37. Restoration

942 139 6
                                    

"Bagaimana bisa tak sanggup?"

Tercekat, Diana berseru keruh dengan pengecap yang asam. Hidungnya bereaksi sama dan menjadi lebih tebal dari sebelumnya. Sebetulnya tubuh itu kaku, rapuh, dan lusuh. Sehingga bergerak secara alami menjadi tantangan yang pasti.

Meskipun begitu adanya, Diana masih memaksa setiap sendi dan ototnya yang nyeri, membiarkan setiap syaraf bekerja keras mengantarkan siksa kepada pengaturan utama.

"Bagaimana bisa kau seperti ini?"

Diana meremas kedua bahu Lucifer saat duduk di atas lipatan kakinya, mendorong pria itu agar kembali bangkit demi bertukar tatapan rindu. Bila melepasnya-rindu- harus menjadi hal yang luar biasa indah, bagi sepasang pria dan wanita, iblis dan jiwa, cinta dan pengorbanan, Lucifer bersama Diana, mereka hanya mencicipi pilu tanpa sanggahan.

Lucifer berkedip sampai air mata yang ditampung sayap-sayap bulu matanya terjatuh. Dia mengambil tangan Diana yang bersinggah di bahu, memindah-tempatkan mereka di kedua sisi wajahnya.

Lucifer harus menikmatinya.

Hati yang gusar, cemas, dan yang pertama kali dia sebut sedih, kali ini benar-benar mendobrak pintu hatinya.

"Diana, aku sebuah keberadaan tanpa nyawa. Yang tinggal di antara ada dan tiada. Tanpa jejak hidup pula harap. Sebercak silau pun enggan, aku sepenuhnya berisi gelap tanpa terang. Sampai kau tiba, untuk pertama kalinya. Sungguh pertama, dan aku telah bersumpah menjadikannya yang terakhir."

Lucifer menggeleng pasrah, lemah terhadap yang dipuja. Kala itu dia masih terisak, namun belum cukup untuk tubuhnya melupakan kebutuhan akan Diana. Kemudian tindakannya berlangsung selama beberapa saat, Lucifer menerima napasnya di antara telapak tangan wanita yang menguasai kuil terbesar dalam hidupnya.

"Namun kau pergi begitu saja. Sangat mendadak. Kau melanggar janjimu, kau melanggar kesepakatan kita, kau melanggar cintaku, Diana. Kau melakukan segalanya, lalu kau melarangku berbuat satu hal yang tak lagi dapat kukendalikan. Egois akanku, egois akanmu, tapi jangan egois akan bahagiaku jika kau bahkan pergi."

Mereka berdua di tengah tangis dengan dua keadaan yang berbeda. Bila Lucifer ialah sosok yang baru saja mengalami kesedihan pertamanya, maka itu masuk akal membuat dirinya terpuruk amat buruk. Kendali dan waras, omong kosong untuk memastikan dua hal itu masih ada.

Sedang Diana, dia menekan suara yang dia sisakan untuk memberi lebih banyak kepentingan bagi mereka, berperan sebagai yang lebih tabah demi sang kekasih. Dengan gelar seorang yang menelan isak lebih banyak, Diana tentu mampu mengendalikannya lebih baik.

"Diana, bagaimana bisa kau seperti ini? Haruskah aku menyalahkanku, kau, atau takdir?" Lucifer memandang Diana seolah anak anjing kecil di bawah deras hujan. Menunggu siapa pun penyelamat yang murah hati memberinya kesempatan untuk bertahan.

Diana mendengar pertanyaan Lucifer, sontak dia membantah tegas. "Lu, takdir tidak pernah buruk. Kita-lah yang membuatnya terjadi. Sebenarnya itu malah berharap kepada kita agar membuatnya menjadi lebih baik. Tetapi adalah sebuah kepastian jika semua hal ditandai dengan harga. Percayalah, rasa sakit ini membuktikan bahwa Tuhan memberikan kita kesempatan untuk merasakan bahagia di masa depan."

Kata-kata sebijaksana itu sebetulnya tidak berpengaruh pada Lucifer, subjek yang sejak awal menentang Tuhan. Benar, dia seharusnya tidak mengambil pusing atas ucapan Diana.

Namun, apa yang dapat dia perbuat?

Lucifer telah mengabdikan dirinya untuk menentang Tuhan. Tapi, wanita yang dia jadikan Dewi pribadi malah merupakan pengikut Tuhan yang setia.

Bagi Lucifer, apapun pilihan Diana tak terelakkan yaitu benar. Pendirian ini, bertumbuh kembang semakin besar dan dalam sejak kematian Diana.

Kesombongan yang sempat bangkit kini malu hanya untuk mengintip. Dia tak lagi menuntut, Diana saja sudah cukup. Meski itu merusak ketenarannya akan pendosa, meski itu merusak kodratnya sebagai akhlak terburuk.

Lucifer, kesesatan yang ditinggikan, dia rela menanggalkan kebanggaannya guna merebut Dewi-nya kembali.

"... Apa yang harus kulakukan?" Cicitnya.

Diana merawat surai acak Lucifer selayaknya seorang ibu, memberikan seluruh kasih dan hati. Hanya kepada pria yang telah mengorbankan segalanya untuknya. Kepada pria yang membiarkan Diana menjadikannya batu pijakan ke puncak semesta.

"Kembalikan ketenanganmu, lakukan apa pun yang kau inginkan. Dengan cara terbaik, tanpa menyalakan api dengan tunas. Sementara itu, aku juga akan melaksanakan tugasku. Memenuhi kewajibanku. Sampai kau tiba, kapan pun itu, datanglah. Jemput aku. Karena aku pun amat menantimu, Lucifer. Aku menginginkan kesepakatan kita, untuk senantiasa bersamamu selamanya."

Pria itu berhasil diyakinkan setelah beberapa kata tersirat penenang dari Diana disampaikan. Kepercayaan diri yang sempat hilang, kekuatan yang sempat habis, harapan yang sempat lepas, sekarang telah kembali sedikit demi sedikit.

Lucifer menjadikan Diana menjadi pujaannya tidak tanpa sebab. Salah satu bukti nyata adalah saat ini. Ketika dia yang terkuat sudah layu, gadis itu datang seolah mutasi baginya menjadi baja.

"Tentu saja aku akan menjemputmu," Lucifer berbisik setelah membaringkan keningnya di bahu kurus Diana selama beberapa waktu terakhir.

Lalu dia menghubungkan lebih banyak kalimat. "Tidak ada seorang pun yang hendak hidup di atas jembatan benang penyeberangan jurang seumur hidupnya. Itu sengsara."

Dengan itu, percakapan mereka usai dengan berat hati. Neraka adalah neraka, tidak lebih baik dari sebuah lapas. Sepasang kekasih tidak ditakdirkan berkencan di sana.

Lucifer dan Diana berpisah menyerupai tumbukan antara dua kutub magnet yang sama. Dengan satu yang menjauh, sementara yang lainnya memasuki medan malapetaka.

Lucifer tampak jauh lebih segar, tidak sekuyu satu jam yang lalu. Sukses menginfeksi keamanan emosinya kepada Hades yang mengantarkan temannya ke depan pintu gerbang neraka.

Pria itu kembali ke kastil yang belakangan ini disebut sama buruknya dengan neraka, mengabaikan buncah penasaran di antara khalayak yang sedang mengira-ngira apa yang dialami sang majikan.

Kejadian yang cukup besar untuk memadamkan letupan gunung yang sebelumnya disangka mustahil dijinakkan.

Tetapi tampaknya kedamaian itu tidak berlangsung lama. Lucifer menghentikan langkahnya dan terdiam selama sepersekian detik.

"Mengapa kau memakai sihir ilusi di depanku?"

Tidak peduli seberapa banyak orang yang mengaku suara Lucifer kala itu amat tenang, pria itu masih menyeringai mendapati kegelisahan dari pihak lain yang memuncak seketika.


Halo, maaf banget lama hiatusnya. Sedari Ramadhan aku mulai sibuk lagi dengan sekolah. Gimana kabar kalian? Semoga baik-baik aja dan gak lupa sama LUCIFER.

Jangan lupa klik bintang!! Hoho, aku menanti 700 VOTES untuk cerita ini 💥👊
Kritik dan sarannya juga boleh bangett

31th May 2022

[END] LUCIFER (5 Cents Of Love) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang