🍇31: Diwawadian

102 17 27
                                    


|✧*。☆゚Happy Reading.*・。⊰⊹ฺ|



























"Selamat pagi ganteng!"

Sapaan ceria yang mengalun indah itu berbanding terbalik dengan nada yang masuk ke telinga si cowok.

Sumbang.

Polusi suara.

Muram.

Apalagi tau dari siapa suara itu berasal; gadis yang kini lagi pasang senyum semanis mungkin, nggak lupa matanya bulatnya yang berbinar cantik.

Shiloh Aeyza Khaiel.

Cewek yang si cowok hindari sebisa mungkin. Cantiknya sih masuk type si cowok, tapi kelakuannya yang nggak banget. Untung saja kuat mental, jika tidak psikiater sudah melambaikan tangan tanda selamat datang pada Jiwa.

"Gimana tidurnya semalem? Nyenyak nggak? Pasti nggak sih, soalnya gue gak telpon kan ya, gue sibuk girl's time sama mbak-mbak gue kemaren, jadi lupa telpon Lo." Shiloh punya kebiasaan telpon Jiwa sebelum tidur, tapi ya terputus sebelum tersambung. Mana mau jiwa di recoki Shiloh sebelum tidur, yang ada nanti dia mimpi buruk lagi.

"Yang ada gue sangat sangat bersyukur."

"Nanti malem gue telpon deh ya, janji! Gue bakal sempetin buat hubungi Lo sebelum tidur, biar ayang ganteng gue ini bobo nyenyak dan mimpi indah. Sekarang jangan ngambek dong, gue kasih flying kiss buat Lo, gratis, soalnya kalo kiss beneran bisa dibantai sama pak Ali gue."

"Hush hush, gue abis wudhu buat sholat Dhuha bentar lagi, jadi dimohonkan kepada setan setan buat menjauh dari gue!"

Sarkas sih, dan secara nggak langsung Jiwa sebut Shiloh setan. Tapi ya namanya sudah kebal, mau dikatain macam  apa pun si gadis cuman ketawa-ketawa saja.

Shiloh lalu sejajarkan langkah dengan si jangkung, berjalan beriringan keluar kelas menuju lapangan, seperti kata Jiwa tadi, mereka akan sholat Dhuha berjamaah di lapang.

"Rajin banget sih udah wudhu aja, cocok sih buat jadi imam gue."

Si cowok tatap Shiloh horor, "mana Sudi."

"Jodoh kan nggak ada yang tau, Ji! Bisa aja suatu hari nanti Jiji jadi jodoh gue, kan ya?" Fyi, Jiji itu panggilan sayangnya Shiloh buat Jiwa. Jelas si cowok protes, pelafalan Jiji mirip kayak jijik.

"Amit-amit."

Wush.

Jiwa langsung ambil langkah seribu buat menjauh dari anak gadis gak tau malu, tukang buat onar dan bernama Shiloh itu.

Dan, Shiloh?

Si gadis cuman senyum aja liat Jiwa lari. Masih ada waktu lain kalau waktu ini sama dengan waktu lainnya; Jiwa kabur. Mati satu tumbuh seribu, itu pepatah yang si bungsu yakini. Kesempatan satu gagal, masih ada ribuan kesempatan lagi.

Mereka kan satu kelas, jadi pasti Shiloh punya banyak waktu buat deketin Jiwa, bahkan mungkin bisa nempelin terus selama di kelas. Jangan lupa mereka satu bangku. Tidak ada yang mau bertukar dengan Jiwa, buat si cowok mau gak mau terus bertahan berada di bangku yang sama dengan Shiloh. Hanya beberapa bulan lagi sebelum kenaikan kelas, semoga nanti kelas dua belas Jiwa bisa beda kelas.

"Woy, bocah gendeng! Stop senyum-senyum sekarang pergi ke lapangan!" Teriakan itu buat Shiloh merenggut sebal. Merusak suasana aja sih. Btw, yang teriak itu Vanilla, dia sedang bertugas.

"Iya, ish. Bentar dong."

"Cepet, Eza. Lari sana, ayo cepet!!"

"Sabar dong, mbak. Orang sabar balikan sama mantan tersayang nanti!" Si bungsu tersenyum lebar tanpa tahu bahaya akan segera mengintai.

The Khaiel: Unsent lettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang