Happy Reading !!!
***
Melody menggeleng tak percaya saat dokter menunjukkan sebuah titik di layar monitornya dengan penjelasan yang membuat Melody tak kuasa menahan air mata.
Entah untuk menggambarkan bahagia atau justru sedih, karena hingga kembali ke apartemen Melody masih tidak memberi ekspresi yang berarti. Melody masih enggan mempercayai, tapi juga tak kuasa untuk menolak kabar yang dokter berikan.
Melody masih ingat betul bagaimana dirinya menghabiskan malam bersama Raja, dan Melody jelas masih mengingat bagaimana pujaan hatinya itu memenuhi miliknya, membuat Melody melantunkan kenikmatannya berkali-kali, sampai kemudian mereka terbaring tak berdaya di ranjang apartemen Raja.
Keesokan harinya tetap luka yang Melody dapat, membuat apa yang terjadi bagai mimpi yang tak berarti. Raja tidak sama sekali mengingat apa pun tentang malam yang mereka lalui. Dan setelah itu malah berita pernikahan Raja yang dirinya dapati.
“Kenapa malah gue yang hamil?” sementara yang dinikahi bukan dirinya. “Kenapa baru sekarang?” karena andai saja ia tahu malam itu menghasilkan seorang bayi, Melody tidak akan membiarkan Raja menikahi perempuan lain.
Pria itu harus bertanggung jawab. Tapi sekarang … tega kah ia menghancurkan rumah tangga orang?
“Ta—tapi …” Melody tak yakin sanggup menjalani kehamilan seorang diri. Dan lagi, apa yang harus dikatakannya pada sang ayah? Melody tidak pernah berniat mengecewakan keluarganya.
“Kenapa harus ada?” bisiknya di tujukan pada perutnya yang masih rata. Bukan. Bukan berarti Melody tak ingin. Ia sangat-sangat ingin mengandung darah daging Raja, mengingat seberapa cintanya ia pada sosok itu. Tapi masalahnya sekarang kehamilan itu hadir di waktu yang tidak tepat.
Bayi itu ada di saat Raja sudah menjadi suami dari perempuan lain. Disaat dirinya sudah memutuskan untuk pergi, menyerah dengan perasaannya yang tak juga terbalas. Ia sedang berusaha melupakan sosok Raja, membuang segala rasa yang hatinya pelihara selama delapan tahun lamanya. Dan di saat ia ingin menghilangkan semua jejak tentang laki-laki itu, kenapa malah justru tumbuh sesosok bayi di rahimnya?
Bagaimana bisa Melody melupakan sosok dia yang di cinta jika keberadaan benih Raja ikut ke mana pun dirinya melangkah.
“Gue harus gimana?” dan tangis Melody semakin menjadi dengan tangan meremas kuat perutnya.
Baru saja Melody ingin menjalani hidup barunya tanpa ada bayang-bayang tentang Raja. Baru saja Melody ingin melupakan tentang sosok yang di cinta.
Baru saja Melody ingin mulai menata hidupnya kembali. Menyembuhkan lukanya, memperbaiki hidupnya, dan mulai menghargai diri sendiri dengan tak lagi menyia-nyiakan waktu sebagaimana delapan tahun belakangan ini. Tapi …
“Kenapa harus seperti ini?”
Melody kembali menggelengkan kepalanya. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
“Tuhan, kenapa harus seperti ini?” Melody tidak dapat membayangkan perutnya yang membesar tanpa sosok suami di sampingnya.
“Gue gak siap,” tapi si bayi sudah terlanjur hadir meskipun masih berupa gumpalan darah.
“Raja gue harus apa?” sialnya tak ada jawaban apa pun, karena Melody hanya sendiri di tempatnya sekarang. Tidak ada siapa pun yang akan menanggapi ocehannya, tidak ada yang akan membawanya ke dalam pelukan. Melody sendiri, meratapi kesedihannya yang tak kunjung usai. Sekarang apa ia harus menyesali keputusannya untuk menjauh dari semua orang?
⁂
Hoeekk … Hoeekk …
Tiga kali sudah Raja bolak balik ke kamar mandi demi memuntahkan isi perutnya. Padahal belum ada apa pun yang di makan. Bangun tidur Raja langsung berlari ke kamar mandi, mengejutkan Annika yang berbaring disisinya.
“Makanya kamu tuh nurut kalau di bilangin! Udah masuk angin gini siapa yang repot?”
Omelan Annika tak sama sekali Raja hiraukan, ia memilih menerima teh hangat yang di bawakan istrinya dan kembali berjalan ke kamar, membaringkan tubuhnya yang lemas. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, waktu yang seharusnya digunakan untuk segera bersiap pergi ke kantor. Tapi sialnya Raja tak sama sekali memiliki tenaga.
“Kita ke rumah sakit, ya?”
Raja menggeleng seraya menarik selimut sampai leher. “Aku tidur aja, nanti juga pasti mendingan, kok.”
“Raja please, jangan keras kepala!” geram Annika, yang sesungguhnya cukup khawatir dengan keadaan suaminya. Mereka baru menikah. Bahkan belum genap dua bulan, tapi Raja sudah sakit saja. Membuktikan bahwa selama ini ia tidak menjadi istri yang baik untuk pria itu.
“Aku cuma butuh istirahat saja, Ann,” mengingat beberapa malam ini Raja memang selalu pulang lewat tengah malam, dan tak jarang melewatkan makan, entah siang atau pun malam. Raja terlalu fokus pada pekerjaan sampai yang lainnya tidak pernah Raja pedulikan, termasuk kesehatannya sendiri.
Dan sekarang beginilah akhirnya.
Raja tumbang.
“Ck, ya udah. Tapi kamu tetap harus minum obat. Sebentar aku ambilin dulu,” katanya mengalah seraya berdiri dan melangkah pergi keluar dari kamar tanpa menunggu respons Raja. Membuat laki-laki itu mendesah pelan dan membiarkan saja istrinya, mengingat ia juga tidak memiliki tenaga untuk membantah Annika.
Raja baru saja akan memejamkan mata sebelum kemudian suara ponsel mengalihkannya. Membuat Raja berusaha bangkit demi meraih gawainya yang diletakkan di nakas samping tempat tidur. Kemudian langsung menggeser tombol hijau di layar setelah tahu siapa yang menghubunginya. Ervan. Sahabat sekaligus asistennya itu menanyakan perihal keberadaannya sekarang. Karena ada meeting yang harus segara di pimpin. Tapi sialnya Raja melupakan itu. Membuat Ervan di seberang sana mengomel panjang. Dan itu malah membuat Raja semakin pening. Beruntung Annika segera datang dan mengambil alih obrolannya dengan Ervan.
Bukan karena inisiatif, tapi Raja yang meminta, karena ia merasa benar-benar tak sanggup, apalagi ketika rasa mual kembali menghampiri, membuat Raja lagi-lagi berlari ke dalam kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
“Kamu bisa menghandle semuanya ‘kan? Raja lagi gak enak badan,” Annika menjelaskan keadaan sang suami yang cukup mengkhawatirkan.
Bagaimanapun kisahnya dengan Raja, bagaimanapun pernikahannya bermula, Annika tetap merasa memiliki tanggung jawab merawat Raja.
Annika tidak bisa mengabaikan Raja yang telah menjadi suaminya. Ia memang sudah berjanji untuk menyatukan Raja dan Melody, tapi bukan berarti dirinya harus abai pada kesehatan Raja. Selama pria itu masih menjadi suaminya, Annika tetap akan berbakti. Ia akan menjalankan perannya sebagai istri, dan salah satunya adalah merawatnya yang tengah sakit sekarang.
“Raja sakit? Tumben banget?”
Dan Annika mendengus saat mendapati nada keheranan Ervan di seberang sana. “Raja juga manusia kalau-kalau kamu lupa!”
“Hehe, iya, sih tapi tumben aja gitu. Biasanya dia fine-fine aja meskipun kerja terus-menerus tanpa istirahat,” karena nyatanya bukan baru sehari dua hari Ervan bekerja dengan sahabatnya itu. Dan selama ini ia memang tidak pernah melihat Raja jatuh sakit. Wajar jika Ervan merasa heran kala sekarang Annika mengabarkan keadaan Raja, sampai atasannya itu tak mampu masuk kerja. Benaknya bahkan sampai bertanya, separah itu kah keadaannya? Tapi tanya tersebut hanya mampu Ervan ucap dalam hati, mengingat dirinya belum begitu mengenal Annika.
Ervan tak ingin istri dari bosnya tersinggung atas kalimatnya. Bisa bahaya ‘kan kalau kariernya yang cemerlang terputus begitu saja. No, Ervan belum siap jadi pengangguran. Terlebih sekarang ia tengah menabung untuk biaya pernikahannya dengan Afira.
***
Kira-kira Raja beneran sakit apa ngidam ya 🤔See you next part!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody untuk Raja
General FictionCinta memang butuh perjuangan. Tapi apa masih harus bertahan di saat perjuangan itu bahkan tak di hargai? Melody lelah. Tapi dia tak ingin menyerah. Atau lebih tepatnya belum? Entahlah, karena yang jelas Raja terlalu Melody cinta sampai ia tidak ped...