–Universitas Jakarta–
“Ih, panas!” Suara desahan itu berkali-kali keluar dari mulut seorang gadis yang tiada henti menyeka keringat yang mengalir melewati keningnya.
Tangan satunya tidak luput untuk mengipas wajah yang kini telah memerah di bawah teriknya cahaya matahari di kota Jakarta. Rambut ikal panjangnya sempat ia gulung ke
atas hingga bahunya yang ramping sempat terekspos bebas.Namun, kembali gadis itu mengurai rambutnya saat beberapa pasang mata dari seberang tempat ia berdiri saat ini dengan sengaja menatapnya. Mereka adalah gerombolan mahasiswa ekonomi yang beberapa waktu lalu sempat menggoda dan mengajaknya main, tapi ia tolak mentah-mentah.
Anastasya Shania Wirawan menghentakkan kakinya yang
beralaskan high heels cukup tinggi dengan keras. Ia kembali
mengetik sesuatu di ponselnya dengan pipi semakin memerah dari sebelumnya.“Kok, Pak Tio belum jemput aku, sih?!” gerutu Ana tidak tenang. Ia menunggu balasan, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada pesan apa pun yang ia dapat. Bahkan ponsel ayahnya tidak aktif sama sekali.
“Ih, kesel! Tahu gini aku naik taksi!” ucap Ana sambil berjalan menuju ke pinggir trotoar, mengabaikan teriakan dari para gerombolan gabut itu.
Ana melambaikan tangan kirinya kepada taksi berplitur biru muda yang datang dari arah selatan kampusnya.
Bibirnya yang sempat tertarik ke atas, perlahan kembali cemberut karena bukannya berhenti, mobil itu malah
berjalan menjauhinya. Hal itu terjadi karena halauan sebuah mobil Fortuner hitam yang berjalan dan berhenti tepat di depannya.Baru saja akan meneriaki si pemilik mobil, mulut Ana tiba-tiba terkunci saat seorang pria keluar dari dalam mobil
itu. Dengan setelan jas hitam, pria itu berjalan santai menghampiri Ana. Langkahnya yang tegas tampak dominan di antara keramaian kota Jakarta.“Hai, Ana. Maaf lama, siang ini jalanan begitu padat.”
Pria itu tersenyum manis kepada Ana, tetapi Ana membalas dengan membuang wajahnya—kesal.
“Maaf, Sayang.”
Sayang?!
“Ih! Apaan, sih!” Ana kembali menatap pria yang umurnya belasan tahun lebih tua darinya itu dengan risih.
Bukannya tersinggung dengan tatapan sinis Ana, pria itu malah semakin agresif, dan membentuk senyum misterius di bibirnya. Tangannya dengan berani menyentuh dan
mengusap pipi Ana.Ana yang terkesiap untuk sementara waktu, buru-buru menepis tangan pria berusia tiga puluh enam tahun itu—
Raka Sidan Suregar.“Ja-jangan sentuh aku! Dasar Om gila!” teriak Ana sambil berjalan menjauh dari Raka.
Dengan perasaan takut dan tidak tenang, Ana mempercepat langkahnya yang terasa sulit karena sepatu yang ia pakai tidak mendukung untuk berjalan lebih cepat.
Dan benar saja, baru beberapa langkah, Raka berhasil menahan lengan sikunya.
“Hei, mau ke mana, Sayang?” Masih dengan ulasan senyum manis, Raka mencengkram erat lengannya.
Senyum dan cengkraman yang sangat berbeda. Raka memang tersenyum, tetapi cengkramannya menunjukkan aura yang berbeda. Matanya pun memberikan bukti lain
kepada Ana.Ada sesuatu di mata Raka, dan Ana tidak menyukainya.
“Ih, lepasin! Lepasss!!!” Ana berusaha keras untuk melepaskan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH MY FATHER'S FRIEND (21+) | END
RomanceWarning : Dewasa, Mature, kolaborasi E dan Ray ( 21+) "Om Raka udaaah..." "Relaks, sayang. Sebentar lagi..." Inilah kisah cinta Anastasia (20 tahun), sang mahasiswi cantik pecinta shopping, dengan pria paruh baya sahabat sang ayah saat berada di ban...