🎡34: Mamalihan

75 16 7
                                    

|✧*。☆゚Happy Reading.*・。⊰⊹ฺ|










Dari saltingnya Shiloh di kamar, mari bergeser sedikit ke teras belakang dimana seorang gadis tengah berkutat dengan laptopnya. Ditemani hembusan angin dan sinar si raja langit yang sudah sedikit condong menuju tenggelamnya.

Rautnya tenang berbanding terbalik dengan hatinya yang gelisah tak karuan. Layar masih kosong hanya tampilkan waktu saat itu, namun mendekati jadwal yang sudah ditetapkan, buat rasa gugupnya makin menjadi.

"Ce," Vanilla menoleh saat tempat disampingnya diisi gadis lainnya. "Doakan aku kuat buat nerima semua yang udah ditakdirkan hari ini ya."

Ocean yang baru pulang setelah ditinggal Shiloh itu diberitahu bunda jika kakak beda empat menitnya sedang di teras menunggu sebuah pengumuman, tanpa apa-apa lagi segera hampiri si tengah.

Si bungsunya kembar beri senyuman, "Aamiinnn, apapun hasilnya semoga ikhlas yaaa..."

"Aamiinn. Bismillahirrahmanirrahim." Hembuskan nafasnya perlahan. " "Bentar belum kuat.—Eh ini bukanya gimana?! Tapi kata Isha lagi loading." Handphonenya tampilkan room chat dengan Isha.

"Ya udah, kuatin diri dulu."

Vanilla tarik nafas dalam-dalam, "huh haaa~!" Lalu hembuskan perlahan, "Gak akan kuat, Ce! Gimana supaya kuat? Hati gue kayak yupi, mental yupi banget!" Wajahnya memelas hampir menangis, imut sekali.

"Gapapa, yuk bisa yuk!"

"Ini gimana, Ce?"

"Gak apa-apa, bismillah dulu, ayo semangat mbak!"

Vanilla mulai ketikan kata di atas keyboard, lalu berkali-kali lajukan mouse kesana kemari sampaidi website yang dituju, "loading, bestie."

"Duh, aku kok ikut nervous ya?" Beneran, Ocean ikut gugup waktu halamannya akan segera terbuka, semoga sesuai yang diharapkan.

"Ceeeeee!"

Terbuka tapi warna merah disana jelas buat Vanilla lengkungan bibirnya ke bawah. Matanya sudah berkaca-kaca, di detik selanjutnya butiran kristal turun perlahan hingga membuat aliran dipipi putih Vanilla.

"Ceceee, ini merah hiks!"

Tangisnya pecah, ini kegagalan yang buat Vanilla sedih banget. Dia beneran kecewa, nilai rapornya tertata rapi dan nilai rata-ratanya tinggi, tapi kenapa bisa gagal?!

Banyak penghargaan yang dia bawa pulang, entah hanya tingkat antar sekolah atau bahkan sampai kelas internasional, tapi kenapa tiket masuk universitas favoritnya tidak bisa dia dapatkan? Seolah perjuangan Vanilla pertahankan nilai dan belajar mati-matian itu sia-sia.

"Mau ikut nggakk, jalan jalan nyari martabak 2000-an?!" Tangan si gadis terulur untuk kakaknya, niat menghibur Vanilla yang baru saja bersedih.

"Bentar." Tangan si tengah terulur untuk ambil beberapa
helai tisu, "takut nanti nangis disana nya, kan maluuu."









|✧*。☆゚.*・。⊰⊹ฺ|















"Denger nggak Lo?"

"Nggak, ada berita apaan sih?"

"Noh, si pinter yang katanya paling pinter itu."

"Si Vanilla?" Suaranya di buat sepelan mungkin biar tidak ada yang mendengar.

"Yap, dia gak lolos SNMPTN katanya."

"WAHHH?!!!!"

Si gadi dengan rambut tergerai cubit pelan paha temannya itu yang sedikit terekspos, "pelan-pelan anjir, gimana kalo anaknya denger!!"

The Khaiel: Unsent lettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang