"aaarrrgghh, dasar laki-laki nggak berguna!" Umpat Rosa.
"Mah, kenapa? Kenapa marah-marah?" Tanya Alexa baru saja masuk rumah.
"Papa kamu, papa kamu, sa," ucap Rosa. Sambil berderai air mata.
Alexa menghampiri mamanya, ia rangkul mamanya dan mendudukkan nya ke sofa terdekat.
"Papa kenapa, Ma?" Tanya Alexa.
"Papa kamu menikah lagi," jawab Rosa. Tangisan Rosa pecah, dipelukan Alexa.
Rosa memberikan surat pemberitahuan penyitaan rumah, karena sudah jatuh tempo untuk membayar semua utang-utang suaminya. Mereka hanya diberikan waktu satu Minggu untuk berkemas, baju dan barang-barang pribadi saja. Semua peralatan rumah tangga, tidak boleh dibawa, karena sudah termasuk barang penyitaan.
"Kita mau tinggal dimana, Sa," adu Rosa. Ditengah Isak tangisnya.
Alexa meremas kertas pemberitahuan itu, upaya untuk mendapatkan uang dari Syam sudah tak mungkin lagi, karena yang akan ia lawan adalah Sandra. Satu-satunya cara adalah meminta bagian dari warisan kakeknya untuk bertahan hidup di kota.
"Besok kita ke rumah kakek, minta jatah warisan mama," sahut Alexa.
"Sa, kakek tidak akan memberikan itu,"
"Terus mama mau tinggal di kampung? Kalau Mama mau ayo kita berkemas, pindah ke kampung," sahut Alexa sedikit meninggikan suaranya.
Otaknya berjejal dengan permasalahan hidup, tabungannya hanya tersisa beberapa ratus ribu saja. Ia harus kembali ke teman ayahnya yang hidung belang, untuk mendapatkan uang, untuk bertahan hidup.
"Sa, pergi dulu." Alexa melepaskan pelukannya.
"Mau kemana kamu, Sa?" Tanya Rosa.
"Ketemu Tuan David, Ma. Siapa tahu dari dia kita dapat uang lagi, buat tambah kita bertahan hidup di kota,"
"Kita ke kampung dulu, Sa, baru ketemu Tuan David," ucap Rosa. Dengan tatapan memohon.
Melihat kondisi mamanya yang sedang hancur, Alexa mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan David.
"Oke, Ma. Sa di rumah, temani Mama." Alexa kembali duduk di samping Rosa.
*"Tantee, minta tolong bawain pisang yang tadi dibawa Dede sama Om Ahmad dong, Dhira mau bikin kripik," teriak Nadhira.
Satu hari sebelum acara penting untuk keluarga Syamsuddin, peringatan karena sudah sepuluh tahun berkiprah di dunia pariwisata dan kebudayaan. Namun, Nadhira masih enggan untuk pulang ke rumah mertuanya.
Mungkin, ini yang ditakutkan oleh pada wanita lajang di luaran sana, kalau satu atap dengan ibu mertua. Selalu mendapatkan komentar pedas atau enteng lidah. Padahal sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyenangkan hati ibu mertua.
Wajar bila ibu mertua menginginkan menantu yang perfect menurutnya. Karena dia adalah cinta pertama bagi anak laki-laki, sampai tutup usia nanti. Beda dengan perempuan, ayahnya akan tetap menjadi cinta pertama untuknya, dan tanggung jawab seorang ayah untuk memikul kebutuhan juga dosanya anak perempuannya hanya sampai anak perempuan itu menikah, dan semua tanggung jawabnya akan berpindah kepada suaminya.
Nadhira mencoba mencari, dan mengingat semua kebaikan dari ibu mertuanya, tetapi ia gagal, semua perkataan dan tidak diterimanya dikeluarga suaminya, membuatnya tak percaya diri juga pesimis sekarang.
Entah mengapa pilihan untuk berpisah selalu melintas di kepalanya saat ini. Mungkin, menjalani kehidupan ini sendiri lebih baik, daripada harus menyakiti batinnya setiap hari. Mendengar apa yang tidak mau ia dengar, melakukan apa yang tidak ia sukai, dan pura-pura baik-baik saja.
"Tantee," panggil Nadhira sekali lagi. Karena orang yang ia panggil tak kunjung datang membawakan bahan yang ia butuhkan sekarang. Racikan bumbu sudah siap untuk membuat kripik pisang homemade ala Nadhira.
"Ish, Tante nih, dipanggil-panggil juga, nggak nyahut-nyahut, kemana sih," gerutu Nadhira. Menyudahi aktivitasnya di dapur, mencuci tangan hendak mengambil pisang sendiri.
"Bibirnya kurang panjang tuh," sahut seseorang.
"Kek kenal suaranya," gumam Nadhira lirih.
"Nggak, nggak mungkin, ngapain dia ke sini, orang dia udah ada Alexa," tambah Nadhira.
"Siapa yang punya Alexa?"
Syam sudah berada di samping Nadhira, tangan satunya membawa pisang hasil panen, sedangkan tangan satunya ia pakai untuk bertumpu agar tak jatuh ketika memiringkan tubuhnya.
"Astagfirullahal'azhim," sahut Nadhira. Kaget.
"Ngapain kamu ke sini? Iih, pulang sana," usir Nadhira. Padahal dalam hatinya bahagia bukan main, suaminya datang menjemputnya.
Syam meletakkan pisang yang ia bawa, kemudian mencuci kedua tangannya, untuk menjaga kebersihan. Kemudian mendekat ke arah Nadhira.
"Ngapain sih, deket-deket, iih," sergah Nadhira. Masih menjaga ketat harga dirinya.
Benar, kata laki-laki di luaran sana, bahwa makhluk Tuhan yang paling bikin bingung adalah wanita. Dibujuk salah, nggak dibujuk semakin salah. Kata lainnya yang harus dipahami pria adalah ketika wanita bilang 'enggak usah' saat ditawari 'mau dibawain apa?' maka jawaban sebenarnya adalah mau.
Begitulah wanita, suka dengan hal-hal kecil yang sifatnya kejutan. Karena ia merasa dirinya diperhatikan, pada dasarnya wanita hanya butuh kenyamanan, juga perhatian, dan pria yang baik akan memperlakukan wanitanya seperti ratu.
Begitupun dengan islam. Agama yang sangat, sangat menjaga perempuan, adanya perintah untuk menutup aurat, adalah agar perempuan tidak dilihat, disentuh sembarangan oleh laki-laki yang bukan mahramnya.
Karena perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Mengapa begitu? Saat seorang ayah berhasil berhasil dengan didikannya pada anak perempuannya, sesungguhnya ia sedang menyiapkan generasi-generasi yang berakhlak mulia, juga cerdas.
"Pulang, yuk! Aku kesepian di rumah," bujuk Syam.
"Nggak," jawab Nadhira. Singkat.
"Besok acara penting untuk keluarga kita, aku mau kamu menemani aku," ujar Syam. Belum juga Nadhira menjawab ajakannya, ia sudah menambahkan rayuannya.
"Sayang, istri shalihahku, ratu bidadari surgaku, aku mohon pulang yuk sama aku," tambah Syam. Kedua tangannya meraih tangan Nadhira.
Rayuan Syam membuat Nadhira geli sendiri, pasalnya pria yang ada dihadapannya sekarang bukan tipe pria romantis, melainkan pria dingin sedingin kulkas empat puluh pintu.
"Dhira, kamu bicara sama siapa?" Sahut Ali. Terbatuk-batuk, karena kondisi tubuh yang belum sehat betul.
"E ee, ini Dee, bukan siapa-siapa kok," sergah Nadhira. Yang mendapat kecupan singkat di bibirnya.
"Hukuman kamu, karena sudah bohong sama Dede," ucap Syam. Tanpa bersalah, mengerlingkan sebelah matanya, dan kemudian menemukan kakeknya.
Nadhira masih berdiri mematung, karena aksi suaminya, bukan kecupan singkat yang ingin ia dapatkan, tetapi permohonan maaf, yang ingin ia dengar terlebih dahulu. Nadhira mendengus kesal, sesaat kemudian tersenyum malu sembari menyentuh bibirnya karena ingat aksi suaminya.
"Dede, Assalamu'alaikum," sapa Syam. Meraih tangan Ali. Kemudian mencium punggung tangan laki-laki senja itu.
"Waalaikumussalam, Syam. Kapan kamu datang?" Ali menepuk-nepuk pundak Syam. Suara batuk kecil, yang cukup intens membuat Syam khawatir dengan kakeknya.
"Baru saja Dede, tadi ke dapur nyari Dhira, Dede sudah ke dokter belum?" Syam menuntun kakeknya duduk ke kursi yang ada di ruang tamu.
"Sudah, Dede sudah tua, Syam. Wajar, sakit-sakitan,"
"Dede nggak boleh ngomong gitu dong, Dede insyaaAllah segera sehat,"
"Aamiin," sahut Ali.
Kedua pria beda generasi itu mengobrol selayaknya cucu dan kakek, apapun bisa mereka bincang-kan, seperti perempuan kalau sudah cerita.
*"Perempuan j*lang, jangan ikut campur, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NADHIRA CHAIRUNNISA
General FictionFOLLOW DULU YA BESTIE, SEBELUM BACA !! Hatur nuhun :) Nadhira Chairunnisa, gadis dengan mata hazel, yang dibesarkan oleh kakeknya. Kecelakaan besar membuat Nadhira menjadi yatim piatu. Kehadirannya di rumah kakeknya mendapatkan penolakan dari anak...