Chapter 25

88.1K 4.7K 1.8K
                                    

2400 kata = 3jam setengah 🥂
Happy reading!

****

"Cassia, makan malammu, Sayang. Kemari!"

"Iya, Ibu. Sebentar."

Dari dalam kamar Ruth menyahut. Satu hari ini ia hanya bermalas-malasan setelah pulang mengajar.

Berguling-guling, bolak-balik di atas ranjang dengan rambutnya yang ia biarkan tergerai begitu saja. Mandi pun tadi saat jam empat. Sibuk bermain ponsel dan terus mengirimi Hunter banyak pesan namun tidak pria itu balas sama sekali.

"Sebenarnya sedang apa dia. Dari pagi tidak meneleponku, tidak juga membalas pesanku. Sesibuk apa dirinya," gerundel Ruth. Kesal sendiri melihat pesan WhatsAppnya yang hanya centang dua abu-abu.

"Cassia, kau ini ingin Ibu cubit atau apa? Cepat kemari, Sayang. Makan supmu selagi hangat," teriak Rumi kembali. Sudah berapa kali ia memanggil Ruth.

Ruth tertawa mendengar Rumi yang mulai jengkel. "Iya, Ibu, Iya." Bangkitlah perempuan itu dari ranjangnya. Keluar kamar dengan rambut merahnya yang berantakan seperti singa.

Memakai celana kain pendek sepaha juga kaos over size berwarna pink. Jadilah celananya tidak terlihat dan tubuhnya tenggelam bersama kaos over size tersebut.

"Sudah bermalas-malasannya? Masih kesal Tuan Hunter belum membalas pesanmu?" tanya Rumi sembari berkacak pinggang dan menggenggam sehelai kain lap.

Bibir Ruth mengerucut. "Entahlah. Sepertinya Hunter benar-benar sedang sibuk sampai dia tidak sempat membalas pesanku." Perempuan itu mengadu.

"Nanti akan dia balas. Habiskan makan malammu lalu istirahat. Atau tidak bantu Ibu membuat kue," kata Rumi lantas Ruth menyenggut.

"Besok aku tidak ada jam mengajar. Boleh kubantu Ibu berjualan kue?" Ruth mulai memakan supnya perlahan.

"Tidak usah. Apa kata orang nanti. Masa Ibu suruh anak Ibu yang berpendidikan tinggi ini berjualan kue," balas Rumi seraya mencuci piring.

Ruth menggeleng-geleng tidak setuju. "Bu, semakin berisi dan matang setangkai gandum, maka ia akan semakin merunduk rendah," lontar Ruth.

"Aku tidak boleh menjadi angkuh hanya karena aku seorang wanita berpendidikan. Cukup saja kutunjukkan keangkuhanku di depan Hunter. Itu pun karena memang dirinya harus diberi pelajaran." Ruth melanjutkan lantas menenggak setengah gelas air.

"Apa pun pembahasannya, tetaplah Tuan Hunter ujung-ujungnya," celetuk Rumi. Meledek putrinya yang ternyata akan menjilat ludah sendiri.

Yah, apa mau di kata. Ini memang kisah tentang kedua orang itu, Ruth dan Hunter. Bukan Ruth dan Limbad. Cukup kita pahami saja.

"Ck. Aku juga tidak tahu kenapa aku dapat kembali mencintainya seperti ini." Ruth berdecak.

"Bukan kembali mencintainya. Sedari dulu dan sedari awal, kau memang hanya mencintai Tuan Hunter seorang. Dia cinta pertamamu dan tidak mungkin dapat kau lupakan begitu saja. Ibu tahu, hanya saja Ibu diam. Lebih tepatnya berpura-pura percaya jika kau tidak lagi mencintai Tuan Hunter," jelas Rumi sembari tertawa pelan.

Begitulah ikatan seorang ibu dan anak. Menipulah semua orang di muka bumi ini, tetapi jangan sekali-kali kau menipu ibumu. Terkadang mereka tahu hanya saja berpura-pura tidak tahu. Seperti Ruth dan Rumi saat ini.

"Ya ... mau bagaimana lagi. Harus kuakui jika itu memang benar." Ruth pun mengaku.

"Wait. Kenapa dengan perutku? Astaga, aku ke kamar mandi sebentar." Cepat-cepat Ruth melarikan diri ke kamar mandi. Mendadak saja perutnya terasa begitu mulas.

RAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang