25

1.3K 48 1
                                    

"aih ... Nggak papa nih?" tanya Syam sekali lagi.

"Iya, nggak papa Pak, kebetulan saya juga mau tanya sesuatu sama Bapak," jawab Hasan. Nadhira hanya bergeming, dan fokus kepada makanannya.

"Oke." Syam langsung mendaratkan tubuhnya di kursi, depan Nadhira.

"Bapak nggak makan? Mau order, biar saya panggilkan waiter?" tawar Hasan.

"No no no, it's okay, Saya masih kenyang, nanti saya order sendiri," tolak Syam. Mendapat anggukan dari Hasan.

"Dhira, kamu di perusahaan Pak Syam sudah berapa lama sih?" tanya Hasan. Dengan tatapan tulus.

"Maybe 6-7 bulanan, Aku lupa, kenapa?" Hasan menggelengkan kepala. Karena pertanyaan itu hanya basa-basi saja, agar suasana tidak kaku.

"Pak Syam, Dhira bagaimana di kantor, saya dengar dia jadi sekertaris pribadi, Bapak?"

"So far, she is good. Bisa diandalkan," puji Syam pada Nadhira.

Uhuk! Uhuuk!

Pujia Syam membuat Nadhira tersedak, saat minum. Dengan perhatiannya Hasan langsung memberikan tisu kepadanya.

"Pelan-pelan, Dhir. Sampai kesedak gitu," ucap Hasan. Mengangsurkan tisu, dan mau mengelap sisa air yang ada di sekitar mulut Nadhira.

"It's okey, Aku bisa sendiri," tolak Nadhira. Mengambil tisu dari tangan Hasan. Ia melihat suaminya sudah menatapnya dengan tatapan tajam.

Syam bersandar, dan mulai menyilakan kakinya, kedua tangan sudah terlipat di depan dada.

"Kalian itu so sweet sekali, sih?" sindir Syam. Membuat Nadhira salah tingkah. Namun, beda dengan Hasan, yang senang mendapat pujian.

"Aahh Bapak bisa saja, kita serasi kan?" sahut Hasan. Syam tersenyum palsu kepada Hasan.

Nadhira berdehem, agar menarik perhatian kedua pria itu, meletakkan sendok, garpu dan tisu yang ia pakai untuk mengelap mulutnya.

"Hasan, Aku ada meeting habis ini, kalau Aku tinggal ke kantor, nggak papa?" seru Nadhira.

"Enggak papa, lagi pula Aku juga sudah selesai kok, mau lanjut perjalanan," ucap Hasan kemudian.

Nadhira berpamitan kepada Hasan juga Syam. Setelah sampai di depan lift, Syam menyusulnya dari belakang, dan menaiki lift yang sama dengan Nadhira.

"Senang ya, disamperin kekasih, jauh-jauh dari kota seberang, sampai kota," sindir Syam. Dengan senyum merendahkan, yang terlihat dari pantulan pintu lift. Nadhira masih bergeming, tidak menanggapi Syam.

Ting!

Pintu lift terbuka, untungnya tidak ada orang yang mau masuk di lift yang baru saja dinaiki Syam juga Nadhira, Nadhira bergegas masuk ke ruangan. Saat hendak ke meja kerjanya, tangan Nadhira ditarik kasar oleh Syam.

"Kamu itu perempuan jenis apa sebenarnya, sana mau sini mau, Ban*sat! Kalau kamu memang mau saya lepaskan, ngomong ban*sat!" maki Syam. Terbakar api cemburu.

Nadhira masih bergeming, tak ada niatan untuk membalas perilaku Syam. Namun, saat ini ia sangat ingin berlari untuk menjauh dari Syam. Hatinya sakit sekali, saat suaminya sudah intens meminta untuk berpisah darinya, ketika ia tengah mengobrol dengan staff laki-laki, terlebih dengan Hasan. Orang yang datang dari masa lalu Nadhira.

"Aaarrrgghh," teriak Syam. Melempar tempat alat tulis yang ada di meja Nadhira. Kemudian pergi dari ruangan.

Amukan Syam, membuat Nadhira takut, karena baru kali ini ia diperlakukan seperti ini, akhir-akhir ini banyak orang yang melayangkan makian kepadanya, membuat ia sangat lelah, meski tidak melakukan apapun.
**

Syamsuddin yang sudah berangkat ke Eropa, lebih tepatnya ke Spanyol. Negara yang dulunya bernama Andalusia. Tempatnya para filsafat hebat dilahirkan. Di Kota Granada, Cordova, Seville, dan Toledo. Di kota-kota ini pula melahirkan para ilmuwan terkemuka seperti, Ibnu Bajjah yang merupakan ahli filsafat abad ke-12 dan penafsir karya-karya Aristoteles. Kemudian Ibnu Rusyid, seorang ahli bintang sekaligus dokter dan ahli filsafat.

Di tahun 1975, kelompok pemuda muslim di Spanyol atau Andalusia kemudian membentuk komunitas masyarakat muslim di Cordova.

Syamsuddin bersimpuh di Bangunan megah yang memiliki gaya arsitektur renaisans, berdiri di tanah yang dahulu pernah menjadi ibukota Dinasti Umayah, pemerintah kekhalifahan Islam setelah Khulafaur Rasyidin, Masjid Cordoba.

Berdo'a agar adanya pertemuan dengan anaknya yang pertama, enam tahun silam, laki-laki yang ia ajarkan berjalan untuk pertama kalinya, yang ia timang setiap ia menangis, jawaban atas penantian. Kini ia memutuskan untuk tinggal di negeri ini.

"Papa ...," sapa seseorang yang baru saja menyelesaikan kewajibannya, dan hendak pergi.

Syamsuddin mendongakkan kepala, menghadap pemuda yang baru saja memanggilnya dengan sebutan 'papa', pemuda itu menghampiri Syamsuddin. Mengecup punggung tangan panutannya, pemimpin yang ia kagumi. Mereka berdua terisak bersama, suasana berubah menjadi haru.

Dalam sekejap mata, Allah swt mengabulkan permintaannya, sungguh Maha Besar Allah swt, yang mempunyai alam semesta.

"Syarif," ucap Syamsuddin di tengah isaknya. Pemuda itu mengeratkan pelukannya, pelukan yang tak ia dapatkan selama enam tahun belakangan. Sesekali Syamsuddin menepuk bahu anak pertamanya.

Syarif Mahardika, anak pertama dari Syamsuddin dan Sandra. Tubuhnya yang atletik, struktur wajah yang tegas, lembut, sayang dengan keluarga.

Kedua laki-laki itu berbincang dan melepas rindu, rindu yang telah tertahan bertahun-tahun lamanya, Syamsuddin mengajak Syarif ke hotel tempat ia dan Sandra menginap.

Tok tok tok

"Mah," panggil Syamsuddin berulangkali. Yang langsung membuka pintu, karena tak kunjung ada jawaban dari dalam.

"You, kenapa, panggil-panggil seperti itu, di sini cuma ada kita saja, tidak perlu panggil seperti itu," protes Sandra.

"Saya ada tamu, ayo kita sambut," sergah Syamsuddin.

"Siapa?" Syamsuddin menarik tangan Sandra lembut. Membawanya ke depan pintu, dan membuka pintu.

Di sana sudah berdiri Syarif dengan putranya. Betapa terkejutnya Sandra, melihat anak laki-lakinya ada di hadapannya sekarang, ia tutup mulutnya, air bening itu turun membuat anak sungai di pipi Sandra tanpa di minta.

"Syarif," panggil Sandra.

"Mama," panggil Syarif. Menghambur ke pelukan wanita yang mengandungnya sembilan bulan. Seperti saat pertemuan dengan Syamsuddin. Keduanya menangis.

"Ini siapa ini?" tanya Sandra.

Syarif berbicara lewat sorot matanya, seolah tahu maksud dari anaknya, Sandra tersenyum kepada anak kecil yang berumur sekitar tiga tahunan. Sandra merendahkan tubuhnya, agar sejajar dengan anak itu.

"Hola cómo estás, cariño?"(Halo, apa kabar, sayang?) sapa Sandra pada anak kecil itu dengan bahasa Spanyol.

"Hola estoy bien abuela," (Halo, Saya baik, nenek) jawab anak kecil itu dengan bahasa Spanyol juga.

Mata Sandra berkaca-kaca lagi, ia raih tubuh mungil anak itu, ia bawa dalam  gendongannya, ia peluk dan cium, akhirnya ia bertemu dengan cucunya.

Syarif menceritakan semua peristiwa di Negera ini, ia malu untuk kembali kepada orangtuanya, karena ia dulu membangkang, seharusnya ia disini untuk belajar, bukan menikah dengan orang sini, dan nasib buruk menyapanya, pernikahan Syarif dan istrinya kandas di tengah jalan. Karena himpitan ekonomi, pada saat itu Syarif masih meneruskan kuliahnya, dan menjadi seorang kepala rumah tangga. Penghasilan yang tak seberapa, membuat istri Syarif enggan untuk bersamanya lagi, putra semata wayangnya pun tak menerima takdir, bahwa ia harus menerima orangtuanya telah berpisah.

"Ikut Papa sama Mama pulang, Nak. Kita tak ada masalah kalau kamu kembali, kita justru bahagia kamu pulang," seru Sandra.

"Tapi Ma–"

"Benar, kata Mama. Kita pulang besok, kita mulai semuanya dari awal lagi," sahut Syamsuddin.

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang