Part 9

7.9K 454 17
                                    

Happy Reading!!!

***

“Mel, lo yakin?” Alexa bertanya sangsi.

“Gak ada alasan untuk gue gak yakin, Lex. Lagi pula untuk apa gue tetap tinggal di sini?” mengedikkan bahu acuh, Melody tak sama sekali mengalihkan kesibukannya dari barang-barang yang perlu di kemas.

Setelah satu minggu larut dalam kesedihan meratapi nasib yang di tinggal menikah oleh sang pujaan hati, Melody akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari negara ini. Bukan apa-apa, Melody hanya tidak ingin terus menyiksa diri dengan bayang-bayang Raja yang seolah ada di mana-mana. Melody juga takut tidak bisa menahan diri untuk menemui Raja dan istrinya. Mengacaukan rumah tangga keduanya yang baru berlangsung beberapa hari.

Melody takut tidak bisa mengontrol diri. Maka dari itu, pergi menjadi keputusannya. Dan hanya Alexa yang Melody beritahu mengenai rencana kepergiaannya, karena sejak hari dimana Raja menikah, sejak itulah Melody membuang semua yang berhubungan dengan Raja, termasuk Ervan yang kerap mengiriminya pesan demi menanyakan sebuah kabar. Tapi tidak ada satu pun yang Melody respons, begitu pula ketika Afira menghubunginya.

“Ya, tapi gak harus sejauh itu juga, Mel. Lagi pula kecil banget kemungkinan lo ketemu sama dia.”

Memang benar, tapi Melody tetap tidak bisa. Berat untuknya hidup di saat sosok yang tidak mungkin bisa dirinya lupa berada di sekitarnya. Kecil kemungkinan untuk dirinya dan Raja bertemu mengingat pria itu lebih suka menghabiskan waktu di dalam ruangan, berkutat dengan pekerjaan. Tapi kemungkinan kecil itulah yang Melody takutkan. Sebab tidak ada yang tahu bagaimana pertemuan itu berakibat kepadanya. Satu detik tatapnya bertemu, seumur hidup rindu yang Melody tanggung. Jadi dari pada hal itu terjadi lebih baik dirinya pergi.

“Sesekali lo bisa kunjungi gue, Lex,” karena jelas tidak mungkin untuk Melody yang mengunjungi sahabatnya. Melody tidak memiliki niat untuk kembali. Ia berencana untuk benar-benar pindah, meninggalkan semua kenangan yang tercipta di tanah kelahirannya.

“Gue pasti kangen banget sama lo, Mel,”

“Begitu pun dengan gue,” ucapnya seraya membalas pelukan Alexa. “Thanks, karena lo udah bersedia jadi sahabat gue selama ini, Lex,” padahal saat itu Melody begitu sibuk mengekori Raja ke mana pun pria itu pergi. Melody nyaris tidak peduli dengan keberadaan Alexa. Namun Alexa tidak juga pergi sebagaimana teman-temannya yang lain. Alexa tetap bertahan meski kerap wanita itu mengomel.

Di saat orang-orang di luaran sana mungkin tengah mencibir atau menertawakannya, Alexa justru memeluknya sambil memberi tepukan di punggungnya. Tidak ada kalimat penenang yang Alexa berikan. Tidak ada kata motivasi yang di ucapkan, tidak pula ada cemooh yang dilayangkan. Alexa diam, membiarkan Melody menangis seharian. Membiarkannya puas dengan kesedihan. Sampai akhirnya Melody tenang, meski berakhir dengan keputusan yang membuat Alexa tak senang.

“Ah, beruntung banget gue punya teman kayak lo, Lex,” Melody semakin mengeratkan pelukan, benar-benar bersyukur memiliki Alexa di dalam hidupnya. Meskipun sebenarnya tak begitu berguna. Apa lagi keberadaannya yang bagai buah musiman. Amat jarang. Tapi sungguh Melody menyayangi sahabatnya itu, dan Melody pun tahu bagaimana rasa sayang dan peduli Alexa terhadapnya.

“Ish, bisa mati gue, lo peluk kayak gitu!” ujarnya kesal sembari berusaha meloloskan diri dari pelukan Melody yang membuatnya sesak. “Dan please, stop panggil nama gue Lex! Berasa cowok gue.” dengusnya sebal.

Dan untuk pertama kalinya setelah galau berminggu-minggu, Melody meloloskan tawa juga. Meski tidak begitu lepas.

“Ribet lo masalah panggilan aja,” sebuah toyoran Melody berikan tanpa sama sekali menghiraukan sahabatnya yang semakin kesal. Setelahnya Melody kembali fokus pada barang-barangnya yang belum masuk ke dalam koper semua.

“Di sana lo tinggal sama kakek nenek lo ‘kan, Mel?” setidaknya kekhawatirannya berkurang saat tahu ke mana sahabatnya itu akan melarikan diri. Kampung halaman mendiang ibu kandungnya.

“Gue tinggal di apartemen. Biar lebih dekat sama kantor,” karena saking niatnya untuk pergi, Melody sudah meminta sang ayah menyiapkan semuanya. Termasuk pekerjaan yang akan menjadi aktivitas barunya nanti.

“Sendirian?”

“Kenapa? Lo khawatir,” godanya saat mendapati tanya tersebut. Membuat spontan Alexa mencebikkan bibir, dan Melody kembali tertawa karenanya.

“Tenang, Lex. Gue bisa jaga diri kok. Lagi pula gue memang masih butuh waktu sendiri untuk menata hati dan hidup gue yang baru. Gue masih enggan direcoki siapa pun terlebih orang baru. Tapi lo gak perlu khawatir, gue akan baik-baik aja. Gue akan lupaian dia dan hidup lebih baik di sana,” terangnya panjang lebar.

Alexa yang melihat keseriusan di mata Melody memilih tak lagi mendebat. “Gue dukung apa pun keputusan lo, Mel,” karena Alexa tahu, tak mudah mengembalikan hati yang telah hancur menjadi utuh kembali. Semua berproses. Dan sudah seharusnya ia mendukung apa pun jalan yang dipilih sahabatnya. Termasuk kepergian Melody.

“Gue harap lo segera menemukan laki-laki yang lebih bisa menghargai perasaan lo, Mel.”

Melody memilih tak menjawab. Bukan apa-apa, ia sendiri tak yakin bisa membuka hati pada pria lain atau tidak. Mengingat Raja sudah terlanjur memiliki seluruh hatinya. Melody juga tidak tahu berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menghapus sosok itu dari benaknya. Sejauh ini Melody belum memikirkan tentang pengganti. Ia memilih pergi bukan untuk mencari sosok yang akan dirinya cintai, tapi demi menenangkan diri.

Menghentikan sejenak kegiatannya berkemas, Melody membawa kakinya melangkah menuju laci di sudut kamarnya. Sebuah kotak tersimpan di sana terhias pita berwarna hitam. Rencananya benda itu akan Melody berikan pada Raja tepat di hari ulang tahunnya. Beberapa minggu lagi. Tapi Melody telah mempersiapkan kado tersebut jauh-jauh hari. Sebuah jam tangan yang di rancang khusus atas permintaannya. Dan Melody telah memastikan bahwa barang tersebut tidak akan ada yang memilikinya selain Raja.

“Lex—”

“Astaga Melody, berhenti panggil gue Lex!” protesnya cepat-cepat. Benar-benar tidak suka dengan potongan namanya itu karena kerap kali ia dianggap laki-laki. Tapi sialnya, lagi-lagi Melody tak menghiraukan. Perempuan itu malah justru mengibaskan tangan tanpa berusaha meralat kalimatnya.

“Gue minta tolong boleh?” sambungnya tanpa memedulikan wajah kesal sang sahabat.

“Ck, nyusahin!” tapi tak urung Alexa bertanya mengenai bantuan apa yang sahabatnya itu butuhkan.

Melody menyerahkan kotak kecil di tangannya. “Tolong kasih ini ke Raja dua minggu lagi. Kalau lo gak bisa nemuin dia langsung, lo kasih ke Ervan aja. Minta dia sampaikan ini ke Raja,” karena Melody ingat, Raja tidak pernah ingin di ganggu terlebih oleh orang yang tidak memiliki janji dengannya.

“Tapi lo jangan bilang keberadaan gue sama mereka, ya?” meskipun Melody yakin tidak akan ada yang mencarinya terlebih Raja. Tapi siapa tahu ‘kan pria itu tiba-tiba merindukan gangguannya.

Ck, ngarep!

“Lo yakin?” tanyanya menatap Melody dan kotak di tangannya bergantian. “Kenapa gak lo kasih langsung aja sekarang? Ya, hitung-hitung sambil pamitan. Siapa tahu ‘kan lo mau memastikan dia baik-baik aja apa enggak sekarang.”

Ingin sebenarnya, tapi Melody takut tidak sanggup.

“Gue gak mau bikin diri gue makin gak baik-baik aja, Lex.”

Kali ini Alexa memilih pasrah saja dengan panggilan sahabatnya itu, karena percuma terus memprotes si keras kepala itu.

“Iya, sih. Ya udah, nanti gue kasihi ke dia. Sekaligus gue mau maki-maki tuh orang!” karena sesungguhnya Alexa masih kesal pada Raja yang di damba-dambakan sahabatnya selama ini.

Alexa kesal karena pria menyebalkan itu telah menyia-nyiakan sahabatnya yang tulus dan baik ini.

Andai ia terlahir sebagai laki-laki yang dicintai Melody, sudah dapat di pastikan Alexa bangga dengan dirinya sendiri.

***

See you next part!!!

Melody untuk RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang