20

1.5K 59 1
                                    

"Kamu!" seru Nadhira. Melihat Syam sudah ada di depan pintu, bersama kakeknya.

"Dhira, Syam ke sini niih, ajak dia masuk rumah, Dede masih ada urusan di ladang," ucap Ali pada cucunya.

"I-iya ... Dede," sahut Nadhira. Setelah Ali berpamitan pada Syam juga Nadhira, ia kembali lagi ke ladang.

Melihat kakeknya sudah jauh, Nadhira mendengus kesal kepada Syam. Karena peristiwa dua hari lalu, ditambah lagi Syam menyusulnya ke kampung.

"Kakak, kita jadi outing, kan?" tanya salah satu anak, menarik-narik ujung kerudung yang ia pakai.

"Jadi, sebentar, ya sayang." Nadhira mengelus pipi anak itu. Kemudian menarik lengan Syam, untuk masuk ke dalam rumah. Sementara di halaman samping, penuh dengan anak-anak.

"Saya kan sudah bilang, cuti tiga hari. Ini baru dapat dua hari, loh," ucap Nadhira.

"Iya ... Cepetan pulang makanya, banyak pekerjaan yang nunggu kamu," cicit Syam. Beralasan, agar ia tak terlihat menyedihkan ketika Nadhira tak ada di sampingnya.

"Nggak! Orang cutinya tiga hari, gaji saya dipotongnya tiga hari." Nadhira membulatkan mulutnya seperti donat. Dan mendapat decisan dari Syam.

"Perhitungan banget sih!"

"Iyalah,"

"Besok saya ganti tiga kali lipat," ucap Syam.

"Lima kali lipat," sahut Nadhira. Memainkan kedua alisnya.

"Cih! Tiga kali lipat," tolak Syam.

"Lima kali lipat." Nadhira masih tetap pada pendiriannya.

"Empat kali lipat atau tidak sama sekali,"

"Oke, deal," sahut Nadhira sesegera mungkin, tidak mau melewatkan kesempatan untuk mendapat gaji harian empat kali lipatnya.

"Nasib punya bini matre, disuruh pulang ngurusin suaminya malah minta bayaran double, berkali-kali lipat pula," gerutu Syam. Memanyunkan bibirnya.

"Dih! Salah sendiri kenapa nyusulin ke sini," sanggah Nadhira.

"Kamu nggak ada niatan buat minta maaf gitu sama saya?" celetuk Nadhira.

"Ngapain saya minta maaf?" tanggapan Syam membuat Nadhira memejamkan matanya sejenak, menahan kesal.

"Susah sih emang, kalau udah tuan muda calon CEO yang nggak mau disalahin dan merasa benar terus," sindir Nadhira. Sembari membuatnya minum untuk suaminya.

Syam tersenyum tipis, tingkah Nadhira yang seperti ini membuat Syam merasa, kalau istrinya memang unik dan berbeda dengan yang lain. Nadhira selalu menjadi dirinya sendiri, dan tak suka basa basi. Syam menghampiri Nadhira, berdiri di sampingnya dan sedikit mencondongkan kepalanya tepat di telinga Nadhira.

"Maaf, sudah marahin kamu kemarin, " bisik Syam. Membuat Nadhira tersipu.

"Apa, apa apa? Nggak dengar," goda Nadhira. Sengaja mendekatkan telinganya ke arah Syam.

"Cih!" Syam berdecis, kesal.

"Iih, apa? Ulang sekali lagi," cicit Nadhira.

"Kamu selain matre juga Bu*eg ya, astagaaaa,"

"Ya udah, nggak mau pulang kalau gitu," sahut Nadhira. Dengan ekspresi jailnya.

"I-iya iya, Dhira ... Saya minta maaf, sudah marahin kamu kemarin, kita pulang ya, hari ini," ucap Syam. Mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.

"Uummm kiyowo," cicit Nadhira. Mengelus kedua pipi suaminya.

Membuat Syam merasakan debaran jantungnya mulai cepat, rona merah pada pipinya terlihat jelas, karena kulit putih miliknya.

"Aigoo ... Jinjja." Syam melepas tangan Nadhira dari kedua pipinya.

"Anak-anak di depan, pada ngapain?" Syam mengalihkan pembicaraan agar detak jantungnya kembali normal.

"Astagfirullahal'azhim, Saya lupa, mau ajak mereka jalan-jalan lintas kampung," sahut Nadhira. Menepuk jidatnya.

"Lintas kampung?" Syam mengernyitkan dahinya.

"Minum ini dulu aja, terus kamu ikut saya." Nadhira menyodorkan segelas air dingin. Karena kopi yang ia buat Syam masih panas.

"Nggak, orang saya mau minum kopi," tolak Syam.

"Aduh ... Itu masih panas, nanti saya buatkan lagi, cepat! Keburu terik nih, kasihan anak-anak," bujuk Nadhira.

Syam tidak ada pilihan lain, selain meminum segelas air dingin yang diberikan Nadhira padanya. Setelah selesai minum, Nadhira mengajak pasukan kurcacinya untuk jalan-jalan.  

"Wuah ... Budhe Siti ngapain tuh?" celetuk Nadhira, melihat tetangganya mendorong gerobak berisi rongsokan, dan terlihat agak kesusahan, karena berat.

"Budhe Siti kayaknya keberatan deh, Kak Dhira," cicit salah satu anak.

"Terus kalau lihat kayak gitu, kita harus ngapain?"

Nadhira memicingkan mata dan tersenyum tipis, seoalah tahu apa yang dipikirkan Nadhira, anak-anak yang berjumlah belasan itu langsung menyerbu Budhe Siti, dan mendorong  gerobak miliknya, sampai ke pengepul.

Semua manusia mempunyai hati nurani yang bersih, tetapi saat kadang  saat manusia itu menemui hal yang tak menyenangkan dirinya, ia akan menolaknya sepihak, padahal ia tidak tahu ada kebaikan di dalam hal yang mereka anggap tidak baik itu.

Kadang, manusia enggan untuk bersimpati atau mengubur empati dalam-dalam, ketika mereka sudah dikecewakan. Padahal ... Kehidupan ini bukan hanya tentangnya saja, melainkan tentang kita semua. Anak-anak masih polos dan bersih, untuk menumbuhkan rasa empati dan mengasahnya, kadang kita harus turun langsung ke lapangan. Agar mereka langsung mempraktekkan, karena pada dasarnya anak-anak adalah peniru ulung.

"Terima kasih, anak-anak, sudah bantu budhe dorong gerobak," ucap Budhe Siti.

"Sama-sama Budhe,"
"Sama-sama Budhe," jawab mereka bersahutan.

"Dhira, terima kasih, ya. Kamu memang hebat, bisa mengajarkan mereka adab–" Siti tak henti-hentinya memuji Nadhira, membuat Nadhira segan. Karena Syam terus menatapnya penuh kagum.

"MasyaaAllah Budhe, sudah sudah. Kita mau lanjut lagi budhe, budhe bisa sendiri pulangnya?" tanya Nadhira mengalihkan pembicaraan.

"Bisa, bisa bisa. Sekali lagi terima kasih ya, Dhira," ucap Siti.

Setelah berpamitan dengan Budhe Siti, Nadhira dan Syam, seperti mengasuh anak-anaknya sendiri. Mereka memperlakukan anak-anak dengan baik, tak jarang Syam mengajak mereka untuk bercanda. Syam tak memerlukan waktu lama untuk akrab dengan anak-anak.

"Ternyata kulkas berjalan ini tak sedingin yang aku kira, sebenarnya dia orang yang hangat. Hah ... Beruntung banget Alexa dicintai sama laki-laki ini," gumam Nadhira dalam hati. Mengagumi suaminya sendiri, juga menertawakan dirinya sendiri, karena menikah dengan pria yang nggak pernah bisa mencintainya. Ia kalah telak dengan Alexa.

"Hoy! Ngalamun apa?" sahut Syam.

Mereka berjalan santai, menuju rumah mereka, satu persatu anak-anak diantar pulang oleh Syam juga Nadhira.

"Enggak, enggak ngalamunin apa-apa kok, by the way ... Kamu ternyata nggak sedingin yang saya kira, ya. Saya pikir kamu–" kata-kata Nadhira menggantung di udara, takut kalau akan menyinggung Syam, dan membuat pria di sampingnya murka lagi.

"Seperti kulkas berjalan, maksud kamu?" sahut Syam.

"Kok kamu tahu?" Cecar Nadhira.

"Dede cerita, kalau kemarin kamu mengadu sama beliau, suami sendiri disebut kulkas berjalan," protes Syam. Tidak terima dengan julukan yang Nadhira sematkan kepadanya.

"Orang emang kenyataannya begitu," bela Nadhira.

"Iih." Syam menjewer telinga Nadhira.

"A-aah, sakit," keluh Nadhira.

"Makanya, jangan nakal jadi istri," cicit Syam.

"Jadi, udah diakui sebagai istri nih? Udah mulai cinta beluum?" cecar Nadhira. Tersenyum getir. Meskipun dia tahu, Syam tak akan pernah menerimanya sebagai istri, apalagi mencintainya.

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang