01

7.6K 163 0
                                    

“Dhira, jangan seperti itu, nak. Papa  sedang menyetir, sayang.” Perempuan berkerudung cokelat itu, menasihati anaknya yang menutup mata ayahnya. Gadis kecil itu tetap melakukan aktivitasnya, sembari menyenandungkan lagu anak-anak.

Tin tin tin

Bunyi klakson, membuat kaget laki-laki yang berada di belakang kemudi, teriakan histeris dari anak dan istrinya membuatnya semakin panik dan membanting setir ke bibir jalan, dan menabrak pohon besar.

“Papa ... Mama ...,” Nadhira terus menangis melihat kedua orang tuanya tak sadarkan diri dan dipenuhi oleh darah. Warga sekitar yang mendengar adanya suara hantaman keras, berbondong-bondong mendatangi tempat kejadian.

“Ada anak kecil, ada anak kecil,” teriak salah satu warga yang melihat Nadhira.

Warga segera mengevakuasi Nadhira, tak lama kemudian muncul ledakan kecil dari mobil bagian depan. Warga segera menjauh membawa Nadhira bersama mereka.

Duaaarrr!

“Papaaaa Mama.” Nadhira menangis histeris, melihat mobil orang tuanya meledak. Nadhira terus, melepaskan tangan warga yang menutupinya, agar Nadhira tak mengalami trauma.

Tak lama kemudian, pemadam kebakaran datang dan mengevakuasi jasad yang ada di dalam. Untungnya jasad masih utuh dan tak habis dilalap api.

Pemakaman segera di lakukan, Nadhira menangis tak henti-henti, melihat kedua orang tuanya terbujur kaku tertutup kain hijau.

“Ayah sudah tua, masak ayah mau mengurus Nadhira, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Ayah,” ujar anak pertama.

“Kamu ini, Nadhira sudah jadi yatim-piatu, jangan jahat-jahat!” jawab Ali– Kakek Nadhira.

“Bukannya jahat, Ayah. Riki hanya kasihan sama Ayah. Harus mengurus Nadhira,” ucap Nadhira.

“Kalau begitu, Abang saja yang mengurus Nadhira. Pahala merawat anak yatim-piatu banyak,” ucap Ali kemudian.

“Nggak bisa, Ayah. Riki banyak kerjaan, Kakak saja tuh.” Riki menunjuk adik nomor dua.

“Eh, nggak bisalah, Rosa juga punya kerjaan. Harus mengurus rumah, suami, anak–“ jelas Rosa, anak kedua Ali. Namun, perkataannya terpotong oleh sahutan Ali.

“Terus Nadhira ikut siapa jadinya?” sahut Ali.

“Kasih pantai asuhan saja lah, kan selesai!” ucap Rosa. Dengan nada kesal dan muka masam.

Setelah pemakaman selesai, Ali memanggil anak-anaknya untuk berunding sekali lagi. Namun, sayangnya hati kedua anaknya telah dibutakan oleh harta. Padahal, ujian tak hanya berbentuk masalah saja, tetapi juga banyaknya harta.

Mereka asyik berdebat satu sama lain. Ali akhirnya menyudahi diskusi ini. “Sudah, sudah. Nadhira tinggal dengan Ayah juga Adik. Ayah masih mampu untuk bekerja,” seru Ali.

“Tapi Ayah–“ Rosa ingin melayangkan protes, tetapi tak diberi kesempatan oleh Ali.

“Keputusan Ayah sudah final, oke!” Ali membawa Nadhira kecil masuk ke kamar, dan menidurkannya.
**

Waktu berjalan begitu cepat, gadis bermata hazel itu sudah menginjak usia dua puluh tiga tahun. Usia yang cukup untuk menikah.
“Dhira, tak cari kerja lagi, 'kah?” tanya Ali. Baru saja masuk rumah, setelah berkebun dengan anak bungsunya.

“Belum, Dede. Dhira masih cari kerja lagi, di daerah sini sedikit susah Dede.” Nadhira meletakkan kudapan ke atas meja.

“Dhira, enggak coba cari di kota?” sahut Ahmad– anak bungsu Ali.

“Dhira nggak mau meninggalkan Dede sendirian di sini, Om.” Nadhira duduk di kursi, menuangkan air ke gelas Ali juga Ahmad yang tak jauh darinya. Ahmad mengangguk, tanda paham.

Mereka menikmati kudapan yang telah tersaji di meja makan. Sesekali mereka bercanda ria. Selayaknya keluarga harmonis. Beruntungnya lagi, Nadhira tak mengalami trauma dan tumbuh dengan baik.

“Eh, Dhira mau Tante bantu bilang sama pemilik toko bunga yang ada di seberang sana, kah? Nggak banyak memang gajinya, Dhira, tapi ... Jarak dari rumah kan tidak jauh, jadi Dhira bisa istirahat ke rumah,” ujar Fatimah– istri Ahmad.

Nadhira memandang Ahmad dan Ali bergantian, seolah meminta pendapat dari keduanya. Boleh nggak kalau Nadhira menerima tawaran dari tantenya itu.

“Eh. Kenapa pandang Dede seperti itu? Ambillah ... Lagian jarak sama rumah juga nggak jauh kan?” sahut Ali. Yang sadar cucunya meminta pendapat lewat sorot matanya.

“Oke, Tante. Dhira mau,” kata Nadhira ke Fatimah.

Tok tok tok!
“Assalamu’alaikum,”

“Waalaikumussalam, eh Haji Rafiq, masuk, masuk.” Ali mempersilahkan tamunya untuk masuk. Sedangkan Nadhira dan tantenya membersihkan piring bekas makan siang.

“Begini, Dede. Saya kan besok mau ke rumah anak saya. Saya mau minta tolong, boleh?”

“Minta tolong apa, Ji?”

“Saya minta tolong jagakan kebun saya untuk beberapa hari. Sebentar lagi buah-buah yang ada di dalam, sudah masak. Saya mau jual ke kota, Dede. Bisa nggak, ya?” tanya Haji Rafiq pada Ali.

“Eh, bolehlah. Nanti biar saya dan Ahmad yang jaga.”

Keduanya mengobrol sampai larut, Nadhira sibuk mencari lowongan pekerjaan yang ada di surat kabar. Untuk jaga-jaga kalau dia tidak betah bekerja di toko bunga rekomendasi dari tantenya.

“Dhira, Tante tadi sudah bilang ke pemilik toko, katanya besok kamu sudah boleh masuk kerja,” ujar Fatimah pada Nadhira.

“Oke, terima kasih Tante,” ucap Nadhira tanpa melihat ke arah Fatimah, dan terus menatap surat kabar di depannya.
*

Keesokan harinya, Nadhira sudah bersiap berangkat kerja. Dengan setelan celana panjang bahan, tunik menutup bagian belakangnya dan kerudung warna moca.

“Dede, Dhira berangkat dulu, ya.” Nadhira mencium punggung tangan kakeknya, dan berpamitan dengan om-tantenya.

Sesampainya di toko, pemilik toko menyambut Nadhira dengan sopan dan baik. Tokonya cukup besar, sayangnya hanya dirinya seorang yang menjadi karyawannya. Nadhira mengikat bunga seperti yang diajarkan bosnya tadi. Membuat buket bunga dan pesanan yang lainnya. Tak terasa sudah masuk tengah hari.

“Eh, cantiknya,” seru seseorang di balik drum isi bunga.

Nadhira tak menghiraukan orang yang memujinya, hanya saja di dalam hati ia mengucapkan MasyaAllah, agar tak terkena 'ain.

‘Ain, adalah penyakit yang tidak asing bagi umat Islam. Penyakit ini merupakan gangguan yang disebabkan oleh pandangan mata yang disertai oleh perasaan iri dan dengki.

“Sombongnya.” Laki-laki itu mendekati Nadhira. Namun, Nadhira masih bergeming. Jarak diantara keduanya tak begitu jauh sekarang.

“Cantiknya. Cek in yuk!” kata laki-laki itu. Sembari mencolek dagu Nadhira. Nadhira mendengus kesal, tetapi juga takut.

– tbc –

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang