubuh kecil Ryujin yang pas dipelukannya.

Tapi mengapa, semuanya berganti dengan hal yang menyakitkan dari pesan terakhir yang Ryujin kirimkan. Pesan dimana ia mengakhiri semua hubungan mereka.

Haechan merasa tidak terima dengan semua kata 'akhir' dari gadis itu. Selama ia belum menyelesaikannya secara langsung, Ryujin tetap menjadi kekasihnya. Ia akan menunggu Ryujin pulang karena memang hanya dialah 'rumah' bagi Haechan. Anggaplah dia bodoh tidak mengerti bahasa manusia. Tapi semua itu memang tidak bisa diterima dengan akalnya. Ia sangat mencintai Ryujin dan tidak ada yang bisa menggantikannya

Kita putus

Dua kata itu bagai bom atom yang meledakkan tubuh Haechan. Merusak sistem kesadarannya. Meruntuhkan kebahagiaannya seketika.

Hatinya masih berdenyut sakit. Bagaimana bisa Ryujin tega mengakhiri hubungan mereka jika selama ini ia bisa menjalani semuanya dengan baik. Haechan selalu memperlakukan Ryujin layaknya ratu dihatinya. Ia akan mengusahakan apapun untuk kebahagiaan wanitanya. Karena ia sangat mencintai Ryujin. Apapun ia lakukan demi kebahagiaan gadis itu.

"Astaga, Chan," Lia sangat terkejut dengan Haechan yang sudah menggigil berdiri didepan pagar rumahnya. Gadis itu langsung keluar dari mobil dengan payung yang sudah direntangkan.

"Lia," bersama tetesan air langit ia menangis. Ia tidak peduli dicap lemah oleh saudara gadinya itu. Karena memang kenyataannya ia sangat rapuh saat ini. Kepergian Ryujin membuatnya kehilang sebagian alasannya untuk tetap terlihat 'hidup'.

"Masuk dulu ke mobil gue."

Haechan hanya menurut saat Lia menuntunnya masuk ke dalam mobil. Tampilannya sudah menjelaskan seberapa hancur dirinya karena ditinggalkan Ryujin. Lia bahkan tidak berkata apa-apa karena melihat Haechan yang tampak menyedihkan.

"Cerita sama gue, kenapa lo jadi gembel malam-malam gini." celetuk Lia saat ia sudah berhasil membawa Haechan ke gazebo samping rumahnya.

"Tunggu disini bentar," imbuhnya kembali.

Lia meninggalkan Haechan yang masih bertengkar dengan pikirannya. Ia bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan semua kejadian hari ini. Pasti Lia akan memarahinya jika tahu Ryujin pergi dari hidupnya.

"Gue bawa baju ganti. Lo langsung masuk aja ke gazebonya. Gue tunggu diluar." Lia memberikan totebag berisi pakaian serta dalaman untuk pria itu. Ia tidak mungkin mengintrogasi Haechan disaat pria itu bayah kuyup.

"Thanks,"

Lia tak lupa membawa segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuh pria itu. Ia tahu masalah yang dihadapi Haechan dengan sepupunya Ryujin. Hanya saja ia ingin mengetahui letak masalah dari versinya Haechan. Karena ia ingin netral tanpa memihak siapapun.

"Lo minum dulu teh hangatnya. Setelah itu lo bisa cerita sama gue, kenapa lo sampai kaya gini."

"Makasih." Haechan menyesap minuman itu yang masih sedikit mengepul. Bajunya lebih manusia saat berhadapan Lia. Celana pendek selutut serta kaos berwarna hitam.

Detik demi detik berlalu. Lia masih menunggu Haechan bicara dengan sabar. Ia tahu, pasti sulit sekali memulai pembicaraan mereka.

"Kepergian seseorang dari hidup kita rasanya ga enak ya, Li? Terutama dari orang yang kita sayang."

"Siapapun orangnya pasti ga suka diposisi itu, Chan."

"Iya, Li. Lo bener. Gue bukan cuma ga suka ditinggal pergi. Tapi gue marah, kecewa dan sedih karena ditinggalin Ryujin. Dia buat dunia gue berhenti, ninggalin gue dengan kata putus.

Dipikiran gue penuh dengan tawanya, senyumnya, marahnya dan muka cemberutnya kalau dia lagi merajuk. Bisa lo bayangin kalau dia ninggalin gue? Rasanya hampa."

"Dia pasti punya alasan tersendiri. Sampai buat dunia lo runtuh kaya gini." Lia mendesah. Seketika ia jadi pendengar kegalauan tamu tak diundangnya malam ini.

"Apapun alasannya. Seharusnya dia bisa omongin baik-baik kalau mau hubungan ini berakhir. Pergi tanpa bicara bukan suatu pembenaran, Lia. Itu namanya pengecut dan Ryujin bukan gadis seperti itu. Kalau ada hal besar dia pasti ngomongin langsung sama gue." Berkali-kali nafas pria itu berhembus dengan kencang. Wajahnya sangat gusar ditengah dinginnya malam.

"Ga semua hal sanggup dibicarakan secara langsung, Chan. Bisa jadi lo buat dia kecewa tanpa lo sadari. Ryujin bukan gadis yang ninggalin lo tanpa alasan. Coba lo ingat-ingat lagi. Hal apa yang lo lakuin belakangan ini sampai dia bisa putusin lo."

"Terakhir yang gue lakuin bawa temen sekolah gue kerumah. Disana pun Ryujin tahu apa yang gue lakuin."

"Lo yakin hanya sekedar bawa temen sekolah lo itu tanpa ada hal lain? Misalnya peluk, cium atau umbar kemesraan gitu di depan dia?"

Haechan sedikit meringis mendengar pertanyaan Lia. Ia seperti diinterogasi di ruangan dingin. Ia bingung harus jujur atau tetap bungkam.

"Gue ga ngelakuin apa-apa, Lia," elak pria itu. Bau-bau kebohongan terhidu dengan jelas karena wajah gugup Haechan.

"Nada orang gugup biasanya pertanda dia engga yakin dengan jawabannya. Gue sangat menyayangkan sikap lo kali ini, Chan. Lo boleh baik sama orang lain, tapi harus tau batasannya.

Seharusnya patenin dalam otak lo, kalau Ryujin juga pacar lo. Secuek apapun cewek ga akan suka cowoknya bawa cewek lain. Didepan matanya pula. Kalau Ryujin deket sama cowok lain apa lo bisa terima itu? Dengan alibi kalau dia itu teman sekolahnya Ryujin? Bisa gak!"

Lia yang tadinya bernada lembut berubah jadi mencak-mencak melihat kebodohan pria di depannya. Ia kesal dengan Haechan yang berbuat baik dengan gadis-gadis lain tanpa memperdulikan perasaan Ryujin. Dimana sih otak pria itu?

"Minum, Lia. Serem banget lo malem-malem teriak kaya orang kesurupan boneka tomang gitu."

"Iya ini semua karena kebodohan lo, Haechan. Coba aja lo ga buat Ryujin sakit hati. Gue ga akan marah-marahin lo kaya gini."

"Sakit hati gimana sih, Lia. Gue selalu berusaha jaga sikap selama ini dan tahu batasannya."

"Apa ini yang lo maksud tahu batasan? Hah!" Lia memberikan ponselnya kepada Haechan. Tampak seorang gadis yang mencium pipi pria itu. Sial. Kejadian tak terduga itu bahkan sampai kepada Lia yang notabennya orang kepercayaan Ryujin.

Malam ini sepertinya akan panjang dengan omelan gadis itu. Ia mati kutu karena terciduk oleh Lia. Bagaimana ia punya muka untuk minta bantuan jika ternyata gadis itu tahu kebodohannya.

"Gue percaya banget kalau lo bisa bahagiain Ryujin lebih dari pria lain. Ryujin selalu bilang ke gua dengan nada senang, kalau dia beruntung bisa bersanding sama lo. Setiap hari bahkan telinga gue sakit karena dia selalu agung-agungin pacarnya bak malaikat tanpa celah sedikit pun. Tahunya lo kaya taik! Bangsat lo, Chan! Brengsek."

Lia dengan kencang memukuli pria itu tanpa ampun. Ia sudah menahan diri untuk tidak menghajar Haechan saat melihat muka nelangsanya di depan pagar seperti pengemis.

"Ampun, Lia." Gadis itu menulikan telinga. Ia tetap memukuli Haechan tanpa henti. Bagaimanapun ia tidak rela sepupunya sampai pergi hanya karena tidak sanggup menahan rasa sakit hati. Semua itu karena pria tidak tahu diuntung seperti Haechan.

"Sakit ditubuh lo ga sebanding sama hancurnya hati Ryujin!"

"Yang terluka bukan dia doang. Tapi gue juga bangsat!"

"Itu semua karena lo udah mentingin gadis lain daripada Ryujin."

"Salah mulu gue ya tuhan."

"Iya emang lo salah. Masih mau ngelak? Hah!"

"Gue mau curhat sama lo, Lia. Bukan dianiaya kek gini."

"Bodo amat gue ga peduli."

"Lo boleh pukulin gue sampai tangan lo copot. Tapi kasih tahu gue dimana keberadaan Ryujin. Gue tahu kalau lo diam-diam lagi telponan sama dia sekarang."

"What!" pekik Lia saat telponnya diambil alih gadis itu. Ia memang bodoh masalah percintaan. Tapi tidak dengan Lia yang menelpon Ryujin selama mereka berbicara. Selama kesunyiannya tadi ia berusaha meyakinkan bahwa Lia sedang melakukan panggilan telpon. Tapi ia mengetahuinya setelah dengan sengaja mencari kesempatan ditengah pukulan Lia yang membabi buta.

"Ryujin. Gue minta maaf karena jadi pria bodoh yang dengan tidak tahu dirinya menanti lo kembali. Jin... pulang. Please... Kita remukin bareng-bareng masalah kita. Jangan pergi tiba-tiba kaya gini. Gue sayang banget sama lo Jin... Please... jangan buat gila diusia muda. Gue bisa jelasin semuanya ke lo, Jin. Hati gue hancur liat pesan yang lo kirim. Brengsek! Cuma lo doang yang buat gue nangis kaya gini Jin." isakan pria lirih terdengar. Haechan menangis menyesali setiap tindakannya yang menyakiti hati Ryujin tanpa sadar. Ia berjanji akan memperbaiki semuanya jika gadis itu kembali dalam pelukannya.


Ayang Echan nakal sih  😂 ditinggal yayang kan tuh.

Baca part terakhirnya pelan-pelan biar feelnya dapet wkwk

20.10

28april.22

Haejin (Haechan x Ryujin) HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang