1 | Calon Presiden

153K 9.6K 1.5K
                                    

"Gue bonceng!"

"Nggak!" jawab gue singkat sambil pasang helem.

"Makasih,"

"Dasar lu," umpat gue karena ini cewek tetep naik ke jok belakang motor matic coklat gue.

"Peluk jangan?"

"Ck! Nggak usah mulai, Yu ...," Gue pasangan muka datar.

Namanya Kahiyang Ayu Amaranggana, temen sekaligus tentangga gue, kita temenan dari TK, SD, SMP dan sekarang SMA masih bareng juga.

"Dha, lu nggak mau nonton seris bl terbaru yang sekarang lagi booming itu?"

"Tobat, Yu," kata gue dengan fokus ke jalan, sementara Ayu ngomong sambil naro dagu di pundak gue.

"Lu kalau belok posisinya jadi apa ya? Seme apa uke?"

Gue pasang muka males setelah hembusin napas.

"Badan lu bagus, tinggi, cocok jadi seme, tapi lu nolep dan ngang-ngong kadangan, polos, bego juga, cocok jadi uke," Ayu yang masih naro dagu di pundak noleh ke arah muka gue, jadi deket banget muka kami sekarang.

"Dha ... gue pengin punya uke," rajuk Ayu yang sekarang malah lingkarin lengan ke perut pake nada lesu.

Frustasi sumpah, bukan masalah Ayu meluk gue, tapi masalah Ayu pengin punya uke, dia itu cewek, tingginya bahkan nggak nyampe 150 cm, tapi cita-citanya jadi seme gagah. Lupa diri kayaknya karena kebanyakan nonton dan baca cerita boys love. "Tolong waras,"

"Dha, lu tahu Fahri?" Ayu semangat lagi, dia lepasin pelukan dan duduk tegak.

Gue ngegeleng.

"Oh iya lupa, lu, 'kan nolep, nggak kenal siapa-siapa," Dia lesu lagi dan numpuin dagunya lagi ke pundak gue. "Dia uke imut, bokongnya sexy, kayaknya kalau gue tampar ah-nya bakalan terngiang di ingatan,"

Astaga, siapa pun tolong sadarkan temen gue ini, dia nggak waras.

"Dha, lu punya pacar dong, jatuh cinta gitu, gue kepengin liat lu punya temen kecuali gue, atau liat lu ngebucin kaya pasangan hits di sekolah kita,"

Ayu itu ketua OSIS, sengklek-sengkelek begitu dia murid berpengaruh di sekolah kami, SMA Tunas Bangsa, jadi nggak salah dia kenal satu-satu warga sekolah.

"Lu tahu, 'kan?" Dia nanya lagi buat negasin gue kenal atau nggak pasangan yang Ayu ceritain.

Gue ngegeleng lagi, karena gue emang nggak tahu.

"Ah! Lu tahunya apa, sih ...?" Dia ngerengek.

Gue nggak salah yah kalau dia nangis, karena emang gue nggak tahu, dan kayaknya nggak mau tahu.

"Abimanyu sama Nim-Nim? Lu nggak tahu? Nim-Nim imut banget tahu, tetangga kelas kita, saingan lu si paralel pertama, masa lu nggak tahu?" rengeknya makin jadi.

"Nizam Arsa Nadana?" tanya gue.

"Nah itu lu tahu," Dia mukul punggung gue pake kepalan tangannya.

Gue luruhin bahu, gimana gue mau tahu? Orang Ayu aja nyebut nama Nizam pake panggilan Nim-Nim, terlalu imut buat nama cowok meski emang Nizam imut untuk ukuran cowok.

"Mereka kapal gue, uwu banget kalau mau tahu, gemes! Gemes! Gemes!" Dia malah makin brutal mukulin gue.

Gue diem aja, karana nggak sakit juga dan karena emang nyatanya gue nggak mau tahu soal hal gemes yang dia puja juga. Ayu udah banyak keracunan hvmv, jadi mungkin hobi dia liatin pasangan hvmv di sekolah. Jadi ya ... biarin.

Hingga nggak lama kami nyampe di sekolah.

"Gue turun di depan gerbang aja, mau ke ruang OSIS," kata Ayu.

Gue ngangguk.

Jadilah dia turun sekarang, lepas helem tapi nggak dia kasih ke gue.

"Helemnya?" tanya gue.

"Gue kayaknya pulang telat entar, bonceng yang lain aja nanti," jawabnya.

Gue ngangguk, jadi gue lajuin lagi Coki—nama motor gue—nuju ke tempat parkir.

Biasa, sesampainya di tempat parkir gue lepas helem dan tanpa nyapa siapa-siapa langsung aja jalan nuju kelas.

Gue Yudhayaksa Rahagi, cowok nolep kalau kata Ayu, sebenernya nggak nolep-nolep amat, cuman gue nyaman aja begini, gue nggak suka terlalu terlihat, tapi kadang gue pengin dilihat dengan cara gue. Gue pemegang paralel kedua di sekolah ini dua tahun berturut-turut di kelas MIPA.

Itu nggak ada yang sepesial emang karena gue cuma juara kedua, tapi ada nilai tambahnya, kok! Selain juara kedua, menurut gue dan kata nyokap, gue tampan. Hidung mancung, alis tebel, pun tinggi hampir nyentuh 180 cm, nggak kalah sama mereka bintang lapangan basket yang jadi rebutan cewek-cewek.

Emang kacamata gue tebel, tapi tetep ganteng, haha ... meskipun Ayu berulang ngatain cupu, tapi gue lebih percya nyokap, kalau gue emang ganteng. Lagian Ayu ama nyokap lebih seringan nyokap liat gue timbang dia.

Nyampe di kelas, nggak ada yang dilakuin, gue cuma bakalan duduk di bangku dan nunggu bel masuk, soalnya gue nggak punya perkumpulan kaya yang lain, nama kerennya geng, nggak ada temen begitu. Serius.

Paling kalau ada temen ya cuma nanya.

"Yud! Matematika dong, gue nyalin,"

Nah begitu! Itu Yuno Haris Samudra, pimpinan geng hits, ceweknya banyak, anak buahnya banyak.

Dan tanpa nunggu langsung aja kasih, gue diem-diem penjahat, Guys ... kalau yang lain cuma nyontek artinya gue bakalan pinter sendirian, jadi kalau 20 tahun ke depan nyalon presiden gue nggak ada saingan. Ya nggak?

Tbc ...

Shitometri Love [Juara Kedua]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang