Di kampung, Nadhira menjalani kehidupannya seperti sebelum menikah dengan Syam. Ia membantu di ladang, memasak untuk paman dan kakeknya. Karena Fatimah mempunyai anak kecil, jadi tidak bisa terus menetap dengan kakeknya. Meskipun rumah Ali dan Ahmad tidak berjauhan.
"Kamu nggak kabur dari rumah kan, Dhir?" seru Ali.
"Ah, e-enggak kok, De. Dhira cuma kangen aja sama Dede, emangnya Dhira nggak boleh pulang?" ucap Dhira. Bohong.
Kenyataannya dia kabur dari rumah, karena Syam, terus-menerus menyalahkannya. Padahal dia sendiri tidak mau tahu pekerjaan yang sedang dikerjakannya. Mata Nadhira kembali memanas saat ingat Syam membentaknya.
"Boleh, boleh kok kamu pulang, tapi jangan langgar kewajiban istri pada suami, yang harus selalu taat pada suaminya," pesan Ali pada Nadhira.
"Kalau suaminya yang lupa sama kewajibannya, gimana?" sergah Nadhira. Seolah membenarkan bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah kebenaran.
"Kamu kabur dari rumah, Dhira?" Bukannya jawaban malah kebohongannya ketahuan sama Ali.
"Astagfirullahal'azhim, Dhira ...," tambah Ali.
Nadhira hanya menyeringai, ketika kebohongannya ketahuan. Sedangkan Ali berulang kali mengucap istighfar. Melihat kelakuan cucunya.
"Marahin aja, De." Fatimah mengompori Ali, agar memarahi keponakannya.
Bagaimanapun kelakuan Nadhira tidak dibenarkan, karena semua bisa di musyawarahkan. Dengan kaburnya Nadhira dari rumah besannya, hanya akan menambah malu juga penyesalan pada Ali. Karena tidak becus menjaga cucunya.
"Habisnya, Kulkas berjalan itu terus-terusan nyalahin Dhira, orang dia sendiri yang salah, enggak ngecek kerjaan Dhira, giliran sudah hari H, dia ngomel-ngomel kayak kehilangan hidung," adu Nadhira pada Ali. Seperti anak kecil yang mengadu pada orangtuanya ketika kehilangan mainan atau dijahili sama temannya.
Fatimah dan Ahmad menahan tawa, ketika Nadhira mengadukan Syam dengan sebutan kulkas berjalan.
"Aigoo ... Anak ini, bisa bisanya kamu sebut suami kamu kulkas berjalan." Ali menepuk-nepuk bahu Nadhira.
Nadhira menceritakan bagaimana tabiat suaminya, tetapi bagian yang buruk-buruk tetap ia simpan sendiri. Hanya yang seru dan baik saja, yang ia ceritakan kepada paman, bibi, juga kakeknya.
Pembawaan Nadhira yang ekspresif, membuat mereka tertawa terbahak-bahak, sebagai orangtuanya, mereka juga tetap menasihati Nadhira, agar tak melakukan perbuatannya lagi.
"Dhira, Dede tahu kamu kecewa sama Syam, tapi kamu tidak boleh kabur dari rumah, gimana kalau mertua kamu mencari kamu, kalau kamu seperti ini, kamu juga memalukan keluarga kita Dhira, Dede tahu ... Selama menemani tumbuh kembang kamu sampai dewasa ini, kita tidak pernah membentak kamu, kamu juga tidak tahu bagaimana cara mendidik mertua kamu ke anak-anaknya, karena kedua anak mereka laki-laki, dan satu perempuan, tentu cara mendidik anak laki-laki dan anak perempuan itu berbeda," ujar Ali pada Nadhira. Nadhira menundukkan kepalanya.
"Iya, Dhir, benar kata Dede," sahut Ahmad.
"Tuh dengerin Om sama Dede," goda Fatimah.
Nadhira melirik ke arah bibinya, yang suka sekali menggodanya, ketika ia sedang dimarahi sama kakeknya. Bukannya membela, malah ia mengompori agar Ali lebih lama menasihati Nadhira, itu berarti dia juga lebih lama menggoda keponakannya itu.
"Tantee, iii," rengek Nadhira manja. Tidak terima digoda terus-terusan sama Fatimah.
"Hahaha, cara mendidik anak laki-laki sama perempuan itu berbeda, inget itu." Fatimah mengacungkan jari telunjuknya ke atas dengan seringai yang tak lepas dari wajahnya.
Perempuan, tetaplah perempuan, yang harus diperlakukan dengan lemah lembut, karena ada hati yang ketika ia sudah remuk, tak akan lagi bisa utuh seperti sedia kala. Meskipun sudah berulang kali terluka, dan dikembalikan seperti semula, dengan media apapun, tetap saja akan meninggalkan bekas.
**Ttrrtt trrrtt trrtt
Ponsel Nadhira bergetar, tertera nama Syam di sana. Kali ini ia mengangkat telepon dari suaminya. Karena merasa bersalah juga, sudah kabur dari rumah.
"Kamu sengaja, kan! Kamu sengaja malukan saya di depan Papa, agar saya tidak dapat jabatan itu, kan!" Sentak Syam. Di seberang telepon. Membuat Nadhira menjauhkan ponselnya beberapa centimeter dari telinganya. Setelah Syam diam, Nadhira baru bersuara.
"Maaf, saya tidak bermaksud untuk itu, tapi saya sudah-"
"Dasar ja*ang murahan, gara-gara kamu-" Syam melampiaskan amarahnya pada Nadhira.
Umpatan demi umpatan Syam layangkan untuk Nadhira, membuat wanita di seberang telepon menitikan air mata. Fatimah memperhatikan keponakannya dari kejauhan. Ia tidak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Meskipun ada rasa iba ketika melihat Nadhira menangis tanpa suara, agar tak membangunkan penghuni rumah lainnya. Nadhira menarik napas panjang, sebelum memulai pembicaraan.
"Sudah selesai? Tolong bilang ke Papa, kalau saya ambil cuti tiga hari. Saya butuh waktu untuk sendiri, saya di kampung, Assalamu'alaikum," ucap Nadhira dengan suara parau. Kemudian Menutup telepon, tanpa mendengar jawaban orang yang ada di seberang telepon.
Nadhira menangis tersedu-sedu, memeluk kedua kakinya, dan menenggelamkan wajahnya diantara lututnya. Fatimah menghampiri Nadhira, membawanya pada pelukannya. Menenangkan keponakannya. Membiarkan Nadhira menangis untuk mengeluarkan sesak dalam dadanya.
Setelah Nadhira sedikit lebih tenang, Fatimah melepas pelukannya, menatap Nadhira dalam.
"Kalau ada apa-apa cerita sama Tante, jangan dipendam sendirian," ucap Fatimah kemudian. Hanya anggukan yang menjadi jawaban dari pernyataannya.
"Udah sekarang, minum air putih, terus ambil wudu, terus masuk kamar, tidur. Nanti Dede bangun, dan khawatir, kamu nggak mau buat Dede khawatir, kan?" ujar Fatimah. Nadhira mengangguk cepat.
**
"Dhira mana, Syam? Nggak kamu jemput?" tanya Syamsuddin. Di tengah-tengah makan malam."Tadi Syam telepon, katanya dia mau ambil cuti tiga hari, Pa. Minta tolong kasih tahu ke Papa, katanya tadi," jawab Syam.
"Kenapa sih! Biarin aja dia pergi, kalau bisa nggak usah balik sekalian," sahut Sandra. Bersungut-sungut.
"Kamu kenapa sih sama Dhira kayak gitu banget," sergah Syamsuddin.
"Kenapa? Bukannya sudah jelas, aku nggak setuju kalau Syam sama perempuan kampung itu,"
"Habis itu sama siapa lagi? Sama Bela? Anaknya mau nggak?" sahut Syamsuddin. Membuat Sandra terdiam.
"Syam, Papa nggak mau kehilangan karyawan yang credibility tinggi, oke. Setelah selesai masa cuti Dhira, segera jemput," seru Syamsuddin.
"Oke, Pa," jawab Syam. Yang mendapat dengusan dari Sandra.
Sementara itu di kampung, Nadhira mengajar anak-anak tetangga, yang banyak main gadget, ia membuat Playground untuk mereka, yang setiap weekend mereka outing sampai ke kampung sebelah.
Playground yang dibuatnya itu bertempat di samping rumah, ia juga membuat mini kebun, untuk anak-anak bercocok tanam. Hasil panen mereka, ia kasih ke ibu mereka masing-masing, meskipun hanya sedikit, Dhira yakin orangtua mereka pasti bangga.
"Oke, karena ini hari ahad, saatnya kita-" Nadhira sengaja tidak melanjutkan perkataannya, agar anak-anak menyahut.
"Jalan-jalan,"
"Outing,"Mereka bersahutan, dan suasana menjadi gaduh, Nadhira memulai ice breaking agar anak-anak yang ada di depannya, diam sejenak. Mendengarkan arahannya.
**Dua hari berlalu tanpa Dhira, keperluan Syam mulai tak terurus, karena biasanya semua makan, pakaian ia Nadhira yang jaga.
"Woy! Baju ganti Saya mana?" teriak Syam. Masih didalam kamar mandi.
"Huh!" Syam menghela nafas kasar.
Seketika ia sadar, kalau istrinya sedang tidak ada di rumah. Baru tiga bulan ia bersama Nadhira. Namun, ia sudah bergantung pada wanita yang dijodohkan dengannya. Syam mengacak rambutnya kasar. Merutuki dirinya yang sudah mulai jatuh cinta pada istrinya sendiri.
**"Kamu!" Seru Nadhira.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADHIRA CHAIRUNNISA
General FictionFOLLOW DULU YA BESTIE, SEBELUM BACA !! Hatur nuhun :) Nadhira Chairunnisa, gadis dengan mata hazel, yang dibesarkan oleh kakeknya. Kecelakaan besar membuat Nadhira menjadi yatim piatu. Kehadirannya di rumah kakeknya mendapatkan penolakan dari anak...