Garis Tangan

94 8 0
                                    

Cerita ini insya allah akan terbit tiap hari Senin dan Kamis.

Untuk yang ingin membaca dengan versi lebih cepat, bisa banget di aplikasi Fizzo. Cerita ini di update dengan judul dan nama penulis yang sama.

Selamat membacaa...

"Zidan.." Mahda berteriak sekeras-kerasnya. Ia berusaha meraih tubuh putranya ke dalam pelukannya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara benturan yang sangat keras. Benturan itu terdengar bertubi-tubi dari segala arah.Tubuh Mahda terpental akibat benturan yang berasal dari arah kanan, tepatnya dari sisi putranya yang tertidur. Kaca-kaca berhamburan dari arah depan dan kanan. Sekuat tenaga, Mahda berusaha menahan rasa sakit yang muncul dari perut dan kakinya.

Tabrakan itu terjadi begitu cepat. Tubuh Mahda sendiri terpental ke belakang setelah sebelumnya terbentur ke arah kanan. Pelukan Mahda pada Zidan terlepas. Untuk sesaat Mahda sempat mendengar suara tangisan Zidan dan rintihan putranya yang memanggil namanya. Namun hanya untuk beberapa detik. Setelahnya putra sulungnya itu sudah tak lagi bersuara.

Mahda sendiri berhasil mempertahankan kesadarannya. "Zidan.." lirih Mahda. Ia terus saja berusaha meneriakkan nama Zidan, sekalipun yang keluar dari mulutnya hanyalah rintihan yang berulang-ulang. Perutnya terasa begitu sakit. Akibat benturan yang terjadi, pinggang Mahda seolah mati rasa. Sakit teramat sangat yang berasal dari perutnya membuat kesadarannya semakin menipis. Perih di area kaki dan tangannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan sakit yang berasal dari perutnya. Sekalipun begitu ia tetap berusaha untuk meraih putranya kembali. Di sisi lain ia juga menghawatirkan kondisi kandungannya. Mahda benar-benar berharap keduanya baik-baik saja. Sampai akhirnya, di ambang batas kesadarannya Mahda meyakini bahwasannya ia tidak akan pernah baik-baik saja jika terjadi apa-apa dengan anak-anaknya.

--------- ∆∆ --------

Jauhar tengah menunggu balasan pesan darin Mahda. Operasinya baru saja selesai. Ia memang hanya melakukan operasi kecil sehingga tidak dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.

"Dokter, apa dokter akan menerima pasien kembali?" tanya asisten dokternya.

"Tidak. Berikan saja pada dokter yang lain, Saya akan pulang."

"Baik, dokter."

Karena tak kunjung menerima balasan dari Mahda, Jauhar memutuskan akan pergi ke ruang komisaris. Ia ingin mengecek beberapa laporan yang berada disana. Sebisa mungkin ia memang membantu kakeknya.

Sebagian besar tugas milik kakeknya memang dikerjakan oleh Jauhar. Hanya saja untuk bulan-bulan ini kakeknya memberikan kelonggaran kepada Jauhar agar ia bisa fokus dengan Mahda dan keluarga kecilnya. Jauhar sendiri sempat berniat untuk mengambil cuti lebih awal. Hanya saja karena Syahna akan datang, ia mengurungkan niatnya. Jauhar rasa keberadaan Syahna sudah cukup untuk menemani Mahda. Biar nanti di hari-hari menjelang persalinan Mahda, baru ia akan mengambil cuti.

"Sepertinya ada yang tertinggal," Jauhar bergumam pada dirinya sendiri. Entah mengapa sedari tadi ia merasa tidak tenang. Rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Jauhar berjalan kembali menuju ruangannya. Padahal ia sudah hampir menaiki lift untuk menuju ruang komisaris yang berada di lantai lima. Jauhar ingin memastikan kembali bahwa tidak ada satupun barangnya yang tertinggal. Rencananya setelah dari ruang komisaris nanti, ia akan langsung menuju masjid rumah sakit saat adzan berkumandang. Setelah itu ia akan langsung pulang agar bisa sampai di rumah menjelang isya'.

"Kenapa kembali, dokter? Apa ada yang tertinggal?" Dokter Arman, selaku asisten dokternya bertanya. Dokter Arman sendiri merupakan dokter junior yang ditunjuk untuk menjadi asisten Jauhar. Jika ia sedang berhalangan hadir, biasanya dokter Arman yang akan menggantikannya. Lagipula setelah ini Jauhar juga berniat untuk mengurangi jadwal prakteknya.

Persinggahan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang