24

1.1K 46 0
                                    

Sudah beberapa hari ini, Nadhira bersikap dingin kepada Syam. Ia berbicara dengan suaminya, hanya saat ada keperluan saja, terlebih di kantor, hampir setiap hari Syam membawa Alexa untuk datang ke kantor.

"Awh ... Sayang, geli lah," adu Alexa pada Syam. Yang memainkan lengannya.

"Aku gemas banget sama kamu, Yang,"  ucap Syam. Mau menggigit lengan Alexa. Namun, matanya melirik Nadhira yang berada di belakang layar.

"Sayang, kita makan siang, yuk!" ajak Alexa. Yang mendapat anggukan dari Syam, sebagai jawaban.

Pasangan kekasih itu pergi, dengan Alexa yang bergelendotan di lengan Syam. Nadhira memilih seolah tidak tahu apa yang dilakukan oleh suaminya, entah mengapa rasanya sakit sekali di bagian hati yang lain, tetapi juga enggan untuk meladeni suaminya, yang akhir-akhir ini selalu melantur.

Tok tok tok

"Masuk," ucap Nadhira dari dalam. Mengisyaratkan orang yang mengetuk ruangannya untuk masuk.

"Eh, Papa," sapa Nadhira. Reflek berdiri, tidak sopan rasanya kalau melihat lawan bicaranya juga berdiri, terlebih ia adalah Papa mertuanya.

"Syam mana?" tanya Syamsuddin.

"Mas Syam baru saja keluar meeting dengan client, Pa. Papa ada perlu sama Mas Syam, kah?"

"Enggak begitu penting, Papa cuma mau bilang kalau lusa besok Papa mau ajak Mama liburan ke Eropa, Papa cuma mau titip pesan sama Syam, agar dia menjalankan perusahaan dengan benar," ujar Syamsuddin.

"O-oh, baik Pa, nanti Dhira sampaikan ke Mas Syam," sahut Nadhira.

"Oh iya, akhir-akhir ini Syam selalu keluar malam, kemana dia, Dhir?"

"Mungkin meeting dengan client, Pa, soalnya kolega kita kadang ada yang mengajak meeting di luar," jawab Nadhira. Berbohong untuk menutupi tingkah laku suaminya yang sering bertemu dengan Alexa di club malam. Syamsuddin menganggukkan kepala, tanda mengerti.

"Ya sudah, Papa kembali ke ruangan Papa dulu," pamit Syamsuddin. Meninggalkan ruangan Nadhira.

"Huh!" Nadhira menghela nafas kasar, menghempaskan tubuhnya ke kursi.

"Syam Mahardika, kenapa sih gue harus menikah sama dia, nyusahin orang aja!" gerutu Nadhira lirih. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Telepon kantor berdering, dari staff administrasi yang ada di bawah, memberitahu kalau ada yang mencarinya.

"Baik, Yang cari saya perempuan atau laki-laki?" tanya Nadhira dengan orang yang ada di seberang telepon.

"Perempuan, Bu,"

"Baik, Saya akan segera turun, minta tolong suruh nunggu dulu di tempat tunggu, ya,"

"Baik, Bu,"

Nadhira bergegas naik lift menuju lobi, benar saja ada perempuan yang menghadap ke luar, perawakan perempuan itu tak asing untuknya. Setelah mendekat, ternyata dugaannya benar, Rosa.

"Assalamu'alaikum, Tante," sapa Nadhira. Menyodorkan tangannya hendak menyalami anak kedua Kakeknya.

"Cih! Tante, tante, saya bukan tante kamu, panggil saya Madam Rosa," tegas Rosa. Angkuh. Nadhira tersenyum tipis, menanggapi tantenya.

"Baik, Madam Rosa, Madam ada perlu apa mencari Saya" tanya Nadhira. Tidak mau basa basi dengan Rosa.

"Bagi Aku duit." Rosa, tanpa rasa malu, langsung menodong Nadhira dengan kalimat seperti itu.

"Duit, untuk apa Madam?"

"Jangan banyak ngomong kamu, bagi Aku duit, karena laki-laki tua bangka itu tidak mau jual tanah miliknya," umpat Rosa pada Nadhira.

"Madam, Madam nggak boleh bicara seperti itu, Dede itu orang tua Madam juga," ujar Nadhira.

"Cerewet! bagi Aku uang 100 juta, kamu kan kerja di tempat mewah ini, pasti gaji kamu besar, 'kan?" Rosa memutari tubuh Nadhira. Nadhira mendengus kesal pada Rosa.

Ternyata Tantenya yang satu ini memang beda, bertemu dari kecil pun tidak, tiba-tiba datang minta uang.

"Nggak ada Madam. Dhira tidak ada uang sebanyak itu," ucap Nadhira.

"Kamu jangan main-main sama saya, cepat! Mana!" Rosa mencengkeram kedua lengan Nadhira, kuat-kuat.

"Saya tidak punya uang sebanyak itu, Madam, lagi pula uang Dhira juga Dhira kirim ke kampung untuk Dede,"

"Alasan! Kamu cuma buat alasan, kan! Cepat!" gertak Rosa.

"Astagfirullahal'azhim ... Madam, Saya bilang nggak punya, ya nggak punya lah,"

"Kalau kamu nggak punya, bujuk laki-laki tua itu buat jual tanah itu, katanya mau di kasih ke kamu, siapa kamu ini! Hanya cucu, orang lain," sentak Rosa.

Nadhira menghela nafas berat, Rosa melanjutkan mengumpat Nadhira dengan kata-kata kasar, tak memperdulikan orang-orang yang memandang ke arah mereka.

"Selamat siang, Madam," ucap Nadhira. Mengantar kepergian Rosa dari resort.

"Dhira!" panggil seseorang. Nadhira mengedarkan pandangannya, mencari orang yang memanggilnya.

"Hasan," gumam Nadhira. Menghampiri pria yang mengisi hatinya di masa lalu.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Nadhira. Mendaratkan tubuhnya di kursi tunggu.

"Kebetulan Aku lagi melintas, terus ingat sama kamu. Ya udah, singgah sebentar. Eh, kamunya lagi ada tamu, siapa sih tadi? Kamu nggak lagi ada utang ke rentenir, kan?" ujar Hasan.

"Hush! Mulutnya, enggaklah, ngapain Aku utang ke rentenir, income itu akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, bukan gaya hidup," sahut Nadhira.

"Kali aja, hahaha,"

"Huu, dasar,"

"Kamu udah lunch belum?" tanya Hasan.

"Belum, tadinya mau makan, cuma masih ada kerjaan kan, ya udah ngerjain dulu, eh ada tamu tadi, hahaha,"

"Makan siang bareng, yuk! Habis ini Aku mau lanjut ketemu client,"

"Wah, kamu enak, kan. Kerjaannya bisa sekalian liburan, dulu itu yang Aku inginkan, sekarang lihat, team sekertaris punya," seru Nadhira. Menyentuh name take yang terkalung di lehernya.

"Alhamdulillah, Dhir. Nikmatin aja lah, kadang hidup memang enggak semua tentang apa yang kita mau, atau inginkan, boleh jadi apa yang kita suka, belum tentu baik untuk kita, dan apa yang tidak kita suka–"

"Terbaik untuk kita, bagus ya, Aku juga suka dengan kalimat itu, kalau lagi bosen, atau putus asa, kata-kata itu selalu Aku ingat," sahut Nadhira. Melanjutkan ucapan Hasan.

Hasan tersenyum kepada Nadhira, berandai, kalau Nadhira menjadi istrinya, tetapi nyalinya terlalu ciut untuk mengutarakan niat baiknya.

Dalam angan Nadhira, mengingat perlakuan Syam pada dirinya, ia berusaha untuk mengingat kebaikan-kebaikan yang dilakukan pria itu pada dirinya juga dengan keluarganya. Agar dirinya tidak menyerah dengan pernikahan ini, agar Allah tidak membencinya, juga tidak mengecewakan kakeknya, yang telah membesarkannya sampai di titik ini sekarang.

"Kita makan dimana?" tanya Hasan.

"Di FS aja, gimana?" tawar Nadhira.

"Okay, yuk!" sahut Hasan. Yang sudah berdiri lebih dulu.

Mereka berdua menikmati makan masing-masing, tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka sedari tadi.

"Boleh Saya join?" ucap Syam. Sudah membawa segelas minuman.

"Sure! Silakan Tuan Syam," sahut Hasan.

Raut wajah Nadhira berubah pucat pasi, tatapan suaminya seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Nadhira berusaha untuk bersikap biasa saja.
**

"Kamu itu perempuan jenis apa sebenarnya, sana mau sini mau, Ban*sat! Kalau kamu memang mau saya lepaskan, ngomong ban*sat!"

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang