22. Rencana Sienna

343 34 41
                                    

Sienna menatap pantulan wajahnya di cermin yang ada di kamar. Ia meneliti tiap sudut dari tubuhnya, menurutnya tidak ada yang aneh. Bukan bermaksud sombong, tetapi perempuan itu puas dengan wajahnya cantik—setidaknya enak dipandang. Sienna senang dengan mata bulatnya yang terlihat hidup. Hidung mungil mancung, bibir cukup berisi dengan dua gigi kelinci yang masih terlihat hingga kini, juga kulit yang putih bersih. Bahkan kedua pipi tembam yang sering dicubit oleh saudaranya lain tanpa ampun, Sienna tetap suka. Mengutip pendapat orang lain, mereka bilang wajah Sienna tidak banyak berubah, tetap awet muda. Tidak ada alasan untuk tidak memuji parasnya sendiri, kan?

Namun, selama dua hari ini Sienna mempertanyakan itu semua. Apakah wajahnya sudah tidak semenarik dahulu? Apakah perkataan orang-orang yang memujinya sudah tidak berlaku sekarang? Lebih tepatnya sejak ia merasa suaminya sendiri berubah. Mata bulat yang terlihat hidup itu, kini tengah meredup. Kehilangan pancaran cahaya ketika melihat dan membaca postingan-postingan dari akun galerita12.

Hal lebih gila yang membuat Sienna masih kehilangan tenaga adalah: suaminya tidak pulang di hari itu, saat Sienna tidak menjemput Lula. Jeriko baru sampai rumah keesokan harinya, pukul sepuluh pagi beralasan terdapat rapat kerjasama dengan perusahaan luar negeri pada dini hari karena menyesuaikan dengan waktu di negara sana. Padahal waktu itu, Lula telah melapor kalau Sienna sedang sakit. Tidak bisakah Jeriko izin sekali saja?

Sienna tahu, seharusnya dia tidak berlebihan. Seharusnya dia melihat dari berbagai sudut pandang. Seharusnya dia paham bahwa di dunia ini bisa saja terjadi berbagai macam kebetulan. Kebetulan yang tanpa ada hubungan antara Ita dengan suaminya. Namun, dia tidak dapat mencegah perasaan aneh dan bayangan buruk itu. Sienna masih memilih diam, tidak berani menanyakan pada suaminya atau mencari tahu lebih lanjut. Perempuan itu ingin mengisi energi terlebih dahulu agar siap menerima semuanya.

"Itu belum pasti, Sienna. Kenapa lo harus mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi?" bisiknya pada diri sendiri.

Sekarang hari Minggu, Jeriko dan Lula sedang mencari bubur ayam untuk sarapan. Sienna menolak ketika diajak suami dan anaknya, beralasan belum mau terkena angin luar. Sebenarnya, dia masih menghindari suaminya secara halus.

Selang beberapa lama, terdengar suara motor Jeriko serta ocehan Lula. Sienna segera keluar kamar, menyambut Lula yang membawa plastik bubur.

"Padahal aku mau bawain ke kamar Mama, biar Mama sarapan di kamar."

"Mama cuma gak enak badan, bukan gak bisa jalan."

"Tetep aja, katanya gak mau kena angin!"

Sienna hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil melihat anaknya yang mendadak over-protective itu. Bahkan, Lula melengos mengambil sendok, tanpa mempersilahkannya kerepotan.

"Hei, udah baikan?" Senyum Sienna mendadak luntur ketika suaminya datang ke ruang tamu. Sungguh dia tidak bermaksud begitu, tetapi tubuhnya yang otomatis bereaksi.

"Hm, setelah makan bubur pasti lebih mendingan," jawabnya. Sienna melihat kantong plastik yang ditenteng Jeriko. "Beli apa aja, kok banyak banget?"

"Lula jajan di pasar kaget."

"Sebanyak itu?" pekiknya dengan mata melotot.

"Soalnya kalo jalan sama Mama gak mungkin dikasih," sahut Lula tanpa dosa setelah meletakkan tiga sendok di meja.

Sienna memutar bola matanya, "Kalo radang gimana? Sekarang cuacanya lagi jelek."

"Aku cuma beli risol mayo, kue lumpur, sama kue pukis. Gak dibolehin beli telur gulung." Lula membela diri.

"Iya dong, nanti yang jagain Mama siapa?"

Mendengar itu alis Sienna berkerut, perasannya tidak enak. "Ya kamu lah, Mas."

ColourfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang