40

1.3K 30 1
                                    

"Kamu dibayar untuk kerja! Bukan untuk berduaan sama kekasih masa lalu kamu, o-oh ... Kamu tadi dilamar, kan? Gimana? Kamu terima dong?" Sindir Syam. Menekan kata terima diakhir kalimat. Senyum merendahkan terulas pada wajahnya.

"Kamu ngomong apa sih?"

"Aaarrrgghh! Dasar jal*ng!" Maki Syam.

Plak!

Tamparan keras mendarat ke pipi Syam, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Nadhira terpancing emosinya.

"Jaga ya, omongan kamu! Asal kamu tahu, saya tidak menerima lamaran Hasan, dan saya bilang sama dia, kalau saya sudah menikah dengan kamu!" Pekik Nadhira. Meninggalkan ruangan.

Nadhira cepat-cepat meninggalkan kantor, entah kemana kakinya membawanya pergi, yang terpikirkan saat ini adalah menelepon Nia, sahabatnya.

"Halo! Assalamu'alaikum," ucap Nadhira di seberang telepon dengan suara parau, karena menangis.

"Waalaikumussalam, Dhir, lu kenapa?" tanya Nia.

"Sy-Syam Ni." Nadhira menutup mulutnya, meskipun Nia tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang.

"Oke, lu dimana? Gue jemput, ya?"

"Nggak usah, gue ke rumah lu ya, kunci masih ada di tempat biasa, kan?"

"Iya, gue lagi di luar ini, sepuluh menit lagi gue sampai rumah,"

"Oke, gue juga sebentar lagi sampai rumah lu, ya udah, gue tutup ya,"

"Iya, hati-hati. Jangan meleng, awas aja!" Nia memonyongkan bibirnya, meskipun Nadhira tidak tahu.

Sepanjang perjalanan, air bening yang tak ingin ia keluarkan, terus saja keluar tanpa persetujuannya. Entah mengapa, kali ini hatinya sakit sekali. Umpatan yang beberapa bulan terakhir ini Nadhira tak dengar, sekarang keluar tanpa di minta. Ia pikir Syam sudah berubah, ia pikir pandangan Syam padanya sudah berubah. Namun, ternyata julukan "jal*ng" masih saja tersemat pada dirinya.

"Niaaaa," panggil Nadhira setengah berteriak. Baru saja sampai di rumah Nia. Melihat mobil milik sahabatnya sudah terparkir di halaman rumah.

Nia membuka pintu, merentangkan kedua tangan, menyambut sahabatnya yang butuh dekapan hangat saat ini.

"Are you okay?" Tanya Nia. Menepuk, dan mengelus punggung sahabatnya.

"No, I'm not okay. Hati gue sakit banget, Nia," jawab Nadhira. Menggelengkan kepalanya yang bertumpu bahu sahabatnya.

"Ya udah, masuk dulu, yuk. Cerita di dalam," ajak Nia. Melepas pelukannya, mengalungkan tangannya ke lengan sahabatnya.

Tanpa diminta, Nadhira mengambil posisi paling nyaman untuk berbaring di sofa. Sedangkan Nia mengambilkan air dingin, dan beberapa cemilan, untuk mereka berdua. Menemani mereka bercerita.

"Gimana tadi ceritanya?" Sergah Nia.

"Jadi, tadi pagi tuh kita berangkat dari rumah baik-baik, terus sampai kantor Alexa datang–"

Nadhira menceritakan semua kejadian, yang membuat dirinya sekarang merasa sendiri, berjuang mempertahankan pernikahan sendiri.

"Alexa cewek seperti apa sih? Sampai Syam tergila-gila gitu sama dia, lu nggak bilang kalau dia sepupu lu?"

"Enggak, gue malas berdebat dengan orang-orang macam dia, dan nyokapnya, Ni,"

"Lu mah jadi orang malesan, sekali-kali mereka kasih pelajaran, biar nggak menindas orang lain terus, perusahaan bangkrut saja gaya masih sok ngartis, kesel gue lama-lama dengar curhatan lu," ujar Nia. Bersungut-sungut.

"Iya ya, kenapa jadi lu yang paling emosi, seharusnya kan gue," cicit Nadhira.

"Udah, gue tahu obat dari masalah lu ini,"

"Apa?" Sergah Nadhira.

"Kita shopping," ucap Nia. Mengangkat kedua tangannya ke udara. Kegirangan.

"Nyesel gue curhat sama lu,"

"Alah Dhira, nggak selalu loh kita shopping bareng,"

"Enggak selalu, terus dua Minggu lalu, yang telepon gue buat ditemenin shopping siapa? Alexa?" Sindir Nadhira. Yang mendapat kekehan dari Nia.

"Ayo shoping, ya ya ya." Nia masih merayu sahabatnya.

"Okelah okelah,"

"Yeeaayy!"

Nia meraih kedua tangan Nadhira, menariknya untuk bangkit, secepat itu mood Nadhira kembali, kalau sudah curhat dengan Nia. Nia selalu punya cara sendiri untuk menghibur Nadhira.
**

"Shopping!" Pekik Nia.

"Bahagia sekali ya anda," ucap Nadhira nyinyir, diikut kekehan keduanya.

"Iya dong, bestie." Nia mengecup pipi Nadhira sekilas. Kemudian menghambur ke jajaran baju yang di display.

"Ini bagus, nggak?"
"Dhira, cantik, 'kan?"

Sesekali Nadhira mengacungkan jempolnya, sesekali Nadhira menggelengkan kepalanya pelan, tanda tidak setuju. Nadhira juga memilih beberapa baju untuknya berangkat ke kantor.

"Dhira, kamu harus ganti penampilan kamu, jangan sampai kalah sama Alexa Alexa itu," cetus Nia. Memberikan beberapa helai baju agar di coba Nadhira.

"Serius, ini bukan gue banget, Ni," protes Nadhira.

"Udah, diem, pokoknya gue nggak rela, kalau sahabat gue kalah dari perempuan itu,"

"Tapi, Ni,"

"Sssttt!" Mengacungkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Nadhira mendengus kesal, tetapi tetap mencoba setumpuk baju yang ada di dekapannya.

Nadhira, keluar masuk ruang ganti, hampir semua baju mendapatkan persetujuan dari Nia.
**

"Cantik banget!"

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang