Di sebuah ruang kamar yang tidak terlalu besar, seorang wanita duduk terpojok memunggungi tempat tidur. Wajahnya pucat pasi, dihujani keringat yang terasa dingin. Wanita itu menjambak rambut di kepalanya dengan cukup kuat untuk mengurangi rasa sakit yang menghantam kepala. Meskipun sudah terbiasa dengan ini semua, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kepalanya terasa dihantam batu besar setiap kali penyakitnya kambuh. Selama ini pula, ia menyembunyikan erangan dari mulutnya supaya tidak membuat orang lain khawatir.
Jika tidak mengingat ada anak laki-laki di luar yang tengah menunggunya, ia akan melampiaskan rasa sakit dengan jeritan yang menggema. Ia tidak mau membuat anaknya takut melihat ibunya yang kesakitan. Lagipula, rasa sakit yang menyerangnya ini hanya sebentar sehingga dengan alasan 'berganti baju' bisa membuat putranya percaya.
Sayup-sayup, telinganya mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah. Rasa sakitnya berubah menjadi khawatir, takut orang asing yang masuk ke rumahnya. Dengan tertatih, ia merambat ke luar kamar mengabaikan semua rasa sakit yang menyerangnya.
"Bunda mana?" Kakinya langsung berhenti ketika mendengar suara yang familiar, ada helaan napas lega mengetahui bukan orang jahat yang datang. Dengan perlahan, ia berjalan mendekat dua laki-laki itu, tetapi langkahnya berhenti ketika anaknya menjawab,
"Lagi pake baju, Pa." Matanya membola. Ia tidak habis pikir dengan panggilan polos yang diucapkan sang anak. "Kata Bunda, nanti Om Koko jadi Papanya aku." Dia semakin membulatkan mata mendengar kelanjutan anaknya.
"Hei, kapan Bunda bilang begitu?" Suara seraknya terdengar membuat tamu yang baru saja datang menoleh. Ia ikut duduk di sofa, sebelah anaknya. Wanita ini cocok menjadi aktris yang pandai menutupi rasa sakitnya dengan apik melalui senyuman dan tatapan yang hangat.
"Bunda pernah bilang waktu lagi tidur," jawab anak yang sudah menggunakan piyama, siap untuk tidur jika saja ibunya tidak meminta ke luar sebentar untuk berganti baju.
Wanita itu sempat tersenyum, tatapannya bertemu dengan pria yang datang. "Itu nggak sadar, Ansel."
"Pokoknya Om Koko jadi Papa aku, kan?"
"Nggak tau." Dia mencuri pandang sekilas lagi ke pria itu, kemudian mengusap kepala anaknya. "Coba tanya Om Koko."
Ansel –anak itu benar-benar mengajukan pertanyaan yang diminta sang ibu. Namun, pria yang ditanya hanya tersenyum dan menggaruk tengkuknya, tanpa menjawab iya atau tidak.
Satu menit berlalu diselimuti kesunyian sampai pria itu menyahut, "Kamu pesen barang ke alamatku? Arcobaleno Blu itu kamu, kan?" Bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan yang membuatnya membisu, pria itu menyerahkan kotak yang ia bawa dari rumah.
Perempuan itu sedikit kecewa lantaran si tamu terang-terangan mengganti pembicaraan. "Iya? Kayaknya aku nggak sadar kalo belum ganti alamat," ujarnya yang membuat Koko paham karena waktu itu dirinya pernah memeriksa ongkos kirim ke rumahnya lewat aplikasi si wanita. "Sayang, tolong bawa ini ke kamar terus langsung sikat gigi dan tidur, ya?" Ansel menurut, dia membawa barang tersebut ke kamarnya.
Sepeninggal bocah laki-laki itu, pria yang daritadi disebut 'Om Koko' menaruh perhatian pada wajah wanita. Dia meletakkan tangannya di kening dan leher wanita itu secara bergantian, dingin.
"Kambuh?"
Wanita itu menyandarkan badan ke sofa seraya menatap Koko, "Kamu tau sendiri lah jawabannya."
"Sekarang gimana? Obat udah diminum?"
Terdengar gelak tawa wanita, "Aku udah bukan anak kecil lagi, kalo kamu mau tau."
"Tapi, kamu perlu diawasin biar nggak bandel."
Bibir pucat si wanita mencebik, rasa sakitnya sudah tidak setajam tadi. Entahlah. Mungkin karena obatnya datang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Colourful
Science Fiction[SLOW UPDATE] Sienna adalah perempuan satu-satunya dari keluarga ayah dan ibu. Siapa saja yang ingin menjalin hubungan dengannya, harus berjanji untuk tidak menyakitinya atau membuatnya menangis. Sampai suatu hari, seseorang yang merupakan teman bai...