🏷️35: Pringgandi Ngacala

75 15 8
                                    

|✧*。☆゚Happy Reading.*・。⊰⊹ฺ|






























Si tengah mengurung diri sejak pulang sekolah hingga siang hari di keesokan harinya yang kebetulan hari Sabtu itu. Jelas saja buat orang rumah khawatir.

Sudah semua anggota keluarga ketuk daun pintu kamar Vanilla, tapi si tengah masih enggan keluar ruang ternyaman itu, masih betah menyendiri untuk sementara.

Vanilla belum makan dari kemarin, parahnya lagi dia punya maag, jika kambuh kan bahaya, maka dengan berat hati Januar-sebagai Sulung pengganti ayah karena beliau belum pulang kembali bujuk Vanilla untuk keluar dan segera makan.

Si sulung ingin pastikan jika adiknya yang satu itu tidak apa-apa, tapi manusia satu di dalam sana tidak ada niatan membuka, jawabannya selalu saja "nanti, Abang. Nanti Nilla turun buat makan kok!"

Januar agak kesal, jadi dengan tidak lancang si sulung ambil kunci cadangan dan masuk kedalam kamar adik tengahnya.

Lampu mati total, tidak ada pencahayaan masuk bahkan jendela pun tertutup rapat gorden. Buku berserakan di dekat meja belajarnya. Sedangkan Vanilla sendiri tengah meringkuk di atas tempat tidurnya terbungkus selimut tebal.

Vanilla bukan tipe pelampias marah ke teriak atau marahin orang langsung. Si tengah itu lebih sering diam dan berakhir nangis dikamarnya malem-malem sampai capek dan ketiduran.

Begitu juga pagi ini. Bang Januar lihat mata Vanilla lumayan bengkak karena dijamin kemarin malam si gadis pasti menangis lumayan lama.

Si Abang tanpa basa-basi langsung tarik tangan Vanilla untuk bangun, bahkan sebelum gadis itu terbangun dari tidurnya. Yang ditarik jelas kaget, nyawanya seakan dipaksa sadar buat kepalanya bukan main pusing.

Bukannya apa-apa, tapi bang Januar menjadi agak emosi setelah lihat keadaan Vanilla sekarang, lumayan menyedihkan dan Januar tidak suka lihat adiknya seperti itu.

"Abang!" Si tengah tak sengaja membentak, siapa juga yang tidak marah waktu dibangunkan seperti tadi.

"Kenapa? Ini semua gara-gara kemaren, Nill?"

Vanilla gak jawab, bingung antara harus mengangguk atau menggeleng. Vanilla bukan marah karena tidak lulus, mungkin memang bukan rezekinya Vanilla di sana. Tapi Vanilla marah dan sedih karena reaksi orang orang terhadap itu.

Namun dengan diamnya Vanilla jadi jawaban otomatis 'iya' ke otak si Abang. Buat si sulung itu menghela nafas jengah, "ini bukan akhir dari dunia, Vanilla!"

Sepertinya perkataan si Abang tidak diterima baik oleh hati Vanilla yang memang tidak stabil. Vanilla mengerti kalimat kakaknya itu tidak bermaksud buruk, tapi nadanya yang buat si tengah itu makin merasa rendah.

"Ya itu kan menurut abang yang keterima, coba kalau posisinya dibalik. Apa Abang bakal tetep doktrin itu ke diri Abang? Nilla pun udah berusaha begitu, tapi gak bisa Abang!"

"Nill...,"

"Abang gak pernah nerima pressure berlebih kayak aku, selalu dituntut sempurna meski cuman pake tatapan mata, aku coba gak peduli tapi makin naik makin banyak tuntutan mereka. Dan sekalinya jatuh mereka todong aku seakan aku manusia teredah. Abang gak pernah rasain itu makannya Abang gak tau rasanya kayak gimana disaat gagal kayak gini."

The Khaiel: Unsent lettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang