Chapter 37

53.8K 3K 462
                                    

Pagi itu, burung-burung liar dan semua penghuni hutan di sekitar Perseus Kingdom berkicau mendekati jendela kaca.

Terbang berhamburan seakan ikut menikmati permainan Violin Keegan yang menggema, terdengar ke seluruh sudut mansion mewah megah tersebut.

Pagi yang dingin dan berkabut. Permainan Violin Keegan yang syarat akan kesedihan kian menambah kabut luka di semua mata yang memperhatikannya.

Para pelayan, ajudan juga Perwira berdiri cukup jauh di belakang Keegan. Sendu teduh mereka memperhatikan berlian dingin tersebut yang mengeluarkan begitu tajam aura dinginnya.

Ia sudah amat dingin dan kini kian bertambah dingin. Entah sampai kapan Keegan akan seperti ini. Entah sampai kapan ia akan terus bersembunyi di balik kabut.

"Perwira, Prince Keegan belum sarapan sedari tadi. Menu-menunya sudah hampir dingin," ucap salah satu pelayan. Kembali setelah memeriksa suhu menu-menu sarapan yang telah mereka buatkan dengan sepenuh hati untuk Prince mereka.

"Biarkanlah. Tetaplah tunduk dan nikmati kesedihannya bersama-sama," balas Perwira itu, Matheo Sterling.

Di dekat jendela kaca, Keegan memejamkan mata seraya memainkan Violinnya. Ia gesek penuh akan perasaan senar-senar Violin tersebut. Menciptakan melodi indah dari satu lagi berjudul Sad Song.

Berdiri tegak dengan kaki sedikit terbuka. Keegan menikmati permainan Violinnya dengan mendalam. Ia datangkan perasaan sedih di hati semua orang yang bersamanya saat ini.

Melengking tiap gesekan senar Violinnya, ngilu pada ulu hati semua orang yang larut bersama melodi tersebut.

Berubah pelan kini permainan Keegan. Ia membuka matanya yang menyipit teduh, melihat ke luar pada beberapa ekor burung yang beterbangan di depannya. Di balik jendela kaca bening dan mereka berkicau.

Berhenti Keegan bermain Violin. Ia genggam gagang Violinnya pada tangan kiri pun busur Violin di tangan kanannya. Melihat ke beberapa bunga hias yang pada daunnya terdapat embun bening tergenang.

"Matheo!" panggil Keegan. Tegas gagah ia memanggil sang Perwira.

Matheo menghampiri. Berdiri di belakang Keegan namun ia tetap menundukkan kepalanya rendah melihat ke permukaan lantai.

"Yes, Prince!"

Dua orang pelayan berlari mendekati Keegan. Mereka ambil alih Violin dari Keegan saat pria tiga puluh satu tahun itu mengulurkan tangannya ke samping.

"Suruh para pelayan menyiapkan suit terbaik untukku," titah Keegan lantas berputar badan menghadap Matheo. Menyelipkan satu tangannya ke dalam saku celana.

"Hunter mengundangku untuk makan malam bersama di mansionnya pukul delapan malam nanti." Keegan melanjutkan.

Matheo menggeleng samar-samar. "Prince, jangan. Tidaklah benar mendatangi langsung musuh di rumah mereka."

Tanpa senyum pun dagu terangkat kecil Keegan melihat Matheo. "Mati di rumah musuh ialah tanda keberanian, Matheo. Tidak semua raja berani menghadiri undangan kematian secara langsung."

"Prince, kumohon. Janganlah kiranya kau meninggalkan kami. Kaulah alasan mengapa kami semua masih berada di dalam bangunan megah ini. Hanya karena kaulah kami semua bertahan di dalam hutan ini. Kumohon, jangan biarkan dengan sengaja kami kehilangan satu-satunya yang kami anggap begitu berharga," tutur Matheo. Memohon sampai-sampai ia bertekuk lutut di hadapan Keegan.

Pada akhirnya Keegan tersenyum tipis. Ia tarik sudut bibir cerahnya lantas memerintah Matheo untuk segera bangkit berdiri.

"Berhenti mengkhawatirkanku. Hunter hanya ingin mengajakku makan malam dan ... memperkenalkan istrinya kepadaku," kata Keegan.

RAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang