|✧*。☆゚happy reading.*・。⊰⊹ฺ|
Januar melangkah lesu. Tenaganya menguap, moodnya apalagi. Capek juga ternyata dimarahi banyak orang. Tiga puluh lima orang mahasiswa juga satu dosen, total tiga puluh enam.
Januar lelah dengar mereka bicara, diberi penjelasan pun tidak mau dengar dan hanya buat Januar capek sendiri saja. Januar ucapkan maaf, balasnya 'maaf kamu gak selesain semua ini!', yang akhirnya Januar pilih jadi robot pendengar saja. Diam dan mendengarkan. Tidak lakukan dan bicara apa-apa lagi.
Sudah dua hari dua malam Januar nggak pulang ke rumah, terus ditahan di kampus untuk selesaikan semua masalah yang jelas bukan dia pelakunya tapi dia yang terus ditekan untuk selesaikan.
Hhhh, Januar jadi menyesal terima permintaan buat jadi ketuplak proyek ini jika tau akhirnya seperti ini!
Dengan tenaga yang tersisa, Januar pesan taksi online. Januar terlalu lelah untuk pulang bawa motor sendiri, biar nanti Kawasaki hitam nya diambil Ayah ke kampus atau diantarkan temannya ke rumah.
"Atas nama Januar?" Kaca mobil bagian penumpang samping pengemudi terbuka, tampilkan supir taksi seumuran ayahnya.
"Iya pak," Januar langsung masuk dan sandarkan punggung. Mobil melaju, Januar pejamkan matanya sebentar. Demi Shiloh yang kelakuannya makin hari makin menjadi, Januar butuh banget tidur!
Selama di kampus tidurnya tidak teratur, hanya empat jam mungkin. Apalagi makan nya, terakhir yang diingat, Januar makan itu tadi malam. Sari roti dua bungkus, itu juga hasil paksaan Bagas sama Jo.
Dan Januar yakin, setelah ini dia pasti drop. Kepalanya berdenyut juga pening, suhu tubuhnya pun nggak bisa dibilang normal. Perutnya juga lumayan perih. Semoga saja Januar tumbangnya setelah sampai kasur.
Salah sih. Tapi Alhamdulillah Januar tepar waktu tubuhnya sentuh sofa. Matanya tertutup rapat, nafasnya teratur juga dengkuran halus terdengar. Januar jatuh tidur.
Dan sebagai adik yang baik, Vanilla bantu lepas sepatu juga kaos kakinya, bawakan selimut untuk menepis dingin sebab si Abang sudah tidak bisa dibangunkan untuk tidur dikamar.
Setelah selesai dengan Januar, Vanilla berjalan ke dapur. Berniat kembali melanjutkan kegiatannya membantu si adik menyiapkan makan malam.
"Aneth, Eza!" Si tengah panggil saudaranya yang kebetulan lewat, habis dari halaman belakang kayaknya.
Alis Anetha terangkat, mengekspresikan tanya pada wajahnya lalu berjalan mendekat dengan tangan menarik si bungsu.
"Jangan ke ruang tengah, di sini aja kalian bantu kita. Kalo ke sana jangan berisik! Kasian si Abang." Pesan penuh peringatan itu Vanilla lantunkan mengingat si sulung kembar dan bungsunya Khaiel itu jarang sekali berbicara di volume rendah. Jangan lupakan juga perdebatan tak berbobot yang sering terjadi diantara keduanya.
Jelas itu akan mengganggu istirahatnya si sulung.
"Okay." Anetha ambil tempat di kursi depan meja pantry.
"Nah, kalian bantu gue." Vanilla berikan pisau dan talenan, gak pula wortel, labu Siam juga kol sebagai bahan untuk adik dan kakaknya potong potong. "Yang bener ya sis?Jangan ribut juga. Kalo nggak, pisau daging masih tajem tuh buat iris daging manusia."
Senyumnya sih manis, malah terlihat imut di wajah cantik Vanilla. Tapi kesannya beda banget buat Anetha sama Shiloh. Lebih kari kata seram!
Sambil merinding dua orang yang diberi perintah itu langsung cepat-cepat lakukan tugasnya. Maklum, Anetha dan Shiloh masih sayang nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Khaiel: Unsent letters
General Fiction|End| Keseharian putra-putri menggemaskannya bapak Ali dan ibu Fara yang tidak selalu lancar dan datar. ------------------------------------------------- Jaehyun, Heejin, Nagyung, Chaeryeong, Yuna ------------------------------------------------- └...