09

1.2K 55 1
                                    

Waktu sudah menunjukkan jam pulang kantor, Nadhira bergegas mengemasi barang-barangnya. Syam yang melihat istrinya mulai berkemas, memberikannya setumpuk berkas di meja Nadhira.

Bruukk!

Bunyi tumpukan berkas, yang diletakkan kasar di meja Nadhira. Membuat Nadhira kaget.

"Kerjakan ini, Saya butuh berkas ini untuk lusa," ucap Syam dingin.

"Oke oke, besok saya kerjakan tuan muda." Nadhira membuat bulatan dengan jari telunjuk dan ibu jari yang disatukan.

"Sekarang!" Sergah Syam.

"Nggak! Saya ada janji sama Hasan." Nadhira sudah menenteng tasnya, dan bersiap melangkahkan kaki untuk keluar ruangan. Syam menahan lengan Nadhira, membuat pemiliknya memberhentikan langkahnya dan berbalik menatap Syam.

"Apalagi?" Keluh Nadhira.

"Jangan pergi," ucap Syam lembut.

"Nggak bisa, saya harus pergi, janji adalah utang Mas," jelas Nadhira.

Syam mendekatkan diri pada Nadhira. Melingkarkan tangannya ke pinggang wanita yang telah sah menjadi istrinya, memeluk Nadhira dari belakang. Menyandarkan kepalanya di bahu wanitanya.

"Jangan pergi, bukannya balasan untuk istri yang nurut sama suami itu surga? Emangnya kamu nggak mau surga?" ujar Syam. Pria itu menghirup aroma tubuh wanitanya, di sana masih tertinggal aroma Lily yang semakin memudar.

"T-tapi ... Mas," sanggah Nadhira.

Bukannya menjawab, Syam malah semakin erat memeluk tubuh Nadhira, membalikkan tubuh Nadhira untuk menghadapnya. Perlahan mendesak tubuh mungil itu untuk mundur dan bersandar pada tembok.

Syam mengusap bibir Nadhira dengan ibu jarinya. Membuat Nadhira memejamkan matanya. Awalnya Nadhira ingin segera menghindar, tetapi tangannya malah bergerak mengalung pada leher pria yang menikahinya beberapa minggu lalu.

Nafas Syam bisa Nadhira rasakan. Pria itu semakin mendekatkan wajahnya, memangkas jarak keduanya. Nadhira memejamkan matanya, mengikuti apa yang diinginkan suaminya.

"Kamu nggak akan pergi menemui laki-laki itu, 'kan?" Kini dahi mereka telah bersatu, dan hanya menyisakan beberapa centi saja.

Nadhira mengangguk perlahan. Namun, masih membiarkan tangan dan dahinya tetap merapat pada Syam. Syam mengambil ponsel Nadhira dan telah menelepon Hasan dengan ponsel milik Nadhira, menempelkan benda gepeng itu ke telinga Nadhira.

"Halo ... Assalamu'alaikum," sapa orang yang ada di seberang. Yang tak lain adalah Hasan.

"Ha-halo ... Waalaikumussalam Hasan. Maaf aku ada lembur hari ini, jadi kita belum bisa ketemu," ucap Nadhira.

"O-oh ... Iya nggak papa Kok, besok-besok saja, kalau gitu aku mau balik ke kamar aja, selamat lembur Dhira,"

"Iya ... Makasih ya,"

Setelah mengucapkan salam, Syam menutup teleponnya. Dan mengembalikan ponsel itu ke tas Nadhira. Pasangan suami istri ini masih saja menempel seperti prangko. Syam tersenyum penuh kemenangan.

"Kerjakan berkas itu," ucap Syam. Melepaskan tangannya dari pinggang Nadhira dan kembali ke mejanya.

"Ch! Ma ... Mas, nggak romantis banget sih!" Nadhira berdecak kesal. Karena di kerjain sama Syam. Ia kira akan mendapatkan ciuman dari suaminya, seperti drama-drama Korea yang ia tonton selepas kerja. Untuk melepaskan penat.

Nadhira duduk kembali ke tempat kerjanya, istirahat hanya untuk melakukan kewajibannya dan makan malam. Syam masih setia menunggu istrinya mengerjakan dokumen yang dibutuhkan untuk meeting besok lusa.

"Hoam." Nadhira menguap dan beristighfar kemudian.

Syam melihat jam di tangannya, sudah menunjukkan pukul 19.15 WIB. Ia menghampiri Nadhira, dan mengajaknya untuk pulang.

"Diteruskan besok lagi saja, kita pulang." Nadhira hanya melihatnya kesal.

"Ayo! Kamu mau tidur disini?"

Lagi-lagi wanita itu tak acuh melihat suaminya. Namun, tangannya bergerak membereskan mejanya dan menyimpan file yang sudah ia garap.

"Awas aja, kalau sampai lusa apa yang  Saya kerjakan enggak di pakai," ancam Nadhira. Mengingat beberapa waktu lalu. Apa yang dikerjakan tidak di pakai sama sekali oleh Syam.

"Dendaman banget!" Sindir Syam.

"Bukan dendaman, cuma memperingatkan, ya kali orang udah capek-capek enggak di apresiasi,"

"Hm," jawab Syam. Yang mendapat decakan kesal dari Nadhira.
**

Ibu kota memang selalu macet jam-jam pagi, kalau tidak segera berangkat, akan terjebak dengan padatnya orang-orang yang beraktivitas. Ada yang berangkat sekolah, ada yang berangkat kerja.

"Syam, Mama nanti mau ke kantor, oke," cetus Sandra.

"Ngapain, Ma?"

"Ada deh, yang jelas tidak menemui perempuan kampung yang sekarang ada di samping kamu," ejek Sandra. Sorot matanya tertuju pada Nadhira.

Namun, Nadhira masih saja bergeming, tidak mengambil pusing dengan apa yang Sandra katakan. Ini bukan yang pertama Nadhira mendapat perlakuan seperti ini, sejak ia datang, Sandra memang tidak suka dengannya.

"Dia istri Syam, Ma," bela Syam. Melingkarkan tangannya ke bahu Nadhira. Nadhira yang mendapat pembelaan dari suaminya. Tersenyum canggung ke arah Sandra dan Syamsuddin.

"Bu Tia, masak lebih sedikit nanti malam, tamu saya mau datang," ucap Sandra pada Bu Tia yang berada di dapur.

"Baik nyonya," jawab Tia.

Nadhira sudah selesai makan, seperti biasa, Nadhira berangkat dengan Syam. Syamsuddin sudah berangkat lebih dulu, karena harus mengecek resort cabang di daerah lain.

Cciiittt!

Suara derit mobil yang beradu dengan aspal, mobil Syam berhenti tiba-tiba. Lagi-lagi Syam menurunkannya di trotoar, membuat Nadhira harus menunggu bus lagi.

"Turun!" Perintah Syam.

"Enggak, kamu kan udah bilang mau antar saya sampai kantor," tolak Nadhira.

"Saya bilang turun!" Sentak Syam.

"Lain kali, kalau enggak niat ngajak berangkat bareng, bilang dari awal! Saya bisa pakai motor!" Sentak Nadhira. Tak kalah dingin dengan Syam.

Nadhira menuruni mobil dengan perasaan kesal, menutup pintu setengah dengan keras, sampai menghasilkan suara.

"Aaaaarrrrggghh! Ma-eum-i eobs da!" (dasar tidak punya hati) umpat Nadhira. Nadhira berjalan menyusuri trotoar, menuju halte bus terdekat.

Tin tin tin

Mau nggak mau Nadhira menoleh ke belakang, ada mobil sport yang perlahan mengikutinya dan Nadhira menghentikan langkahnya.

"Dhira, kamu jalan?" tanya pria di balik kemudi. Siapa lagi kalau bukan Hasan.

"Iya, nih. Mau nunggu bus di halte sana." Tunjuk Nadhira pada Halte yang tak jauh tempat ia berdiri.

"Bareng aku aja," ajak Hasan.

"Nggak papa emang?"

"Enggak papa dong, masuk." Pria itu membukakan pintu untuk Nadhira.

"Seenggaknya gue nggak nunggu lama deh di halte," gumam Nadhira dalam hati.

Sepanjang perjalanan mereka berbincang tentang banyak hal, terutama kisah mereka berdua, yang harus terpisah, padahal mereka sama-sama suka di masa lalu.

Sesampainya di kantor, Nadhira mengucapkan terima kasih pada Hasan. Setelah pria itu memarkirkan mobilnya di tempat yang semestinya, Nadhira memasuki gedung tinggi itu.

"Saya nurunin kamu buat naik bus, bukan tebar pesona sama pria lain," cetus Syam. muncul dari belakang pintu utama yang sudah terbuka lebar. Nadhira menghela nafas kasar.

"Ada lagi?" Nadhira memutar bola matanya malas. Dan mendapat decakan dari Syam.

"Susah, susah Dede membesarkan kamu, disini cuma jadi perempuan murahan!" Cela Syam pada Nadhira.

NADHIRA CHAIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang