Raka melepaskan kancing atas kemejanya melihat tingkah laku Ana.
"Berhentilah bermain, Ana. Aku sedang bicara serius denganmu."
"Ihh .... Aku nggak main, kok."
"Coba ulangi ucapanku tadi." Raka melipat kedua tangannya ke atas dada. Sebelah matanya terangkat membentuk ekspresi ragu di wajahnya. Ragu bahwa Ana paham dengan ucapannya.
Hampir belasan menit ia memberikan ceramah pagi di hari ketiga mereka di Raja Ampat-surganya tanah Papua.
Ceramah yang diperuntukkan untuk istrinya yang terlampau labil seperti ABG, atau ia sendiri yang memang sudah cukup tua untuk istrinya yang baru berusia dua puluh tahun?
"Kenapa diam?" Kerutan kecil di kening Raka semakin jelas terlihat manakala Ana-istri yang selamanya akan menjadi kekasih hatinya-memainkan jemarinya pada sofa putih kamar tidur mereka. Lagi dan lagi.
"Kamu paham ucapanku barusan, 'kan?"
Ana mengangkat kepalanya dengan pipi dan hidung mengembang merah. "Ihh .... Tentu saja aku paham!"
"Kalau begitu ulangi ucapanku." Raka mengambil duduk di atas meja, meraih tangan Ana agar duduk dengan tenang.
Lalu mengapit kedua kaki jenjangnya yang putih supaya turun dari atas sofa.
"Katakan." Raka memegang kedua lutut istrinya dengan dominan. Ia melihat Ana menelan salivanya dengan berat.
"Satu, nggak boleh berisik ... dua ... ehm ... nggak boleh merengek, terus ketiga ...." Ana mencoba mengingat-ingat ucapan Raka dengan menggunakan jari tangannya.
"Tiga, kamu tidak boleh keluar kamar sebelum aku selesai berbicara dengan klienku." Raka membantu Ana untuk mengingatnya.
"Kenapa aku tidak boleh keluar kamar?" Ana bertanya dengan nada kecewa.
"Karena kehadiranmu bisa mengganggu rapatku, Ana."
"Ihh ... terus kalau aku nggak tahan, gimana?"
"Kamu sudah cukup dewasa untuk menahan diri, Ana."
"Tapi, aku mudah bosan ...." Ana menggerutu, tidak mau kalah dengan Raka.
"Kalau begitu aku akan mengganti tempat pertemuan
kami di hotel yang lain." Raka sedikit menjauh dari tubuh Ana dengan kedua bahu terangkat santai. "Dengan begitu kamu bisa bebas untuk menggunakan fasilitas lengkap di kamar ini."
"Ihh, masa aku ditinggal sendirian di sini?! Nggak mau! Nggak!" Ana mencicit tidak percaya.
Ana berdiri dan ... melalui kebiasaannya yang baru, Ana kemudian mengambil duduk di pangkuan Raka. Melingkarkan kedua tangannya di leher pria itu. Memeluknya sambil menyandarkan kepala di bahunya.
Kebiasaan baru Ana yang ingin dimanja dan dipeluk oleh Raka. Bahkan, ke mana pun Raka pergi, Ana harus ikut. Dengan kata lain, ia tidak ingin jauh-jauh dari pria yang kini telah menjadi suami sekaligus ayah untuknya. Husband and daddy.
Ada apa dengan Ana? Itulah yang dipikirkan oleh Raka sejak mereka bercinta dengan panas akhir-akhir ini.
Malam itu adalah buktinya!
Posisi Ana yang duduk di atas pangkuannya benar-benar membuat Raka ingin bercinta dengannya, tetapi selalu ditolak mentah-mentah oleh istri kecilnya itu. Ana akan menangis jika ia memaksa untuk melakukan ritual suami istri.
"Nggak mau! Nggak!"
"Tapi kamu sendiri yang mulai menggodaku, Sayang. Untuk apa kamu duduk di pangkuanku, kalau bukan bermaksud untuk merangsangku?"
"Aku mau dipeluk Mas Raka."
"Kalau kita bercinta, aku bisa peluk kamu kapan saja, Sayang."
"Nggak! Bercinta sama peluk itu beda! Beda!"
Raka menghembuskan napasnya-lelah. Ia memijat keningnya yang tidak pusing sama sekali.
"Oke. Tapi ingat dengan tiga syaratku itu, Ana. Mengerti?" Raka mengusap punggung Ana, lalu mencium keningnya dengan manis.
Ana berpikir cukup lama dengan memainkan jambang yang tumbuh lebat di wajah Raka. Lama ... hingga akhirnya ia memilih untuk menerima persyaratan Raka kepadanya.
"Iya ...."
***
***
"Aku dengar istrimu sangat cantik, Tuan Raka." Raka yang baru saja akan menandatangani kontrak dengan pemilik saham terkuat di Papua-Muses Pekei-menghentikan aktivitasnya sejenak.
Raka mengangkat kepalanya dan mengarahkan matanya pada pria berumur lima puluh tahun tahun itu. Seorang pria berkulit khas pribumi yang sudah lima kali mengalami perceraian.
Raka tidak begitu antusias untuk mencampuri urusan pribadi dari kliennya. Ia hanya mengetahui rahasia umum pria itu, bahwa semua mantan istri pria berkumis lebat itu adalah para daun muda yang pernah berkecimpung di dunia hiburan. Namun, masih dalam level non-profesional. Bahkan istri Muses yang terakhir masih berusia dua puluh satu tahun.
Raka menyandarkan punggungnya dengan santai, lalu menanggapi pernyataan Muses "Semua mantan istri dan kekasihmu juga cantik, Tuan Muses"
Muses tertawa, tetapi Raka hanya memberikan ekspresinya yang terlampaui tenang dan dingin kepada Muses.
"Kita memiliki kemiripan, Tuan Raka. Kita sama-sama menikah dengan gadis muda," ucap Muses sambil melihat sesuatu di ponselnya dengan kekehan keras di sela-sela ucapannya barusan.
Raka memilih diam karena topik pembicaraan Muses mulai terdengar sensitive, dan hal itu terjawab saat Muses mengarahkan layar ponselnya ke hadapan matanya.
Rahang Raka menegang bersamaan saat ia melihat sosok familiar berada di galeri foto ponsel milik Muses.
"Bukankah dia istrimu?"
Inilah alasan lain kenapa Raka tidak ingin Ana keluar kamar, apalagi sampai bertemu dengan Muses. Pria itu terlalu berbahaya dan licik. Hal itu terbukti dengan pernyataan tidak bermoralnya kepada dirinya.
"Aku tertarik dengan istrimu, Tuan Raka." Muses memberikan opsinya dengan senyum percaya diri. "Jadikan istrimu sebagai hadiahnya, dan sebagai gantinya seperempat sahamku akan kuberikan kepadamu."
Raka meremas surat kontraknya dengan tawa mengerikan. Muses yang melihat hal itu hanya mengerutkan keningnya, bingung.
"Apa kau sedang bermain denganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH MY FATHER'S FRIEND (21+) | END
Roman d'amourWarning : Dewasa, Mature, kolaborasi E dan Ray ( 21+) "Om Raka udaaah..." "Relaks, sayang. Sebentar lagi..." Inilah kisah cinta Anastasia (20 tahun), sang mahasiswi cantik pecinta shopping, dengan pria paruh baya sahabat sang ayah saat berada di ban...