47

1.2K 38 4
                                    

"Saya sudah bereskan semuanya, sekarang giliran kamu, selesai segera perceraian Syam dengan perempuan kampung itu!" ujar Sandra.

"Kamu nggak kasihan sama anak sendiri? Syam cinta banget sama Dhira," sahut Syamsuddin.

"Iya ma, kasihan adek, kelihatan sayang banget sama Dhira," imbuh Syarif.

"Mama, nggak mau tahu yaa, pokoknya Syam harus pisah dengan wanita kampung itu," tegas Sandra.

"Syam nggak mau pisah sama Dhira, Ma!" Pekik Syam. Baru saja memasuki rumah.

Seisi rumah reflek menoleh ke sumber suara. Deandra sebagai anak bungsu, hanya bergeming tidak ikut nimbrung pembicaraan orang dewasa, meskipun ia sudah memasuki pendidikan strata satu.

"Perempuan macam yang kalau ada masalah, dikit-dikit minggat! Mama nggak suka dengan perempuan seperti itu!" Sahut Sandra.

"Bukannya menyelesaikan masalah, malah menghindari masalah, nambah masalah baru!" Tambah Sandra lirih. Masih bisa didengar oleh semua orang.

Syam tidak bisa menyangkal apa yang dikatakan ibunya, semua yang dikatakan ibunya ada benarnya juga. Namun, ia juga merasa semuanya wajar, karena kesalahan yang ia buat di masa lalu, tidak bisa ditolerir lagi. Ditambah lagi dengan rumor yang ditebar oleh Alexa.

"Sudah, sudah. Kita selesaikan semuanya setelah acara anniversary perusahaan kita," ujar Syamsuddin. Menyudahi perdebatan.

Di tempat lain, Nadhira terus memikirkan Syam. Bagaimana dengan kebutuhan suaminya, karena ia tahu sekarang, suaminya itu mulai tergantung dengannya. Semua kebutuhannya, Nadhira yang siapkan.

"Kenapa kamu tidak jujur lebih awal, Mas," gumam Nadhira lirih. Tanpa sadar air bening mengaliri anak sungai di pipinya.

"Masalah itu diselesaikan, Dhira. Bukan dihindari kayak gini," sahut Fatimah. Menyusul duduk di teras rumah bersama keponakannya.

"Tante," sahut Dhira. Fatimah menghela napas setelah duduk nyaman.

"Memangnya kamu tahu, kalau Syam itu bersalah?"

"Tante tahu kan, waktu Dhira kabur dari rumah tempo lalu, salah satunya karena Syam dengan Alexa, Tante,"

"Iya, Tante tahu, tapi ... Kalau Tante lihat, sepertinya kali ini perkiraan kamu salah,"

"Kenapa bisa gitu?"

"Iya gitu, coba deh tanya hati kamu, beneran nggak suami kamu berani melakukan hal yang melanggar norma agama, apalagi menyangkut image perusahaan." Nadhira tertunduk lesu, mendengarkan nasihat dari tantenya.

"Ada apa ini? Kok kelihatannya serius banget?" Sahut Ahmad. Baru saja keluar dari dalam rumah.

"Eh, Sayang. Abah sudah tidur?" Tanya Fatimah. Kemudian bersandar di bahu suaminya.

"Amboy ... Kalau mau mesra-mesraan jangan di depan Dhira, boleh?" Nadhira memasang wajah masam, yang disambut oleh kekehan Ahmad dan Fatimah.

"Jadi, lupa kan. Tadi ada apa, kok Dhira termehek-mehek gitu?" Tanya Ahmad.

"Jadi, Dhira itu berantem sama Syam–" Fatimah menjelaskan situasi yang dihadapi keponakannya saat ini.

"Astagfirullahal'azhim, Benar Dhir?"

Nadhira mengangguk pelan, air mata yang tadinya sudah berhenti, keluar kembali.

"Dede tahu?" Nadhira menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Ahmad baru tahu semua cerita tentang keponakannya, kalau sampai ayahnya tahu, pasti ia merasa sangat meyesal telah menjodohkan cucunya dengan orang yang salah, dengan orang yang belum bisa membahagiakan cucunya.

Sebagai pengganti orang tua Nadhira yang sudah meninggal, Ahmad dan Fatimah menasihati Nadhira. Gadis berusia dua puluh empat tahun itu merasakan kasih sayang orang tua dari mereka berdua.

Drrttt drrtt drrttt

Getar ponsel yang ada di pangkuan Nadhira mengagetkannya, ia lihat pesan dari Syarif, yang berisi:

SYARIF : Syam tidak bersalah, mama sudah dapat buktinya, Alexa sudah ditangani mama, Dhira.

Setelah membaca pesan dari Syarif dalam hati, Nadhira menangis lagi, karena apa yang dikatakan tantenya benar.

"Kenapa? Ada apa?" Sahut Fatimah.

"Tantee." Nadhira memberikan ponsel yang masih menampilkan pesan dari Syarif.

"Alhamdulillah," ucap Ahmad dan Fatimah bersamaan.

Nadhira memeluk Fatimah, erat. Ia juga belajar satu hal baru lagi dalam pernikahan. Kepercayaan, dalam pernikahan harus ada rasa percaya, memberikan kepercayaan sekali lagi pada orang yang ingin berubah lebih baik lagi, tidak ada yang salah. Apa yang ia pegang selama ini, mungkin ada benarnya tentang kepercayaan. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba kembali ke titik nol bersama pasangan, bersama-sama meraih surga-Nya.

Nadhira meraih ponsel yang masih ditangan Fatimah, ia mau menjawab pesan dari Syarif, ingin rasanya ia kembali ke pelukan Syam lagi, tetapi ... Saat ingat perlakuan ibu mertuanya, ia jadi insecure lagi sebagai menantu.

NADHIRA: Alhamdulillah, Dhira ikut senang kak, terima kasih ya, sudah mau ngasih kabar Dhira.

Tak lama pesan balasan itu dikirim, Syarif langsung membalasnya lagi.

SYARIF: Ahad besok kamu datang, kan? Besok Ahad ada acara tasyakuran anniversary perusahaan kita, kamu datang, ya. Temani Syam.

NADHIRA: Dhira pikirkan dulu, kak.

Setelah saling berbalas pesan, Nadhira menghela napas kasar, merobohkan tubuhnya di pangkuan Fatimah. Melihat bintang-bintang yang menghiasi gelapnya malam. Kerinduan dengan orang tuanya tiba-tiba saja menyusup di relung hatinya.

"Dhira kangen sama Mama Papa, Tante," celetuk Nadhira. Fatimah masih bergeming, tetapi tangannya bergerak mengelus wajah Nadhira.

Ahmad, melirik sekejap, kecelakaan malam itu berputar kembali di otaknya, saat itu ia masih remaja menuju dewasa.

"Kalau saja Dhira nurut sama kata Mama, pasti mereka masih ada," cicit Nadhira. Air bening lagi-lagi keluar dari pelupuk matanya.

"Qodarullah Dhira, semua yang berlaku sudah ketetapannya Allah swt, kamu nggak boleh menyalahkan diri kamu sendiri. Semua yang di dunia ini hanya titipan, termasuk suami, saudara, orang tua, apapun yang kita punya sekarang," ujar Fatimah.

"Pasti ada hal menarik yang membuat ruh kita ingin terlahir, kita sudah setuju dengan jalan takdir yang telah Allah rancang-kan untuk kita. Tugas kita cuma beribadah kepada sang pemilik nyawa Dhira. Kita semua pasti berpisah. Namun, Allah janji akan mengumpulkan orang-orang yang saling mencintai karena Allah swt, dengan saling mengingatkan, menyampaikan ayatnya, mengajak dalam kebajikan, dan saling mendo'akan," sahut Ahmad.

"Kamu tahu kan, kalau rindu sama orang tua kamu, kamu harus kemana?"  Sahut Fatimah. Nadhira mengangguk pelan.

Nadhira terlihat seperti perempuan mandiri yang tidak butuh siapa-siapa, tetapi gadis itu sebenarnya manja sekali dengan orang-orang yang dekat dengannya. Terutama dengan Fatimah, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Yang mendidiknya seperti sekarang bersama kakek juga pamannya.

"Besok Ahad, ada tasyakuran anniversary perusahaan, om, tante sama Dede berangkat, nggak?" Tanya Nadhira.

"Inginnya kita datang, Dhira, tetapi kamu tahu sendiri kan, kondisi Dede masih sakit, karena usia senjanya, besok om juga harus panen ladang kita, Tante Fatimah juga harus mengurus Dede dan keponakan kamu," jawab Ahmad.

"Besok kamu saja yang datang Dhira, kamu sampaikan maaf kita, karena tidak bisa hadir," sahut Fatimah. Masih memainkan kerudung yang Nadhira kenakan.

"Dhira aja masih bingung, berangkat enggak." Ahmad dan Fatimah beradu pandang, sorot matanya seakan tahu, apa yang sedang keponakannya itu risau-kan.
**

"Dhira, datang nggak, kak?"

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang