Happy Reading !!!
***
Butuh waktu cukup lama untuk dapat menenangkan Melody, tapi untungnya Raja memiliki cukup kesabaran untuk menunggu, selagi perempuan itu ada disisinya. Dan kini mereka sudah pindah ke ruangan Melody, duduk berdua di satu sofa yang sama. Sementara sekretaris yang Raja bawa dirinya minta pulang lebih dulu dan menjadwalkan meeting lagi lain kali.
Kali ini Raja butuh bicara dengan Melody mengenai mereka, bukan pekerjaan yang semula diniatkan.
Raja tahu ini begitu jauh dari kata profesional, tapi mau bagaimana lagi, masalah pribadi mereka memang lebih penting, setidaknya untuk Raja dan Melody yang terlibat sejak bertahun-tahun lamanya.
Tadi Melody sempat menolak Raja ajak bicara, sampai akhirnya dengan kekeras kepalaan dan bujukan seriusnya, Raja berhasil menaklukan perempuan itu.
Nyatanya Melody memang masih memiliki rasa yang begitu besar hingga untuk mengabaikan dan benar-benar membenci Raja seperti kemauannya tidak mudah dilakukan, terlebih ketika mereka berhadapan. Melody lemah.
Jangankan dengan sikap lembut dan tatapan hangat, Raja bersikap dingin dan kasar saja Melody kelepek-kelepek selama delapan tahun. Jadi jangan salahkan Melody jika sekarang berakhir luluh dan malah duduk berdampingan dengan degup jantung menjengkelkan. Wajahnya bahkan telah memanas, beruntung saja sejak tadi Melody menangis, jadi wajah merahnya tidak akan diartikan lain.
“Apa kita sudah bisa bicara?” Raja yang lebih dulu membuka suara saat tak lagi mendengar isak tangis wanita di sampingnya.
Melody tak menjawab, wajahnya pun masih dipalingkan, enggan bersitatap dengan sang pujaan yang satu tahun belakangan sedang berusaha dirinya lupakan. Tapi sialan, laki-laki itu malah menemukannya. Membuat Melody merasa sia-sia dengan kepergiannya.
“Gue tahu lo marah, gue tahu lo benci, gue minta maaf,” mendesah pelan, Raja yang semula duduk menghadap depan menggeser tubuhnya menyamping, menatap Melody serius, meskipun perempuan itu masih tak mengalihkan atensi padanya.
“Gue salah udah jahat sama lo, udah terlalu dalam nyakitin lo. Gue minta maaf,” Raja benar-benar tidak bisa menghilangkan ungkapan maafnya, itu kenapa di setiap kalimatnya ia bubuhkan kata itu. Berharap Melody menangkap keseriusannya. Menangkap penyesalannya. Karena jujur saja Raja tidak begitu pintar mengolah kata. Terlebih untuk seorang perempuan.
“Gue tahu ini terlambat, tapi gue tetap mau meminta maaf,”
“Maaf lo gak guna!” sahut Melody dengan nada sarkas. Namun sama sekali Raja tidak tersinggung.
Raja tahu apa yang Melody katakan benar. Kata maafnya tak lagi berguna. Melody sudah terlanjur terluka, dan Raja tak kuasa untuk mengembalikan waktu agar bisa lebih lembut memperlakukan wanita itu.
“Gue tetap mau minta maaf, Mel. Maaf untuk semua kesalahan gue sama lo selama ini. Terutama untuk sikap kasar gue selama ini. Gue benar-benar minta maaf,” Raja menunduk, menyesali kesalahannya. “Bukan itu yang gue mau, Mel. Bukan itu yang gue harapkan. Gue juga gak mau nyakitin lo,”
“Nyatanya lo udah melakukan itu!”
Dan Raja tidak membantah, karena itu memang benar, ia telah melakukannya, menyakiti Melody hingga sebegitu dalam.
“Maaf,” cicitnya pelan.
Melody menggeleng pelan, masih tanpa menoleh ke arah pria di sampingnya. “Gue gak tahu, Ja. Gue bingung,” pada kenyataannya memang begitu. Melody tidak paham dengan alur yang entah diciptakan oleh siapa. Yang jelas ini cukup membuatnya terkejut. “Lo tiba-tiba ada dihadapan gue, lalu meminta maaf. Gue gak tahu harus merespons kayak gimana. Gue juga gak tahu harus maafin lo atau enggak. Gue udah terlanjur terluka,”
“Gue minta maaf, Mel,” lagi kalimat itu di ucapkan Raja.
Melody menganggukkan kepala, ia sudah mendengar kata itu berulang kali. Dan sekarang Melody mulai muak.
“Gue gak tahu semua ini di rencanakan atau memang kebetulan, tapi benar-benar gue gak mengharapkan kedatangan lo, Ja. Apalagi permintaan maaf lo. Sama sekali gue gak kepengen itu,”
“Mel—”
“Gue jauh-jauh pergi ke sini untuk menghindari pertemuan kita. Gue repot-repot pindah ke sini demi melupakan lo, menata hati yang hancur, dan memulai hidup baru tanpa lo. Gue cape, Ja,” tidak ada isakan, tapi Melody telah berhasil kembali menghadirkan air matanya yang mengiringi sesak di hati, mengingat bagaimana beratnya ia menjalani hari tanpa sosok Raja terlihat matanya.
Nyaris enam bulan Melody terpekur dalam kesedihan yang menyiksa. Enam bulan Melody menjadi manusia tak berguna, karena harinya hanya di habiskan dengan mengurung diri di kamar sambil menangis dalam diam. Dan Raja tentulah menjadi sumbernya.
“Seperti lo, gue juga pengen bahagia, Ja. Gue pengen punya seseorang yang bisa mencintai gue, menemani sisa hidup gue, dan selalu siap sedia disisi gue dalam segala keadaan. Gue pengen punya seseorang yang menjadi tempat gue pulang. Dan sekarang gue sadar, apa yang lo katakan memang benar, gue terlalu banyak membuang waktu untuk hal-hal tak berguna, hingga di usia gue yang sekarang gue belum mampu mendapatkan apa yang gue inginkan. Lo benar, seharusnya gue gak menjatuhkan hati sama lo, karena itu hanya akan berakhir sia-sia. Sekarang gue menyesal,”
“Mel—”
“Kenapa gak dari dulu gue dengerin lo? Kenapa gak sejak awal gue dengerin apa yang lo bilang? Seharusnya gue nurut saat lo minta gue untuk berhenti, jadi gue gak akan lebih lama sia-siain hidup gue. Gak akan juga gue sesakit ini liat lo bersanding sama perempuan lain. Bodoh gue ternyata kebangetan, ya, Ja?” tanyanya beralih pada sosok Raja yang sejak tadi tak diberi kesempatan untuk bersuara.
Dengan berani kini Melody mempertemukan pandangannya dengan Raja, dan bukan sorot dingin dan datar seperti biasa yang kini Melody dapatkan, melainkan raut bersalah yang malah membuat Melody semakin deras menangis.
Entah mengapa, tapi yang pasti, bukan ini yang Melody inginkan. Bukan tatap seperti itu yang dirinya harapkan. Melody lebih baik tetap di tatap dingin dan kejam oleh pria itu. Karena melihat Raja yang berubah seperti ini malah membuat Melody terluka.
“Maaf, Mel, Maafin gue,” lagi dan lagi kata itu yang bisa Raja ucapkan seraya menarik Melody ke dalam pelukannya. Tidak ada berontakan seperti sebelumnya. Namun juga tidak ada balasan. Melody diam, dengan tangisnya yang masih memilukan. “Maaf,” ucapnya lagi, dan sebuah anggukan kembali Melody berikan.
“Bukan sepenuhnya salah lo, Ja. Gue aja yang bebal gak dengerin ucapan lo. Gue yang gak tahu malu ngejar-ngejar lo padahal udah di tolak berkali-kali. Gue yang bodoh. Gue yang keras kepala.”
“Gue juga sama bodohnya, Mel. Gue sama keras kepalanya. Gue pengecut! Harusnya gue bisa bilang lebih pelan, seharusnya gue bisa jelasin dan beri pengertian. Bukan malah menyakiti lo dengan kalimat-kalimat sampah gue. Maaf.”
“Jangan terus-terusan minta maaf, Ja, gue gak siap luluh lagi,” meskipun pada kenyataannya Melody telah luluh. “Gue gak mau jadi perempuan bodoh lagi. Gue cape.”
“Gue gak akan biarin lo kelelahan, Mel. Gak akan!” tegasnya yakin. “Karena mulai saat ini gue gak akan biarin lo mengejar. Gue yang akan ngejar, Mel. Gue yang akan berjuang buat dapatin lo.”
Dan Melody mendadak terdiam mendengar kalimat yang Raja ucapkan. Otaknya tiba-tiba menjadi blank, dengan kepala terus melayangkan tanya mengenai apa yang sebenarnya dirinya dengar. Melody belum dapat mencerna, tapi ia yakin bahwa dirinya tak salah dengar.
Tuhan, benarkah itu?
Benarkah Raja menginginkannya?
***
Dan, mungkinkah akan semudah itu Melody menerima?
Tim Melody & Raja rujuk mana nih?
Ramaikan komentarnya jangan lupa. Sama bintangnya juga jangan lupa di klik 😉
See you next part !!
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody untuk Raja
Fiksi UmumCinta memang butuh perjuangan. Tapi apa masih harus bertahan di saat perjuangan itu bahkan tak di hargai? Melody lelah. Tapi dia tak ingin menyerah. Atau lebih tepatnya belum? Entahlah, karena yang jelas Raja terlalu Melody cinta sampai ia tidak ped...