36. Meluap

308 52 6
                                    


Ruang auditorium sebuah universitas yang ada di Semarang dipenuhi dengan tawa bahagia dan senyum lega. Beberapa saat yang lalu mahasiswa-mahasiswi yang mengenakan toga itu telah resmi menyandang gelar akademik baru di setiap nama setelah melewati proses studi yang cukup lama dan melelahkan. Begitu acara dinyatakan selesai para mahasiswa bergerak keluar ruangan, mendatangi keluarga, sahabat, kerabat yang datang untuk memberinya selamat. Jeriko berdiri di antara ramainya orang-orang yang tengah merayakan hari bahagia. Dia juga menjadi peserta yang diwisuda hari ini. Sama halnya dengan yang lain, ia turut merayakan dengan teman-teman satu jurusannya. Berfoto ria karena sebentar lagi akan berpisah.

Berpisah, ya?

Statusnya sudah bukan mahasiswa lagi, itu artinya tidak ada alasan untuk tinggal lebih lama di kota ini. Segala kenangan yang tersisa hanya akan menjadi kenangan, tidak lebih. Ia harus menyambut hari baru yang menantinya di masa depan.

Begitu matanya menangkap sosok sang ayah di kejauhan yang juga tengah menatapnya, semuanya terasa nyata bahwa ia harus benar-benar membuka lembaran baru di kota asalnya, Jakarta. Ia segera pamit dengan teman-temannya untuk menghampiri sang ayah, toh perayaannya telah selesai. Ketika jarak mereka sudah dekat, tak ada ucapan selamat yang terucap dari mulut pria yang datang. Yah, dia memang tidak berharap mendapat ucapan penuh makna. Mereka langsung menuju ke mobil untuk pulang. Ke Jakarta. Bukan ke indekosnya.

"Apa rencanamu ke depannya?" Pertanyaan dengan suara rendah terdengar.

"Bekerja."

Ia dapat melihat anggukan ayahnya sambil tersenyum puas.

"Setelah bekerja satu tahun, saya akan menikah," lanjut Jeriko yang membuat senyum sang ayah luntur.

"Saya tidak berpikir itu menjadi rencanamu dalam waktu dekat. Bukan karena kesalahan seperti yang kakakmu lakukan, kan?"

"Papa pikir, Jeriko orang yang seperti apa?" sahutnya setengah marah.

"Siapa tau kamu melakukannya karena terlalu asyik di kamar kos?" ucap ayahnya santai. "Kamu sangat memuja kakakmu, tidak salah jika saya berpikir begitu."

Jeriko mengepalkan tangan mereda emosi, kebanggaan yang baru saja ia peroleh sirna begitu saja ketika berbicara dengan Ardi—ayahnya.

"Keputusan saya itu nggak ada hubungannya dengan masa lalu Mbak Ita."

Jeriko menyambar botol air mineral, meneguknya hingga tersisa setengah. Dia menyesal menyetujui keputusan Ardi untuk menjemputnya, juga menyesal membocorkan rencananya jika yang dibahas justru masa lalu yang ingin ia lupakan. Segala yang lalu biarlah berlalu. Baik itu kisah dengan ibunya, kakaknya, termasuk kehidupan asmaranya di kuliah.

Sebab, dia ingin merencanakan masa depan dengan wanita pilihannya.

"Siapa wanita itu?" Sepuluh detik berlalu, Ardi tidak mendengar sahutan dari sang anak. Ia tahu, anaknya yang tertutup pasti tidak ingin membagi informasi lebih lanjut. “Saya rasa, kamu sudah cukup besar untuk paham kalau menikah adalah ibadah paling sakral yang dijalankan seumur hidup. Seumur hidup itu tidak sebentar. Saya bahkan nggak sanggup menjalankannya.”

“Jeriko udah milih wanita yang tepat, yang bisa menemani hari-hari Jeriko sampai tua.”

“Hanya itu?” sahut sang papa dengan nada tidak mengenakan. “Tujuan kamu menikah hanya untuk menemani hari-hari?” Jalan yang mulai memelan karena antrean membayar tarif tol yang cukup panjang membuat Ardi menengok ke samping, tempat anaknya yang berwajah bingung. “Menikah itu tidak sebatas untuk menemani sehari-hari. Tapi, gimana kalian bisa bersama-sama sekalipun ada masalah. Bukan hanya saat senang, bukan hanya saat kaya, bukan hanya saat sehat dan muda.”

ColourfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang