25. Tidak bisa dibiarkan

216 34 24
                                    

Arena bermain di kawasan pusat perbelanjaan Jakarta tampak lengang. Beberapa mesin permainan atau wahana sederhana tidak banyak dimainkan oleh pengunjung mengingat ini bukan akhir pekan. Hal ini membuat Lula senang, bermain dengan puas dari satu mesin ke mesin lainnya. Hanya orang tuanya yang kewalahan mengikuti Lula dari belakang.

Jeriko sudah ada di rumah lebih dulu sebelum Sienna dan Lula sampai. Suaminya itu mengajak makan malam di luar sekalian cari angin. Sienna sempat tersenyum kecut karena berarti Jeriko benar-benar sudah berada di sekitar rumah, tetapi tidak menyempatkan diri menjemput Lula. Belum lagi, Jeriko bilang kalau dia memang langsung pulang ke rumah tanpa mampir ke mana-mana. Jelas, itu adalah kebohongan dan entah itu sudah kebohongan yang ke berapa.

"Papa, aku haus." Lula berbalik, memegang leher depan.

"Kamu gak bisa diem," celetuk Sienna. "Mama lupa bawa minum karena tadi buru-buru."

"Ya udah tunggu, Papa beli minum dulu ya."

"Nggak usah," cegah Sienna. "Aku aja yang jalan, kamu temenin Lula. Kamu jarang ada waktu buat Lula, kan?"

Mulut Jeriko terasa dikunci mendengar sindiran dari Sienna. Dia tidak sanggup bicara sampai Sienna melesat pergi membeli minum.

"Papa," panggil Lula. Anak itu sudah berpindah untuk memainkan basket mini.

"Haus, ya? Sabar, sebentar lagi Mama dateng."

"Papa pas masih kecil pernah sedih nggak karena nggak ada Oma?"

Dunia Jeriko terasa berhenti mendengar pertanyaan tidak terduga dari bocah kelas satu SD yang merupakan anak kandungnya.

"Papa suka nangis nggak?" Lula menggesek kartu sekali lagi untuk memainkan permainan yang sama, tetapi sang Papa masih bergeming untuk menjawab pertanyaannya.

Sebanyak apa pun pertanyaan Lula yang aneh-aneh, Jeriko selalu dapat menjawab atau paling tidak merespons singkat. Dia tidak menyangka Lula ingin mengetahui masa kecilnya, yang sejujurnya tak ingin ia ingat-ingat lagi.

"Emangnya kenapa, Lula?"

"Gak apa-apa, sih. Papa pasti sedih, buktinya Papa gak langsung jawab pertanyaan aku."

Jeriko memikirkan jawaban yang pas, "Papa ... nggak tau, udah lupa."

Usianya delapan tahun ketika orang tuanya bercerai. Dia tak terlalu memikirkan sedih karena diberi kasih sayang dengan sang ayah dan sang kakek. Mungkin hanya merasa iri dan sepi jika melihat teman-teman yang memiliki keluarga utuh. Selama hidupnya, Jeriko pun tidak pernah ditanya tentang perasaannya ketika orang tuanya bercerai. Hanya orang-orang yang menatapnya kasihan, padahal dia tak semenyedihkan itu.

Namun, mendapat pertanyaan seperti ini dari Lula mampu membangkitkan gejolak tak kasat mata yang tak mampu dijelaskan dalam kata. Jeriko baru memikirkan itu, apakah dia pernah sedih saat kecil atau dia hanya mengabaikan kesedihan itu? Dia mengembuskan napas karena rasanya sesak jika memikirkan keluarganya.

"Aku punya temen baru," kata Lula setelah mereka terdiam cukup lama. "Namanya Ansel, dia nggak punya papa. Pas aku tanya papanya ke mana, dia cuma bilang papa jahat."

Seharusnya Jeriko tidak kaget karena telah melihat dengan matanya sendiri, tetapi rahangnya hampir ingin lepas lantaran Lula bercerita sekarang.

"Dia sedih karena gak jadi dijemput di daycare. Kenapa sih orang tua jahat banget, ninggalin anak-anaknya?" Lula bersuara lagi, Jeriko semakin bingung menanggapi hal itu.

"Kadang menurut orang tua, berpisah itu pilihan terbaik, Lula. Walaupun kedengerannya jahat."

"Kok gitu?"

ColourfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang