14. Secara Diam-diam

272 30 15
                                    

Pekerjaan Jeriko seharusnya sudah selesai sejak pukul lima sore, tetapi ada sedikit masalah ketika ia tengah menyusun laporan evaluasi kinerja karyawan. Sebagai manajer SDM pusat, Jeriko tidak hanya memegang satu divisi melainkan hampir seluruh divisi, terkadang ia juga melakukan evaluasi untuk cabang yang lain. Kinerja pria itu sangat bagus dari pertama kali bekerja sebagai staff SDM di perusahaan ini, membuatnya cepat naik jabatan dan seringkali mendapatkan intensif lebih.

Jeriko masih sibuk mengetik dan mengirim dokumen tatkala warna langit berubah jingga. Pria anak satu itu bukan menyelesaikan pekerjaannya di kantor, melainkan di sebuah restoran bergaya rooftop yang menyajikan gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Embusan angin mampu menjernihkan sedikit pikirannya ketimbang harus berlama-lama menikmati AC kantor yang membuatnya suntuk.

"Om, Ansel mau ke taman bermain yang ada kuda putarnya dong."

"Ansel, nggak boleh ganggu Om Koko lagi kerja."

Di meja dengan empat kursi itu, Jeriko tidak sendiri. Ada seorang wanita dan anak kecil yang masih menggunakan seragam TK bergabung dengannya. Dia berhenti mengetik, menaruh atensinya pada bocah yang mengunyah kentang goreng itu.

"Nggak mau ah soalnya Ansel kalo makan belepotan." Pria itu dengan kemeja biru dongker itu pura-pura marah, tetapi membersihkan saus tomat yang tersisa di sekitar bibir Ansel menggunakan tissue.

"Aku udah hati-hati." Ansel kini mengikuti omnya untuk mengelap mulut. "Aku nggak pernah naik kuda puter."

Wanita satu-satunya yang merupakan ibu dari Ansel itu menggelengkan kepala sambil menatap Jeriko agar tidak menuruti Ansel, merasa bersalah jika harus merepotkan orang itu lagi dan lagi. Namun, respons Jeriko justru berbeda, pria itu seperti menyanggupi permintaan bocah TK itu.

"Kalo Om libur, ya?"

Mendengar itu, Ansel langsung sumringah sampai matanya membentuk bulan sabit. Ada lesung pipi yang tercetak di pipi kirinya membuat tangan Jeriko secara refleks mengusap pipinya.

"Emang gak apa-apa?" Berbeda dari yang lain, wanita yang dipanggil bunda oleh Ansel itu terlihat paling ragu.

"Nanti aku pikirin lagi." Seolah mengerti apa yang dipikirkan si wanita, Jeriko berusaha menenangkan meskipun dirinya masih belum tahu alibi apalagi yang harus ia ciptakan untuk kesekian kalinya.

Setelah keheningan menyelimuti mereka beberapa saat, wanita itu berdeham. "Kamu butuh bantuan gak? Kerjaannya masih banyak?"

"Sebentar lagi selesai, abis ini langsung pulang."

"Aku ngerasa bersalah banget jadi asisten kamu di kantor, malah kamu yang banyak bantu aku."

Jeriko terlihat tidak setuju akan pernyataan bersalah yang dilontarkan wanita yang merupakan asistennya itu dengan tegas ia menjawab, "Semua tugas kamu udah selesai di kantor dan hasilnya memuaskan. Aku bukan tipe orang yang suka menambah pekerjaan orang lain padahal ini tanggung jawabku dan kebetulan ini udah lewat jam kantor. Temenin Ansel ngobrol aja, okay?"

***

Memasuki halaman rumah, Jeriko melihat ada motor Ical yang terparkir di garasinya. Kedua alisnya yang bertaut heran karena tidak biasanya adik Sienna berkunjung di hari kerja seperti ini.

"Oh ada Ibu juga?" kata Jeriko setelah memberi salam, rumahnya cukup ramai. Suara Sienna dan Lula yang paling dominan memenuhi ruangan.

"Macet atau lembur, Jer?" sapa ibu sembari menerima uluran tangan Jeriko yang menyalaminya. Perempuan paruh baya yang tetap anggun itu hampir hafal dengan jadwal kerja menantunya mengingat dulu ia yang menemani Lula sampai Sienna dan Jeriko pulang. Seingatnya, jam normal Jeriko sampai rumah adalah pukul setengah tujuh –paling lama jam tujuh jika macet. Lalu jika sedang lembur menantu laki-lakinya akan sampai rumah hampir jam sepuluh malam.

ColourfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang