"Syahna.... " terdengar suara rengekan di ujung telpon. Syahna hanya bisa memutar bola matanya malas. Tangannya masih sibuk merapikan kertas-kertas skripsinya. Kurang dua hari lagi ia akan menjalani sidang.
"Ada apa Mahda? Apa keponakanku rewel lagi?" tanya Syahna tanpa mengalihkan sedikitpun fokusnya.
"Iya, dia ingin auntinya menemaninya berlibur di rumah eyang." Sejenak Syahna terdiam. 'Rumah eyang? Itu berarti tempat tinggal ibu Mahda. Ah, kilasan memorinya langsung jatuh pada sosok pemuda rupawan berwajah tenang.'
"Mahda.. Minggu-minggu ini aku sibuk. Dua hari lagi aku sidang dan hari-hari selanjutnya aku akan disibukkan dengan interview di beberapa rumah sakit."
Syahna meringis di akhir kalimatnya. Sebenarnya masih ada jeda waktu satu minggu baginya sebelum menjalani serangkaian kegiatan interview yang memuakkan, hanya saja ada seseorang yang harus ia hindari di kota kelahiran sahabatnya itu. Jadi ia terpaksa membohongi sahabatnya.
"Ah, Syahna... pokoknya aku tidak mau tahu. Kamu harus ikut. Memangnya kamu mau keponakan kamu ini ileran? Lagipula aku sudah berjanji pada Kak Ibram untuk membawamu."
Mendengar nama itu disebut hancur sudah pertahanannya. Ia menghembuskan nafasnya kesal. Mengapa juga ia pernah harus berkenalan dengan sosok Ibram Abdillah Mujtahid. 'Rabbi...' batinnya kesal.
--------- ∆∆ ---------
Suasana bandara soekarno hatta terlihat tenang. Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Syahna mendudukkan dirinya di salah satu kursi setelah mengambil barang-barangnya di bagasi.
Dua jam yang lalu ia menerima telpon dari suami Mahda bahwa sahabatnya kini tengah terbaring di rumah sakit. Fisiknya drop setelah menempuh perjalanan darat dari Surabaya ke Jakarta. Ah, sahabatnya yang satu itu memang senang melakukan hal-hal yang menantang. Dengan dalih ngidam, ia ngotot meminta Jauhar untuk bertolak ke Jakarta menggunakan mobil.
"Syahna.." panggil seseorang menyadarkan Syahna dari rasa kantuknya.
Perlahan Syahna mendongakkan kepala. Di depannya berdiri sosok seorang pria berkemeja hitam. Nafas pria itu terlihat sedikit ngos-ngosan. Rambutnya terlihat awut-awutan sedang kemeja yang ia pakai tak lagi rapi.
"Jauhar?" tebak Syahna. Pria itu mengangguk. Tidak ada senyum di wajah tampan itu. Sejenak Syahna terdiam. Tidak ada yang berubah dari sosok Jauhar kecuali pembawaanya yang lebih dewasa dan sorot matanya yang terlihat lebih tajam. Ia kembali mengingat-ingat kapan terakhir kali mereka bertemu. Ah, mungkin 4 tahun yang lalu di hari pernikahan Mahda.
"Mari kubawakan kopermu. Dari sini kita akan langsung pergi ke rumah sakit. Dari tadi Mahda merengek ingin bertemu denganmu," kata Jauhar tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya ke arah Syahna. Wajah laki-laki itu masih tetap datar. Dalam hati Syahna merutuki kemalangannya mengapa harus berurusan dengan pria sedingin Jauhar.
" Boleh aku pergi ke hotel dulu, Jauhar? Aku ingin membersihkan badan dan berganti pakaian. Sudah sejak pagi aku berada di rumah sakit untuk mengikuti interview." Syahna berusaha bernegosiasi. Sejujurnya ia benar-benar lelah. Ia ingin membersihkan badan agar merasa sedikit lebih segar.
Jauhar hanya melirik Syahna sekilas sebelum akhirnya pergi meninggalkan Syahna. Untuk sesaat Syahna dibuat melongo oleh tingkah Jauhar. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti langkah kaki Jauhar menuju mobilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Hati
Romance'Jika harus memilih, siapa yang akan kau pilih, Jo?' 'Entahlah, karena Syahna seumpama Khodijah bagiku sedang Mahda layaknya Aisyah. Hanya saja Allah lebih dulu mempertemukanku dengan Aisyah sebelum menyatukanku dengan Khodijah' *** Sampai saat ini...