Happy Reading !!!
***
“Melody apa kabar, Yang?” Afira mendesah seraya menyandarkan kepalanya pada pundak sang tunangan yang hingga jam menunjukkan pukul sembilan malam masih saja disibukkan dengan pekerjaan. Semua ini karena Raja yang belum juga kembali dari bulan madunya.
Ervan mengedikkan bahu, sama sekali tidak mengetahui bagaimana keadaan sahabat perempuannya yang paling merepotkan.
Namun meski begitu Ervan tetap saja menyimpan kekhawatiran. Bersahabat dengan Melody sejak masih di bangku putih abu, membuat Ervan cukup baik mengenal wanita itu. Dan melihat bagaimana Melody satu minggu yang lalu, membuatnya yakin bahwa sosok ceria yang dulu dirinya kenal tidak akan lagi ada di diri Melody yang sekarang. Tapi harus Ervan akui bahwa Melody begitu luar biasa. Perempuan itu masih sanggup menghadiri acara meski bukan bahagia yang ditampilkan wajahnya.
“Gak sebaik biasanya sih pasti,”
Dan Afira mengangguki itu.
Di acara pernikahan Raja, Afira melihat jelas bagaimana hancurnya wanita itu. Tak hanya dari kejauhan, Afira bahkan sempat menghampiri dan berusaha menegur Melody yang datang bersama temannya. Tapi Melody tak sama sekali menghiraukan. Tatapan Melody terus tertuju pada sepasang pengantin di atas pelaminan dengan air mata yang tak hentinya mengalir. Dan sungguh, Afira dapat merasakan bagaimana terlukanya Melody saat itu.
Rekan kerja yang selama ini selalu mencibir Melody pun berubah iba. Dan banyak dari mereka yang memuji ketegaran Melody yang memilih diam di bandingkan berusaha menggagalkan acara pernikahan Raja.
Andai Afira berada di posisi Melody saat itu, Afira tak yakin sanggup melaluinya.
“Dia masih tinggal di apartemennya gak sih, Yang?” Afira berniat mengunjungi. Ingin tahu kabar mengenai Melody yang tidak pernah sekali pun memberi tanggapan untuk pesan-pesannya satu minggu belakangan.
“Kayaknya enggak deh, soalnya waktu gue ambil berkas ke apartemen Raja, apartemen Melody juga sepi.” Bahkan Ervan sempat menekan bel demi memastikan keberadaan Melody. Namun meski sudah berkali-kali menekan, tidak juga ada tanda-tanda seseorang membuka pintu. Membuat Ervan akhirnya yakin bahwa Melody tidak berada di tempat itu.
“Lo tahu rumahnya?”
“Ck, boro-boro. Seumur-umur gue gak pernah main ke rumahnya,” karena selama ini mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar, entah café, perpustakaan atau mal. Bagi mereka rumah bukan tempat yang nyaman untuk bersenang-senang.
“Gak guna lo, ah!” dengus Afira kesal. Kepalanya yang semula disandarkan kini sudah di tarik, duduk tegak sambil membelakangi Ervan.
“Terus kita mau nemui Melody gimana dong? Gimanapun kita harus mastiin kalau dia baik-baik aja. Gak lucu kan kalau sampai Melody mati gara-gara depresi dan kita gak tau apa-apa? Gak mau gue sampai ada drama-drama kayak gitu, Yang.”
Sebuah jitakan Ervan layangkan pada pelipis sang tunangan. “Otak lo isinya drama semua,” cibirnya kemudian. “Gue yakin Melody gak akan kayak gitu. Dia bukan perempuan bodoh,” meskipun apa yang dilakukannya selama ini adalah kebodohan. Tapi Ervan yakin Melody tidak akan sampai berbuat nekad seperti itu.
“Ya tapi kan bisa aja, Yang. Namanya juga orang patah hati,” Afira mengedikkan bahu singkat, lalu setelahnya memilih kembali menyandarkan kepalanya. Memikirkan Melody membuatnya cukup lelah, tapi sial saja otaknya tak ingin berhenti mengkhawatirkan teman kerjanya itu.
“Ya udah lo berdoa aja supaya Melody gak benar-benar depresi. Udah sana lo minggir, gue mau selesaikan dulu kerjaan nih,” ujarnya sembari menyingkirkan kepala Afira di pundaknya dengan tak berperasaan. Membuat Afira mendengus dan bangkit dari sisi tunangannya.
“Untung cinta, kalau enggak gue telan lo idup-idup!”
Ervan tak menanggapi, memilih kembali fokus pada pekerjaannya agar dapat selesai cepat, karena bagaimanapun Ervan sudah rindu tempat tidurnya. Bekerja dengan Raja benar-benar menguras emosi, tenaga dan pikiran. Andai tidak ingat dengan seberapa tebalnya dompet saat gajian, Ervan pastikan akan membiarkan berkas-berkas itu menumpuk di meja kerja Raja.
⁂
“Besok kita pulang,” kata Raja tanpa sama sekali melirik ke arah Annika yang baru saja kembali dari jalan-jalannya di sekitaran pantai. Sendirian, karena Raja menolak di ajak pergi. Laki-laki itu memilih menyibukkan diri dengan tab kesayangannya dibandingkan menemani istrinya. Namun sama sekali Annika tak keberatan. Ia sadar pernikahannya dengan Raja sebuah paksaan, sebuah perjodohan, yang mana cinta tidak ikut serta di dalamnya.
Annika tidak pernah mengharap lebih, dan ia juga tidak ingin menuntut lebih. Raja bebas melakukan apa pun yang pria itu inginkan, begitu pula sebaliknya.
Pernikahan ini hanyalah status di depan orang tua. Selebihnya mereka hanya dua sosok asing yang kebetulan tinggal dalam satu rumah. Bukan maksud ingin mempermainkan sebuah pernikahan, hanya saja Annika sendiri tak yakin mampu menjalaninya. Banyak hal yang membuatnya pesimis. Dan banyak pula alasan yang belum mampu dirinya ungkapkan.
Annika mengakui, Raja bukan sosok yang sulit di cintai meskipun pembawaan pria itu cuek dan dingin. Raja adalah pria tampan dengan sejuta pesona yang akan mampu menarik perempuan mana saja. Sayangnya, Annika memang tidak pernah berniat jatuh cinta. Setidaknya untuk sekarang, karena tidak pernah ada yang tahu kehidupan di masa depan.
“Barang-barang kamu udah di beresin?”
Hanya sebuah deheman yang Raja beri sebagai jawaban, membuat Annika mengangguk paham, lalu melenggang pergi menuju kamar. Meninggalkan Raja sendirian di living room sebuah villa yang satu minggu ini menjadi hunian mereka.
Setelah mendengar langkah kaki Annika yang menjauh, barulah Raja mengangkat kepalanya, menghembuskan napas seraya menjatuhkan punggung di sandaran sofa yang didudukinya dengan mata terpejam, berusaha meredakan pening yang cukup menyiksa belakangan ini.
Liburan yang berlangsung dengan dalih bulan madu ini sama sekali tidak membuatnya rileks, Raja malah justru semakin merasa tertekan dengan bayang wajah Melody yang berantakan. Wanita itu terlihat begitu mengenaskan. Dan Raja menyadari bahwa semua itu akibat ulahnya.
Amat terlambat untuk mengakui dirinya bersalah, tapi Raja benar-benar tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Sepanjang hari selama satu minggu ini ia selalu kepikiran, hatinya bertanya-tanya mengenai keadaan wanita itu sekarang. Namun tidak satu pun jawaban dirinya temukan.
Ponsel yang biasanya ramai dengan pesan-pesan Melody pun berubah sepi satu minggu ini. Membuatnya harus mengakui bahwa ia merasa kehilangan.
Raja ingin bertanya mengenai kabar gadis itu pada Ervan, tapi Raja tak memiliki cukup keberanian. Bukan apa-apa, masalahnya selama ini ia begitu menghindari Melody, menatap perempuan itu seperti hama yang mengganggu, kerap melayangkan kalimat-kalimat kasar dan tak jarang bersikap keterlaluan. Akan banyak pertanyaan jika sekarang ia menanyakan kabar perempuan itu. Raja juga yakin Ervan tidak akan mau memberitahunya. Yang ada sahabatnya itu justru akan mengata-ngatainya.
Menghembuskan napasnya kasar, Raja bangkit dari duduknya, berjalan menuju beranda villa yang terasa lebih dingin dari biasanya. Namun sama sekali Raja tidak berniat kembali masuk. Ia ingin menikmati malam yang tanpa bintang ini, berharap angin yang berhembus mampu menerbangkan segala kelumit resah hatinya, menghilangkan beban di pundaknya, juga membuang rasa bersalahnya.
Namun sayangnya bukan itu yang Raja dapatkan, melainkan bayang Melody yang tersenyum ke arahnya. Sosok cantik Melody yang datang menghampirinya dengan segala celotehan yang diam-diam selalu dirinya dengarkan. Sampai kemudian, wajah penuh senyum itu di gantikan dengan lelehan air mata yang membuat Raja diam-diam merasa sesak, dan tanpa sadar tangannya mencengkeram erat pagar pembatas yang menjadi tumpuan tubuhnya.
“Maaf,” gumamnya begitu lirih. “Gue minta maaf,” ulangnya sekali lagi. Dan setelahnya Raja hanya bisa tergugu, menyesali sikapnya yang telah menyakiti Melody.
***
Bagaimana kabar Melody?
Baik-baik saja kah dia?Ah, sepertinya Raja merindukan pengganggunya.
Kira2 gimana baiknya mereka bertemu nanti?Btw guys ..
See you next part!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody untuk Raja
General FictionCinta memang butuh perjuangan. Tapi apa masih harus bertahan di saat perjuangan itu bahkan tak di hargai? Melody lelah. Tapi dia tak ingin menyerah. Atau lebih tepatnya belum? Entahlah, karena yang jelas Raja terlalu Melody cinta sampai ia tidak ped...