Happy Reading!!!
***
“Ck, pantas gak selesai-selesai, kerjaan lo ngelamun!” cibir Ervan begitu masuk ke dalam ruangan Raja demi memberikan beberapa berkas yang butuh persetujuan sang pimpinan. Sementara di meja Raja terdapat tumpukan dokumen yang Ervan lihat semakin banyak di banding terakhir kali dirinya lihat siang tadi.
Padahal biasanya tidak begitu. Tumpukan berkas itu akan menyusut seiring dengan mendekatnya waktu pulang.
Tapi yang sekarang di lihat malah justru sebaliknya. Ervan juga malah mendapati Raja melamun membelakangi meja kerjanya. Bahkan sepertinya Raja tidak menyadari kehadirannya. Terlihat dari keterkejutan Raja yang cepat-cepat pria itu sembunyikan dalam dengusan sebal.
“Ada apa?” tanyanya tanpa ekspresi, membuat Ervan lagi-lagi mencibir, dan memilih mengambil duduk di sofa ruangan Raja. Sama sekali tidak menghiraukan tatapan tajam sahabat sekaligus bosnya.
“Semenjak menikah, lo, kok, jadi murung sih, Ja? Bukannya seharusnya lo bahagia, ya?” tanyanya dengan raut keheranan yang tak dibuat-buat. Karena nyatanya Ervan memang sungguhan heran. Dalam kepalanya bahkan sudah bertanya-tanya mengenai problem apa yang sekiranya ada dalam rumah tangga Raja, atau mungkin hati sahabatnya itu.
Selama mengenal Raja, Ervan memang amat jarang mendapati sahabatnya tertawa atau sekadar berwajah cerah, hanya saja tidak semendung belakangan ini.
“Bukan urusan lo!” deliknya sinis.
Ervan mengangguk. Tahu betul bahwa itu memang bukan urusannya, tapi ia tidak bisa diam saja melihat Raja yang seolah kehilangan isi dunia. Hampa.
“Gue cuma mau berguru, Ja. Berhubung lo udah duluan nikah, gue pengen tahu bagaimana tanggapan lo soal pernikahan. Gue takut salah mengambil tindakan. Jadi bisa dong, ya, lo cerita sedikit mengenai kehidupan setelah menikah. Jangan di jelasin adegan ranjangnya deh, gue tahu itu privasi,” ujarnya seraya mengerling jahil.
Tapi sejujurnya bukan itu yang ingin Ervan ketahui. Ia tidak peduli tanggapan siapa pun mengenai pernikahan karena hal tersebut akan memiliki kesan berbeda di setiap pasangan. Sementara Ervan sudah yakin dirinya akan hidup bahagia dengan Afira kelak.
Pertanyaannya pada Raja hanya untuk sekadar memancing. Ervan ingin tahu alasan di balik murungnya sang atasan. Karena jelas ini bukan Raja sekali.
“Kerja Van, gak usah nanya aneh-aneh.”
Ervan memutar bola mata, amat paham bahwa sahabatnya itu tengah berusaha menghindar. Sayangnya Ervan tidak akan menyerah begitu saja.
Di bandingkan menurut, Ervan malah justru berpindah duduk jadi di depan Raja, mengamati sahabatnya yang mulai sok sibuk dengan pekerjaan.
“Kerjaan gue udah selesai. Bentar lagi jam pulang,” ucapnya seraya melirik jam di pergelangan tangan. Lalu setelahnya Ervan mendorong tubuhnya untuk bersandar pada kepala kursi dengan tatap tak lepas dari sosok Raja yang fokus pada berkas di hadapannya.
“Kalau begitu ambil sebagian berkas itu dan lo kerjain,” tunjuknya pada tumpukan Map yang sesungguhnya amat malas Raja lirik.
“Oh, tidak bisa brother. Itu kerjaan lo. Kerjakan dan selesaikan sendiri. Jangan makan gaji buta!”
Dan hanya dengusan yang menjadi tanggapan Raja. Lalu suasana berubah sunyi. Raja benar-benar memilih sibuk dengan pekerjaannya, sementara Ervan masih tidak beralih mengamati sahabatnya.
“Menikah kayaknya gak semenyenangkan itu ya, Ja? Lo kelihatan tersiksa,” Ervan kembali membuka suara setelah cukup lama membiarkan sepi menyelimuti. “Mata lo gak sama sekali menunjukkan kebahagiaan.” Karena hanya kekosongan yang Ervan temukan di sana.
“Gak usah sok tahu!”
“Sialnya lo memang gak bisa memungkiri itu, Ja. Mata lo sudah mengatakan semuanya. Dan sikap lo sudah membuktikan itu semua. Lo gak bahagia!” itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.
Ervan memang bukan sosok yang peka, bukan juga pengamat handal, terlebih pandai membaca pikiran dan raut wajah seseorang. Namun untuk mengartikan keadaan Raja sekarang bukan perkara yang sulit. Apalagi bertahun-tahun mereka telah berteman. Sedikit banyaknya Ervan tahu mengenai sahabatnya.
“Gue tahu ini bukan urusan gue. Tapi Ja, gak ada salahnya lo berbagi masalah lo. Kita teman. Meskipun gue gak bisa ngasih solusi, setidaknya gue gak akan berusaha menghakimi lo.
Dengan bercerita, masalah lo memang gak akan selesai begitu saja, tapi setidaknya itu mampu mengurangi sedikit beban lo. Gue tahu lo tangguh, gue tahu lo kuat. Tapi Ja, ada masanya kita lemah. Ada masanya kita gak sanggup, ada masanya kita ingin menyerah. Jadi sebelum semua itu terjadi, ayo berbagi.
Bukan hanya perempuan yang butuh curhat dan sandaran, laki-laki pun kerap membutuhkan meskipun maaf-maaf aja gue gak bisa berbagi sandaran sama lo, karena ini tempat khusus buat Afira,” katanya sembari menepuk pundak. Membuat Raja yang semula serius mendengarkan beralih mendengus. Sahabat satunya itu memang tidak pernah bisa benar-benar serius. Padahal Raja sudah nyaris tersentuh.
“Udah lah, pulang lo sana. Tunangan lo udah kesal pasti nunggu lo,” usir Raja dengan kibasan tangan malas.
“Lo yakin gak mau curhat dulu?” karena Ervan memang siap mendengar keluh kesah sahabatnya. Kalau bisa ia akan memberi solusi, meskipun seandainya Raja tak minta.
“Gak!” ketus Raja menjawab. Ia sudah tidak memiliki selera untuk berterus terang. Mungkin lain kali jika mood-nya sedang baik. Kali ini Raja memilih menyelesaikan pekerjaan di bandingkan harus melow-melow dengan Ervan.
Lagi pula Raja belum siap sepenuhnya. Masih ada hal yang butuh pertimbangan. Dan masih ada alasan yang belum dirinya temukan. Jadi, biarlah Raja simpan sendiri semua beban yang menghinggapi.
“Jarang-jarang loh, Ja, gue nawarin?”
“Dan jarang juga gue ngasih lo pulang cepat,” deliknya tanpa menghilangkan keketusan. “Atau jangan-jangan lo memang pengen nemenin gue lembur?” wajah Raja berubah cerah sekarang, lalu melirik tumpukan berkas dan Ervan bergantian.
“Enggak deh, Ja, enggak. Gue pilih pulang aja. Udah lama gak pacaran. Kasian Afira butuh belaian,” tolaknya segera, seraya bangkit dari duduk dan mengambil berkas yang tadi dirinya bawa. Ervan serahkan pada Raja untuk bosnya itu tanda tangani, setelah selesai barulah Ervan berlalu, keluar dari ruangan Raja dengan langkah cepat. Takut Raja tiba-tiba berubah pikiran dan berakhir dengan menyeretnya lembur.
Cukup satu bulan belakangan ini dirinya direpotkan dengan pekerjaan karena Raja sibuk dengan pernikahan dan bulan madu. Sekarang Ervan ingin senang-senang bersama sang tunangan.
Raja hanya mendengus melihat kepergian sahabatnya itu, lalu memilih kembali fokus pada pekerjaan yang sejak pagi dirinya abaikan. Tapi sebelum itu Raja meraih ponsel, mengabari sang istri mengenai kepulangannya yang terlambat.
Meskipun pernikahan ini didasari sebuah perjodohan, Raja tetap berusaha menjalaninya dengan baik walaupun Annika sudah meminta untuk tidak melakukannya.
Selama belum ada alasan, Raja tetap akan menjalani perannya sebagai suami, meski tidak sepenuh hati. Setidaknya untuk sekarang, karena Melody masih menjadi permaisuri di hati. Namun lambat laun Raja janji akan menjadikan Annika istri sepenuhnya. Ia hanya butuh waktu. Begitu pula dengan Melody yang keberadaannya entah di mana.
Raja hanya bisa mendoakan bahwa kelak wanita itu akan mendapatkan pedamping yang bisa menghargai hati dan perasaan Melody. Tidak seperti dirinya yang pengecut. Tidak seperti dirinya yang tak berperasaan. Tidak seperti dirinya yang tega menyia-nyiakan. Raja berharap kelak Melody mendapatkan kebahagiaan, hingga perempuan itu lupa pernah ada sosok yang menghancurkan.
***
Iya, gak kayak lo ya Ja. Mengahancurkan tanpa perasaan. Dan sekarang bersikap seolah menyesal.
Aduh malah aq yang gemas ini 😂
See you next part!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Melody untuk Raja
Ficción GeneralCinta memang butuh perjuangan. Tapi apa masih harus bertahan di saat perjuangan itu bahkan tak di hargai? Melody lelah. Tapi dia tak ingin menyerah. Atau lebih tepatnya belum? Entahlah, karena yang jelas Raja terlalu Melody cinta sampai ia tidak ped...