30. Pecah

513 56 19
                                    

Begitu sampai rumah, Jeriko disapa dengan kesunyian. Pria itu memilih duduk di ruang TV menatap kosong layar yang mati itu. Saran Valen untuk menjelaskan pada Sienna masih ia ingat dengan jelas, sepanjang perjalanan pulang pun ia sudah bertekad dengan menyusun kata-kata yang pas. Akan tetapi, begitu sampai rumah semuanya lenyap. Degup jantungnya beradu cepat, mengalahkan rasa gugupnya saat ingin ujian.

Ia takut Sienna masih tak mau mendengarnya. Ia takut penjelasannya tidak berpengaruh apa-apa. Ia takut Sienna pergi meninggalkannya. Ketika sudah terlanjur jauh seperti ini, Jeriko baru menyadari hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Sementara istrinya pasti sudah kepikiran sejak lama, tetapi dipendam.

Pria itu yakin ... semua ini dapat diperbaiki, hanya perlu berkomunikasi dan mencoba meyakinkan Sienna agar semuanya tidak makin buruk. Dihirupnya embusan udara malam yang dingin itu sebelum melangkahkan kaki menuju pintu kamar.

Sang penghuni kamar yang masih duduk bersandar di ranjang itu langsung menoleh saat pintu dibuka. Jeriko ingin segera menyampaikan penjelasannya, tetapi ucapan Sienna membuatnya terdiam di ambang pintu.

"Kamu yang pilih." Ada jeda dari perkataan itu. "Aku yang tidur di luar atau kamu. Aku masih nggak mau lihat muka kamu."

Buyar semua apa yang ada di kepala Jeriko. Sambutan tidak bersahabat Sienna telah mengisyaratkan bahwa Sienna menolak penjelasannya.

"Oke, aku yang di luar," putus Sienna karena tak mendengar balasan dari Jeriko. Ia beranjak bangun dari kasur dan bergerak melewati Jetiko. Namun, Jeriko dengan sigap menahan lengannya sebelum Sienna semakin jauh.

"Mau tidur di mana?" tanya Jeriko berusaha setenang mungkin.

"Di mana aja asal gak lihat kamu." Telunjuk Sienna mengarah ke dada suaminya. Jeriko tak tahu kalau tatapan Sienna bisa setajam ini. Aura kemarahan Sienna dapat dirasakan olehnya. "Lepasin."

Jeriko tak menurutinya. "Kita nggak bisa kayak gini, Sienna."

"Kenapa kita nggak bisa kayak gini kalau kamu bisa enak-enakan sama perempuan lain?"

"Siapa yang enak-enakan?"

"Kamu mau bilang apa? Mau bilang dia hidup sendirian, mau bilang dia korban KDRT, mau bilang dia sakit-sakitan, dan apalagi? Apalagi yang mau kamu bilang buat belain janda gak tau diri itu?" Sienna berontak untuk melepaskan diri dari Jeriko. Jeriko yang terlampau kaget dengan ucapannya itu membiarkan Sienna lepas. "Aku gak peduli sama kondisi dia. Selemah apapun kondisinya itu nggak membenarkan kamu buat main-main di belakang aku." Sienna membasahi bibirnya, "Kalo emang mau balik sama dia, ya udah pergi aja."

"Aku dan dia sama-sama gak ada niat buat balik. Jangan asal bicara, Sienna." Suaranya penuh penekanan, sedikit terpancing dengan omongan istrinya yang tidak mengenakan.

"Aku udah cukup umur buat asal bicara. Gak kayak kamu yang makin tua makin doyan bohongin orang."

"Aku tau, aku tau aku sering bohongin kamu. I'm sorry for that. Tapi, aku dan dia sama-sama tau batasan, Sienna. Aku cuma sekedar bantu dia dan dia anggep aku sebagai ... atasan," imbuh Jeriko, meski sebenarnya ia tak tahu Gita menganggapnya sebagai apa. Selama ini Gita bersikap lebih sungkan dan formal, berbeda saat mereka masih bersama dulu. "Dia selalu nanya kamu setiap kali aku bertindak, dia juga peduli sama kamu."

Suara tawa yang sinis terdengar, Sienna menyilangkan tangan ke depan dada. "Itu cuma pencitraan." Dia memutar bola mata, "Cewek mana sih yang nggak kebawa perasaan kalo ada atasan yang selalu bantuin dia? Cewek mana yang gak jatuh hati kalo ada cowok yang relain banyak hal buat dia, termasuk keluarganya? Apalagi si atasan adalah mantannya dulu."

"Aku gak relain keluargaku buat dia. Dia juga ngerti kalo aku punya kamu, Sienna."

Sienna tertawa lebih keras, "Gak relain gimana? Kamu rela bikin surat palsu atas saran dia, sampe rela kerja di Bekasi buat bantu dia. Kamu rela gak anter Lula ke Sea World padahal kamu ke Dufan sama dia. Kamu rela pergi saat kondisiku gak fit buat temenin dia terapi?"

ColourfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang