Bagian 9-Capek

673 123 16
                                    

Puncak capek seseorang itu bukan dengan mengatakan

"Saya capek" tapi ketika kita diam tiba tiba 

air mata mengalir begitu saja-Dika


Dika baru selesai dengan tugasnya dirumah sakit sekitar pukul tiga pagi, dan sekarang dia sedang bersiap siap untuk pulang, tapi entah kenapa jam tiga pagi Dika ingin mengunjungi Apartemen Aldebaran, terkadang ketika sedang merasa lelah Dika tidak lantas pulang ke rumahnya tetapi pulang ke apartemen Aldebaran, Dika juga mengetahui pin rumah Aldebaran, karena Dika juga tinggal sendiri kedua orang tuanya juga seorang dokter tetapi bertugas di rumah sakit luar negri.

Tanap berfikir panjang Dika langsung menancap pedal gas mobilnya dan segerap menuju aparteman Aldebaran, sepanjang jalan ia tidak berhenti untuk bernyanyi, lagu lagu milik BTS selalu menjadi penyemangatnya, dulu sebelum sibuk dengan pekerjaanya Dika selalu menyempatkan diri untuk menyanyi dan suaranya begitu merdu.

Dika sudah sampai didepan aparteman Aldebaran, dan berniat membuka pintu dengan memasukan PIN rumah Aldebaran, seketika wajah ceria Dika berubah menjadi wajah penuh keterejutan ketika melihat Aldebaran yang terkeletak di lantai dengan kondisi babak belur dengan darah yang sudah mengering, "AL!," Terika Dika yang langsung berlari menghampiri Aldebaran, Dika menggoyang-goyangkan tubuh Aldebaran tetapi tidak ada respon. "Anjir! lo kenapa lagi," Sumpah serapad Dika yang merasa begitu panic.

Dengan wajah panik dan tenaga yang ia punya Dika menggendong Aldebaran dan memindahkan tubunya di atas ranjang tubuhnya begitu dingin belum lagi luka lebam yang berada di wajanya membuat perasaan Dika begitu campur Aduk, selama berteman dengan Aldebaran baru kali ini Dika melihat Aldebaran penuh dengan lebam, Dika memang dekat dengan Aldebaran tetapi dika tidak tau benar tentang cerita hidup Aldebaran.

Seperti sebuah hujan yang turun dengan tiba tiba begitu juga dengan perasaan Dika, entah kenapa ia ingin menangis melihat Aldebaran, rasanya begitu menyakitkan, Dika dan Aldebaran bagaikan bumi dan langit, Dika hidup bahagia dengan segala hal yang ia punya sedangkan Aldebaran dengan segala yang ia punya, ia tidak tahu dengan definisi bahagia, pertama kali bertemu Aldebaran adalah hari dimana Dika ditampar kernyataan kalau Harusnya Dika bersyukur dengan segala hal yang ia punya.

Dika merebahkan tubuh Aldebaran diatas Ranjang kamarnya, kemudian mencoba mengecek denyut nadi Aldebaran, dika menunduk kemudian menghela nafas panjang sebagai bentuk rasa syukurnya, "Syukur lo nggak kenapa kenapa," gumam dika, Dika melihat wajah Aldebaran yang penuh dengan lebam

Sebelum berjalan menuju mobilnya untuk mengambil peralatan medis yang selalu ia bawa, sejenak Dika memandangi wajah Aldebaran yang tertidur dengan damai, tidak ada kata yang terlontar tetapi tiba tiba saja air matanya ingin menetes, kemudian ia menghela nafas panjang menetralkan perasaanya, dadanya begitu bergemuruh selalu ada rasa tidak tega ketika melihat Aldebaran, selalu ada tanda tanya besar tentang bagaimana Aldebaran menjalankan hidup, karena Dika tau semuanya begitu menyakitkan untuk Aldebaran lewati "Sebenarnya masalah apa yang lo tanggung, sampai setiap kali lo tertawa gue seakan tau kalau itu adalah kepura puraan," gumam Dika kemudian beranjak dan segera menuju mobilnya untuk mengambil peralatan medis.

Ternyata keputusanya untuk mengunjungi Aldebaran memang begitu tepat, sepenjang berjalan Dika memikirkan tentang apa yang baru saja Aldebaran alami, diatas kasurnya Aldebaran terbangun dengan meringis kesakitan, ia merasa seluruh tubuhnya begitu sakit, bahkan sendi sendinya terasa begitu ngilu untuk ia gerakan, bahkan untung menarik nafas pun rasanya begitu sakit, Aldebaran terkapar dengan tidak berdaya jiwa dan raganya remuk secara bersamaan, Aldebaran mencoba membuka matanya lebih lebar menyesuaikan cahaya ruanga, kemudian Aldebaran mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya, ia melihat jam yang tertempel didinding dan waktu menunjukan pukul tiga lebih, Aldebaran melihat ke arah jendela memandangi langit yang masih gelap, Harusnya saat ini waktu yang pas untuk Tuhan menjemputnya pulang, tapi sepertinya bayangan kemtian itu hanya sekilas sedangkan Tuhan masih ingin menahannya untuk tinggal "Bumi sudah menolaknya sejak lama lantas kapan Engkau akan menjemputku pulang?," gumam Aldebaran dengann perasaan bergemuruh dadanya seperti ditimpa bola bola besi yang membuatnya begitu sakit dan sesak.

Aldebaran Dan Lukanya (completed)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang