18 Bulan Kemudian
Dear diary, malam ini aku kembali mencoret coret di lembaran putih buku kecil ini, tentang apa yang menjadi beban hatiku, hanya kau teman terbaikku sebagai tempat aku berbagi cerita dan rahasia, tak terasa sudah delapan belas bulan aku berada di kota ini, sudah segitu lama sejak aku meninggalkan semua kenangan di Jakarta, meninggalkan semua hal indah dan juga suram yang pernah kualami, termasuk hal yang yang menjadi noktah merah dalam hidupku, entahlah sebanyak apapun kusesali, namun semua tak akan kembali, begitu banyak andai dalam setiap penyesalan namun semua tak bisa diubah.
Teringat saat pertama kali datang ke kota ini, betapa berat rasanya di awal-awal aku disini, tempat yang asing dan tak banyak kutahu, terkadang hal-hal kecil yang remeh seperti membeli nasi uduk dan gorengan di perjalanan saat menuju kantor, lalu makan gorengan di mobil, sambil kusuapkan mas Adam, hal-hal itu membuatku terkadang menangis merindukannya, aku bahkan menyangka bisa gila karena begitu merindukan suamiku, merindukan dengkuran halusnya setiap malam, merindukan lengan kokohnya yang menjadi bantal kepalaku, ohh Tuhan sungguh rasanya begitu berat...aku juga kangen sekali dengan sahabatku Milla, kangen bercanda sepulang kerja.
Sungguh tak sengaja dan tak pernah kuduga aku akan berada disini, Mungkin Tuhan menginginkanku pergi sebagai hukuman atas perbuatan nista yang telah kulakukan, betapa tidak, aku tiba-tiba bertemu dengan teman kuliahku yang telah lama tak bertemu, aku bertemu dengannya saat menunggu mas Adam di rumah sakit tepat setelah kutahu semua kedok pria durjana yang membuatku mabuk kepayang.
Saat itu temanku Ratih sedang mengantar suaminya berobat di rumah sakit yang sama, dia bercerita setelah lulus kuliah, Ratih langsung menikah dengan suaminya sekarang dan pindah ke Balikpapan karena suaminya bekerja di perusahaan pertambangan di Balikpapan, Ratih tak tahu kalau Mas Adam sedang dirawat, entah kenapa saat itu terpikir olehku untuk pergi meninggalkan Mas Adam dan semua hidupku di Jakarta, rasanya sungguh mengerikan apa yang terjadi padaku, aku sunguh tak punya muka untuk bertemu dengan orang-orang yang selama ini begitu baik padaku, Dengan sahabatku Milla yang menjadi tameng kebohonganku saat itu, dengan pak Budi yang begitu baik padaku, dan terutama aku sungguh merasa kotor dan tak pantas lagi mendampingi mas Adam
Pada Ratih, aku bercerita kalau aku sudah bercerai, dan ingin mulai hidup baru, Ratih mengajak aku pindah ke kota tempatnya bermukim, sungguh tak ada pikir panjang di benakku saat itu, aku segera tertarik dengan sarannya, begitu lama kupertimbangkan semua, akhirnya aku memutuskan untuk memulai hidup baru di sana, aku berpikir pertemuan dengan temanku itu adalah jalan Tuhan menyuruhku pergi, ku cairkan semua aset dan deposito warisan orangtuaku, dan saat itu aku tak bisa berpikir hal lain selain pergi meninggalkan semua tempat dan kenangan yang sungguh menyakitkan. Aku hanya ingin pergi jauh dari semua yang mengenalku.
Hujan terdengar lebat di luar, sama seperti air mata yang selalu jatuh deras tanpa bisa kucegah saat mengingat lelaki yang sungguh begitu baik, lelaki yang telah kuhancurkan hatinya, lelaki yang mencintaiku sepenuh hatinya, ohhh... tuh kan air mata ini begitu menyebalkan, Namun biarlah butiran air mata ini akan menjadi bekas di kertas putih sebagai kenangan yang sangat menyakitkan bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Seorang Istri
Fiksi UmumKisah ini adalah tentang Perjalanan Seorang Perempuan Muda Dalam Menemukan Kebahagiaan Ragawinya, kekecewaannya pada suaminya seolah menemukan satu pelabuhan baru, wanita muda yang berasal dari kalangan atas, terjebak dengan pesona pria dari kalan...