21

1.2K 46 5
                                        

"Te, kemarin yang datang marah-marah siapa?" tanya Nadhira. Sembari membilas cucian piring.

"O-oh, itu Tante Rosa, anak kedua Dede," jawab Fatimah.

"Kok Dhira nggak pernah lihat,"

"Iya, karena dia enggak pernah balik kampung, Dhir,"

"Pantas, untung nggak dikutuk jadi batu sama Dede, Dhira kasihan sama Dede, kayaknya tertekan banget anak keduanya pulang kemarin,"

"Hush! Mulutnya, nggak boleh kayak gitu,"

"Hehe, iya iyaa ...,"

"Gimana enggak tertekan, orang pulang-pulang minta Dede jual tanah yang dipakai buat bercocok tanam Dede sama Om-mu sekarang, suruh bagi warisan sekarang, padahal beliau kan masih hidup, Astagfirullahal'azhim," ujar Fatimah. Mengelus dadanya, miris.

"Kan kan kan, tadi bilang apa? Nggak boleh gitu Dhira–" Nadhira menirukan apa yang dilakukan Fatimah. Gayanya yang pecicilan membuat Fatimah tertawa terbahak-bahak.

"Tante nggak ada ya, gaya kayak gitu, hahaha ... Dhira, Dhira udah! Tante malu tahu," protes Fatimah.

"Haa ... Punya malu juga akhirnya, untung cuma Dhira yang disini, untung Syam ikut Dede ke ladang," ejek Nadhira.

"Lain kali, kalau Tante Rosa ke sini lagi, Tante hajar aja lah, kalau enggak sanggup, telepon Dhira, biar Dhira jadiin perkedel," ucap Nadhira. Mengadu kepalan tangan dengan telapak tangan yang lainnya.

"Siap laksanakan, komandan!" Sahut Fatimah. Membuat pose hormat.

"Laksanakan!" ucap Nadhira.

Setelah bergurau sebentar, Nadhira melanjutkan aktivitasnya, begitu pun dengan Fatimah. Hari sudah semakin terik, sebentar lagi, waktunya makan siang. Nadhira dan Fatimah bergegas menyelesaikan masakannya.

Tak berapa lama, rombongan para lelaki datang, membawa pisang yang baru saja di panen di ladang.

"Assalamu'alaikum," sapa Ali, juga Anak, cucu menantunya, hampir bersamaan.

"Waalaikumussalam," jawab Nadhira.

Nadhira bergegas mengambil teko yang dibawa oleh Ali juga alat untuk berkebun, ia letakkan di tempat semestinya berada.

"Kalian nanti masih menginap di sini, kan?" tanya Ali. Matanya bergantian memandang Nadhira dan Syam.

Pasangan itu saling beradu pandang, sorot mata Syam mengatakan kalau mereka harus pulang hari ini, sedangkan Nadhira menatap Syam dengan tatapan memohon untuk satu hari lagi di kampung.

"Ee kita akan–" ucapan Nadhira terpotong oleh sahutan Syam.

"Kita akan pulang sore nanti, De. Ada urusan kantor yang harus Dhira selesaikan, makanya ... Syam jemput Dhira," sahut Syam. Ali mengangguk-angguk sebagai jawaban mengerti.

"Kalau begitu, bawa sebagian hasil panen hari ini untuk dibawa ke kota, kasih ke mertua kamu, Dhira. Biar di masak," perintah Ali.

"Alah, Dede. Nggak usahlah, biarkan di sini saja, di masak Tante, sama Dede," tolak Nadhira halus.

"Dede bilang kan sebagian," sahut Ali.

"Iya, iyaa," ucap Nadhira kemudian. Tidak mau meneruskan perdebatan dengan kakeknya. Karena ia tahu, ia akan kalah, kalau mereka berdebat.

Keluarga kecil itu makan siang bersama, suasana sangat hangat, Syam yang Nadhira lihat, tidak pernah tersenyum apalagi tertawa, hari ini ia melihat sisi lain dari pria yang telah menikahinya tiga bulan ini.
**

"Kenapa Abang balik? Bukannya tadi bilang mau berangkat ke kantor?" tanya Rosa pada suaminya.

"Gimana mau berangkat ke kantor, mobil disita bank," sahut Marco– suami Rosa. Wajahnya penuh kekesalan.

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang