Menguatkan Syahna

73 4 0
                                    

Terimakasih sudah membaca cerita Darin.  Ini saya double up ya. Sebagai pengganti hari Senin kemarin.

Untuk yang ingin membaca dengan versi lebih cepat, bisa banget baca di aplikasi Fizzo dengan judul dan nama penulis yang sama.

Selamat Membaca...


Sudah hampir sebulan setelah peristiwa sadarnya Mahda. Saat ini Syahna sudah kembali ke Surabaya. Awalnya ia sempat mengalami kesulitan saat meminta izin kepada Mahda untuk pulang. Dengan bantuan Jauhar, akhirnya Syahna bisa lepas. Itupun Syahna harus berjanji akan segera kembali ke Jakarta.

Mengenai restu dari kedua orangtuanya, dengan susah payah akhirnya Syahna bisa mendapatkannya. Sebenarnya yang lebih berat untuk melepaskannya adalah dokter Arman. Bagaimanapun juga ia merupakan putri bungsu satu-satunya kesayangan keluarga. Dibandingkan dengan keberadaan Rahim di rumah besar keluarga mereka, akan lebih menyenangkan jika Syahna juga ikut berada di dalamnya. Dan selama ini Syahna sudah terlalu lama mengasingkan diri di Bandung.

"Syahna, kapan rencana keberangkatanmu ke Jakarta?" tanya Sarah yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Saat ini Syahna tengah merapikan barang bawaannya ke dalam koper. Menegenai izin resign-nya, Rahim bersedia untuk membantunya. Kebetulan sahabat baik Rahim merupakan pemilik rumah sakit swasta tempat Syahna bekerja.

"Mungkin lusa, mbak. Saat ini masih banyak urusan yang harus Syahna selesaikan disini. Termasuk salah satunya mengajak kedua keponakanku itu bermain."

Sarah tertawa mendengar perkataan Syahna. "Apa kedua anakku menagih janjinya kepadamu?"

"Iya. Mereka berdua merajuk. Mau tidak mau aku harus menurutinya kan, mbak? Lagipula aku tidak ingin kalau sampai kejadian seperti Zidan terulang kembali." Syahna menundukkan kepalanya. Raut wajahnya berubah menjadi sendu.

Tiap kali teringat dengan Zidan, Syahna akan merasa bersalah. Ia merasa masih ada janji yang harus ia tunaikan kepada Zidan. Bahkan rencana tukar kado mereka belum terlaksana. Bahkan hadiah-hadiah mainan yang telah ia siapkan untuk Zidan kini masih tersimpan rapi.

"Jangan diingat-ingat kembali. Tidak baik jika kamu meratapinya." Sarah merangkul pundak Syahna. Diusapnya kedua pundak adik iparnya itu dengan lembut. "Ikhlaskan, Syahna."

"Berat, mbak. Sedari awal Zidan sudah kuanggap seperti putraku sendiri. Aku sangat menyayanginya."

"Iya, mbak tahu. Mbak hanya berkata demikian suapaya kamu tidak berlebihan dalam bersikap."

"Insya allah tidak, mbak. Aku tidak akan bersikap berlebihan. Lahgipula hanya sesekali aku teringat dengan Zidan. Dan aku juga tidak berniat untuk meratap, mungkin hanya sesekali terkenang."

"Baiklah, kalau begitu mbak Sarah tidak perlu lagi mengkhawatirkanmu, ya. Mbak tahu adik mbak ini pasti kuat."

"Insya allah aku kuat. Mbak tidak perlu khawatir. Yang sering membuatku khawatir untuk saat ini hanya kondisi Mahda, mbak. Sampai saat ini Mahda masih belum mengetahui kenyataan mengenai rahimnya yang telah diangkat. Sudah hampi satu bulan sejak peristiwa kecelakaan itu. Dan aku takut kalau sampai Mahda merasa telah dibohongi."

"Syahna, menurut mbak kamu tidak perlu berpikir seperti itu. Yakinlah bahwa Mahda akan menerima kondisinya dengan baik. Bukankah Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya? Mbak yakin jika kamu berprasangka baik mengenai respon Mahda nantinya, maka Allah akan benar-benar menjadikannya demikian."

"Syahna sangat berharap begitu, mbak. Setidaknya Syahna tidak ingin membuat Mahda kembali terpuruk. Saat mengetahui kematian kedua anaknya, Mahda sudah benar-benar terpuruk, mbak. Dan Syahna tidak ingin hal itu terulang kembali kepada Mahda."

"Mbak akan selalu mendoakan yang terbaik. Yang harus kamu lakukan juga berdoa untuknya. Mintalah kepada Allah segala kebaikan untuk Mahda dan keluarganya. Semoga saja Jauhar bisa bertahan menguatkan Mahda."

"Apa tidak ada lagi yang bisa kulakukan mbak? Rasanya aku ingin melakukan sesuatu untuk mereka. Apapun itu asal membuat Mahda kembali bahagia dan tersenyum."

"Memangnya ada yang bisa kamu lakukan? Ingat Syahna, seorang ibu pasti akan merasa hancur saat kehilangan buah hatinya. Dan seorang istri pasti akan merasa gagal saat tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Dua kemungkinan itulah yang akan dialami oleh Mahda. Sebagai seorang sahabat kamu harus selalu ada disamping Mahda dan menguatkannya. Katakan pada Mahda bahwa tidak ada siapapun yang menyalahkannya. Dan jelaskan pula bahwa tidak bisa memiliki anak bukanlah sebuah kegagalan. Bagaimanapun juga Jauhar juga tidak akan menuntut atau menghakimi Mahda. Sebagai sahabat dekat yang akan sangat didengarkannya, kamu harus bisa menyakinkan Mahda tentang semua itu, Syahna."

"Apa aku mampu, mbak?"

"Kamu harus yakin bahwa kamu mampu. Mungkin nantinya akan sedikit sulit bagimu untuk meyakinkan Mahda. Hanya saja hal itu masih bisa dilakukan. Jadi tidak sepantasnya jika kamu menyerah nantinya. Ingat, bukankah kamu dan Jauhar telah berhasil untuk menguatkan Mahda selama satu bulan terakhir? Untuk saat ini kondisi Mahda bahkan jauh lebih baik. Ia sudah bisa menerima kematian kedua anaknya. Jadi mbak yakin kamu pasti bisa melakukannya untuk kedua kalinya, Syahna."

"Berat, mbak. Karena kali ini aku benar-benar tidak tega dengan Mahda. Rasanya aku tidak sanggup jika harus melihat Mahda mengalami hal itu untuk kedua kalinya. Mengapa ujian yang dimiliki oleh Mahda begitu berat?"

"Syahna, Allah tidak akan menguji seseorang diluar kemampuannya. Maka kamu harus yakin bahwa Mahda pasti akan mampu melewatinya. Mahda pasti akan berhasil melewati dukanya untuk kedua kalinya."

"Aku khawatir, mbak. Aku takut." Airmata Syahna mulai turun. Memori tentang satu bulan terkahir ini kembali berputar di otaknya. Bagaimana awalnya ia dan Jauhar yang harus berjuang keras untuk menyadarkan Mahda yang masih sulit menerima kematian anaknya. Awal-awal setelah kecelakaan itu, Mahda seringkali berteriak histeris saat terbangun dari tidurnya. Saat malam pun ia seringkali mengigau memanggil nama Zidan. Sering juga Syahna mendapati Mahda menangis tanpa suara lalu menyebut-nyebut nama Zana. Mengingat semua itu, rasanya Syahna tidak akan mampu untuk mengulanginya lagi.

Melihat kondisi Syahna yang mulai menangis, Sarah segera menariknya dalam pelukannya. "Menangislah, Syahna. Kamu boleh meluapkannya untuk saat ini. Mbak akan menerima seluruh keluh kesahmu."

"Syahna takut, mbak. Syahna khawatir dengan kondisi Mahda. Syahna takut Mahda tidak akan kembali ceria seperti biasa. Syahna tidak ingin kehilangan sosok sahabat yang seperti itu."

"Syahna, setahu mbak Sarah, Mahda adalah wanita yang kuat. Sedari kecil ia telah melewati begitu banyak ujian. Mbak yakin kali ini pun dia akan berhasil melewati ujiannya."

Syahna terdiam. Dalam hatinya ia membenarkan perkataan Sarah. Mahda yang ia kenal bukanlah wanita yang lemah. Mungkin hanya ketakutan Syahna saja yang membuat Mahda seolah menjadi wanita yang lemah.

"Jika diawal berita kematian anaknya kamu sering kali melihat Mahda histeris, hal itu wajar, Syahna. Memang akan sulit menerima pada awalnya. Namun itu bukan berarti bahwa Mahda tidak bisa menerimanya. Ia hanya perlu waktu. Dan terbukti, saat ini kondisi Mahda jauh lebih baik. Yang perlu kamu lakukan sebenarnya hanya meyakini bahwa semua akan baik-baik saja, Syahna."

"Apa aku terlalu memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi?"

"Iya. Kamu terlalu overthingking, Syahna. Hal itu tidak baik. Kamu harus bisa mengurangi sifatmu itu. Mbak tidak ingin melihatmu drop karena beban pikitanmu yang tidak penting itu. Jangan sampai justru kamu yang sakit nantinya."

Syahna tersenyum mendengar perkataan Sarah. Saat ini keduanya sudah tidak dalam posisi saling berpelukan. Keduanaya hanya duduk berdampingan dia atas tempat tidur Syahna. "Kamu kuat, sayang. Jangan menyerah, ya. Mungkin Allah sengaja menghadirkanmu di kehidupan Mahda untuk membantunya melewati semuanya. Makadari iku kamu harus bisa lebih tangguh daripada Mahda."

"Iya, Syahna akan berusaha, mbak. Doakan dan restui Syahna."

"Tentu. Restu mbak akan selalu ada untukmu"


Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment supaya Darin tetap semangat menulis ya...


Persinggahan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang