Tumpukkan berkas di depannya yang menanti untuk dikerjakan membuatnya muak. Pekerjaan itu harus diselesaikan segera, tetapi Jeriko tidak punya gairah untuk menuntaskannya. Jam istirahat sudah lewat satu jam yang lalu, ia telah mengisi perut sekaligus minum kopi untuk membangkitkan rasa semangat. Sayangnya, untuk sekarang asupan tersebut tak bekerja efektif. Pikirannya tetap sulit fokus ketika dihadapkan dengan ratusan data ini.
Alih-alih melanjutkan, Jeriko justru bangkit dari kursi kerja kemudian beranjak keluar ruangan. Kepergiannya tidak menimbulkan banyak tanya karena teman-temannya pasti mengira ia ingin ke toilet.
Padahal tujuan Jeriko bukan toilet, tetapi area outdoor di lantai delapan yang sering digunakan karyawan untuk merokok. Pria itu perlu menjernihkan pikiran dengan menikmati semilir angin. Matanya perlahan terpejam, berharap dapat mengembalikan energinya.
"Kalo emang gak ada apa-apa, ngomong dari awal sama aku. Bukan bikin skenario-skenario yang nggak jelas, emangnya kamu sutradara?"
Tidak sampai lima menit, matanya kembali terbuka. Suara-suara kecewa yang diucap sang istri tadi pagi terus berputar di kepala, menjadi penyebab menurunnya minat untuk menyelesaikan pekerjaan. Suara itu ... seolah memiliki mata pisau yang siap mengiris dirinya setiap saat. Dia terlambat menyadari bahwa kekecewaan Sienna begitu besar.
Ketika Jeriko menerima Gita menjadi karyawannya, Jeriko tidak memikirkan alasan lain selain membantu sekaligus menebus rasa bersalahnya pada Gita beberapa tahun yang lalu. Tidak sekali dua kali Jeriko melihat dengan matanya sendiri Gita yang merintih kuat ketika sakit di kepalanya kambuh, itu semakin membuatnya merasa memiliki tanggung jawab sehingga Jeriko ingin menolongnya sesegera mungkin.
"Kamu nggak berobat lagi?" Jeriko bertanya pada saat pertama kali melihat Gita terbaring lemah di sofa ruangannya.
"Udah pernah di Semarang, tapi pengobatan nggak akan berpengaruh banyak."
Jeriko tertegun, melihatnya semakin merasa bersalah. "Nggak ada yang percuma, aku bakal bantu kamu dapet pengobatan terbaik di sini."
"Kenapa kamu bersikeras?"
"Cuma mau kamu sembuh, Ansel sama siapa kalo nggak ada kamu?"
Hanya sebatas itu, hanya sebatas menumbuhkan motivasi agar Gita mau sembuh, tidak lebih. Namun, batas-batas yang dibangun tinggi rasanya kian hari kian rapuh menciptakan alur yang seharusnya tidak seperti ini. Dia terlanjur dekat dengan Gita dan Ansel. Seolah memberi sebuah harapan pada mereka dan perlahan-lahan membuatnya jauh dengan keluarga kecilnya sendiri.
Jeriko memang bodoh.
Kondisi rumah tangganya semakin hambar. Sienna jarang sekali menyambutnya antusias, jarang bertanya kabar, dan seolah tak mau tahu apa yang dilakukan dirinya. Jeriko sadar ada yang dicurigai Sienna. Pria itu tak sempat mengantisipasi hal semacam ini karena dulu Sienna tak memusingkan orang ketiga karena istrinya menaruh rasa percaya. Selain itu, Sienna sibuk bekerja, sayangnya Jeriko lupa kalau Sienna sudah mengundurkan diri. Ada banyak waktu luang untuk istrinya dalam mengamatinya sampai menemukan sebuah kejelasan sendiri.
Jauh di dalam hatinya, Jeriko takut. Dia akan kembali sendirian jika semuanya pergi.
"Mau rokok?" Tawaran tak terduga itu mampu membuat Jeriko menoleh, sebatang rokok berada tepat di depan wajahnya. "Kalo penat dan ke ruangan ini paling enak merokok."
Jeriko menatap ragu. Dia memang perokok, tetapi tidak secandu itu. Mungkin satu bungkus rokok bisa dihabiskan selama satu bulan lebih.
"Nggak sesuai sama merk-mu, ya?" Valen hampir menarik tangan sebelum Jeriko menahan dan merebut rokoknya. Dinyalakannya korek api ke arah batang rokok Jeriko dan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colourful
Science Fiction[SLOW UPDATE] Sienna adalah perempuan satu-satunya dari keluarga ayah dan ibu. Siapa saja yang ingin menjalin hubungan dengannya, harus berjanji untuk tidak menyakitinya atau membuatnya menangis. Sampai suatu hari, seseorang yang merupakan teman bai...