28

1.1K 44 3
                                    

Nadhira hanya tidur satu jam saja, membuat tubuhnya merasa habis digebukin satu kompleks, Nadhira sudah berusaha membangunkan Saya berulang kali, tetapi suaminya itu enggan untuk bangun.

Nadhira berangkat sendiri ke kantor menggunakan motor yang diberikan oleh kakeknya. setiap pagi kalau Nadhira membawa motor ia akan berhenti beberapa kali, ia membawa beberapa bungkus nasi yang sudah lengkap dengan lauk, ia bagikan kepada saudara-saudara kita yang mencari nafkah di jalanan.

Tak ada yang tahu selain dirinya dan Tuhan-Nya. Karena sebaik-baik sedekah, adalah yang tersembunyi.

"Makasih, ya, Neng," ucap ibu pemulung.

"Kak, makasih, ya, kok lama nggak melintas, kak? Kita kapan belajar lagi," seru sekelompok anak jalanan.

"Iya, Kakak agak sibuk nih, kalian tetap salat, kan?" Nadhira memicingkan mata ke arah anak-anak itu. Menyelidik, adakah yang tidak mengerjakan pesannya.

"Hehe, Adi tuh kak nggak salat,"
"Maya kak, masih suka bolong, katanya M Kak,"
"M, malas bukan karena dia orang ada halangan,"

Sahutan dari salah satu anak, mengundang gelak tawa anak-anak yang lainnya, sementara anak yang diledekin hanya cengar-cengir tanpa dosa, Nadhira ikut tersenyum, tetapi juga memanggilnya ke tempat yang lebih sepi untuk menasihati, agar dia tidak malu dengan teman-temannya.

"May," panggil Nadhira.

"Iya, kak," jawab Maya. Menundukkan kepala.

"Mau peluk kakak nggak?" Nadhira menawarkan pelukan untuk Maya, karena ia yatim piatu seperti dirinya. Maya mengangguk dan segera menyambut bentangan tangan Nadhira.

Rata-rata anak jalanan yang biasa Nadhira temui, mereka sudah Yatim, Piatu, atau bahkan ada yang Yatim Piatu.  Saudara-saudara mereka menolak mereka, seperti dirinya dulu, saat ditolak oleh Paman dan Bibinya yang lain.

"Maya, kenapa nggak salat?" tanya Nadhira sembari mengelus punggung anak berusia delapan tahun enam bulan itu.

"Maya nggak punya pakaian yang layak, Kak. Maya cuma ada pakaian ini saja," adu Maya. Masih dalam pelukannya Nadhira.

"O-oh begitu, sebenarnya mau pakaian kita seperti apapun, yang penting bersih, May. Kalau gitu, insyaaAllah besok kakak bawakan pakaian yang bersih untuk Maya,"

"Serius, Kak?" tanya Maya. Melepas pelukan, dan mendongakkan kepalanya. Dan mendapat anggukan kepala dari Nadhira.

"Kakak boleh pesan sesuatu juga?"

"Kakak, cuma mau pesan satu itu aja, jaga salatnya, sayang. Do'a kan Umi, Abi, juga Kak Dhira, oke?"

"Oke, kak,"

Setelah selesai menasihati Maya, Nadhira berpamitan kepada anak-anak jalanan itu, kemudian berangkat ke kantor.
**

"Kamu sengaja kan, tidak bangunin saya biar saya kena marah sama Papa!" sentak Syam. Baru saja masuk kantor, memasuki jam makan siang.

"Saya sudah bangunin kamu, kamunya aja yang susah bangun," jawab Nadhira, acuh.

"Alasan! Bilang aja kamu mau Saya tidak dapat jabatan itu,kan!" tuduh Syam pada Nadhira.

"Cih!" decis Nadhira.

"Kalau saya mau kamu tidak dapat jabatan itu, sudah dari kemarin-kemarin saya lakukan, come on boy ... Kalau udah tahu ada kerjaan penting di kantor, jangan dugem sampai larut pagi," cibir Nadhira. Memutar bola matanya, malas.

"Kamu lama-lama ngelunjak ya," sentak Syam. Sembari menggebrak meja Nadhira.

Nadhira bangkit dari tempat duduknya, tatapannya Seakan siap membunuh lawan yang ada di depannya sekarang. Kedua tangan Nadhira sudah mengepal, dan siap meninju Syam.

"Kamu tidak kalah murahannya dengan perempuan-perempuan yang ada di club semalam," ejek Syam.

Nadhira meraih kerah Syam. Mendorong tubuh Syam sampai membentur dinding.  Entah mendapat kekuatan dari mana, Nadhira mendorong tubuh Syam, Syam baru tahu kalau istrinya ternyata bisa semarah ini.

"Saya sudah diam terus ya, menghadapi kamu, saya nurut sama kamu, karena kamu adalah imam saya, kamu suami saya, dan kamu atasan saya, saya sudah bilang kan dari tadi, saya sudah membangunkan kamu, kenapa kamu masih membuat saya maraaah!" Ujar Nadhira. Diakhiri lengkingan di akhir kalimat.

Syam berusaha melepas cengkeraman Nadhira, yang semakin mengencang, membuatnya susah bernafas. Nadhira masih menatapnya tajam. Tidak ada yang lebih menakutkan selain marahnya orang yang sabar.

"Hah!" Nadhira melepaskan cengkeramannya, dan kembali duduk. Syam segera berlari ke mejanya, mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin.

"Astagfirullahal'azhim," gumam Nadhira lirih. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Nadhira menyesal sudah melakukan perbuatannya tadi kepada suaminya. Namun, tumpukan tuduhan Syam memprovokasinya untuk memberontak, pekerjaan yang tidak bisa di-hendle Syam tadi pagi, sudah di-hendle oleh Nadhira, jadi Syam tetap mendapatkan kontrak dengan koleganya, untuk bekerjasama.

Semua itu Nadhira lakukan, agar Syam segera mendapatkan jabatan yang diinginkan suaminya, karena ia tahu Papa dan Kakaknya sedang memantau pekerjaan suaminya. Berulang kali Nadhira beristighfar, tetapi amarah itu masih saja menyapa, ia memutuskan ke musala untuk melaksanakan salat sunnah.

Mata Syam dan Nadhira bertemu ketika Nadhira hendak keluar ruangan. Namun, Syam segera mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Agaknya pria ini takut mendapatkan perlakuan seperti tadi. Setelah melihat Nadhira keluar dari ruangan, Syam menghela napas lega.

"Huh! Gila ... tuh cewek tenaganya gede juga, parah sih Papa, dapat cewek itu darimana coba," gerutu Syam.

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang